Permusuhan Ninuk Dengan Nyamuk Oleh Ika Maya Susanti
PromediaStory's_“Sejak gigitan pertama yang meninggalkan rasa sakit, gatal  berkepanjangan, dan bekas yang terpaksa menjadi tato sementara pada  kulitku, aku, Ninuk Kusuma Wardhani atau yang biasa dipanggil Ninuk,  berikrar untuk tidak akan pernah mengenal kata damai pada KAU,  NYAMUK!!!”.
 Mata Ninuk melotot geram sambil mengedarkan pandangan ke  segala penjuru ruangan berukuran tiga kali empat meter.
Usai berikrar, Ninuk kemudian mengikatkan kepalanya dengan seutas  kain panjang yang membuat poni yang biasa digunakan untuk menutup jidat  yang menurutnya seperti lapangan sepak bola itu tersingkap untuk  sementara waktu. Aku lantas melihatnya mengambil sebuah raket listrik  yang kemudian ia pegang erat-erat di tangan kanannya.
“Maafkan aku laptop dan segenap tugas kuliahku. Kalian harus  kutinggalkan untuk sementara waktu demi aksi pengenyahan para GPK,  Gerakan Pengacau Kekhusyukan ini! Karena jika tidak, hidupku tidak akan  tenteram, damai, sejahtera, dan sentosa malam ini!”. Berjurus kilat petir menebas pohon kelapa, Ninuk pun lantas  mengibaskan raketnya ke segala penjuru ruangan kamar kami berdua.  Matanya nyalang bagai radar yang mampu mengetahui di mana saja arah  nyamuk yang sedang terbang dengan gaya melambai santai hingga yang  terbang bergaya meroket bak siluman nyamuk.
Herannya, mata Ninuk seakan selalu tahu di mana saja nyamuk yang  sedang berterbangan hilir mudik. Sesekali, suara “Krip krip!” terdengar  dari raket yang digenggam Ninuk berikut percikan kecil sebagai tanda  adanya nyamuk yang berhasil tersetrum karena kurang gesit terbang  menghindar.
Namun lebih naasnya lagi adalah jika terdengar bunyi letusan yang  lebih mirip suara petasan kecil namun lumayan mengejutkan. “Tarrr!!!”  demikian bunyinya dengan percikan kilatan yang menyerupai bunga api  orang yang sedang mengelas besi. Kalau ada yang seperti itu, berarti  tandanya Ninuk berhasil mendapatkan nyamuk besar dan gendut yang sarat  akan cairan merah kehitam-hitaman. Cairan apalagi kalau bukan setetes  kecil darah yang berhasil dicuri si nyamuk dari tubuh manusia. Jika suara “Krip-krip!” yang terdengar, senyuman Ninuk akan menyudut  kecil, berbeda lagi jika yang berbunyi adalah “Tarrr!” Tak hanya senyum  kemenangan, bahkan tawa lebar berikut umpatan kebun binatang sampai gaya  preman di jalanan bisa keluar dari bibir Ninuk yang terkenal berwatak  halus budi pekertinya itu. Ya, Ninuk yang lemah lembut dan seakan tidak  pernah mampu membunuh semut itu akan berubah menjadi pemburu berdarah  dingin jika melihat sesosok nyamuk saja yang terbang melintasinya atau  tertangkap radar telinganya.
“Sudah dapat berapa Nuk?” aku melirik ke arah Ninuk yang asyik dengan  sebatang lidi melepaskan mayat-mayat nyamuk yang bersalah karena  menggoda Ninuk hingga terpanggang dalam setruman raket listrik.
“Lumayan, 12 ekor! Tapi sepertinya ini masih ada yang ngiung-ngiung  nih suaranya! Ngeganggu banget di kuping!” sesekali mata Ninuk beredar  ke penjuru kamar mencari nyamuk yang sedang berseriosa di kupingnya.
“Terus Nuk, kamu kapan mau belajar kalau kayak begini terus? Besok  kan kita sama-sama punya tugas statistik yang harus dikumpulkan. Belum  lagi tugas Pengantas Ilmu Ekonomi,” aku menyela di tengah kekhusyukan  Ninuk yang belum ingin menghentikan aksi gencatan raketnya dengan para  nyamuk di kamar kami.
“Nggak bisa Tan! Ini adalah tugas wajib yang justru harus dikerjakan  lebih dulu malam ini!” Ninuk mengabaikan peringatanku dan kembali  mengibaskan raketnya ke sana ke mari.
Yah, itulah sekilas gambaranku saat ini dengan apa yang sedang  terjadi di alam realitaku sekarang. Sejak sekamar kos dengan Ninuk yang  paling alergi dengan nyamuk, hidupku kini jadi penuh warna warni  dinamika hubungan perseteruan antara manusia dengan nyamuk. Fatalnya,  kami tinggal di Surabaya yang sejak kejadian lumpur Lapindo, terasa  makin panas dan nyamuk yang ada pun serasa makin urakan dan ganas.
Memang, Ninuk sahabatku itu sangat berbeda sekali dengan aku, atau  mungkin kebanyakan manusia. Aku bisa bilang kebanyakan manusia karena  pada umumnya manusia memang wajar menerima keberadaan nyamuk meski  mereka tidak bersahabat. Sudah mengambil setetes darah, nyamuk juga hobi  meninggalkan rasa gatal bercampur sakit pada kulit manusia.
Namun jika umumnya manusia hanya sekejap saja merasakan gatal dan  sakit akibat gigitan nyamuk, berbeda dengan apa yang dialami oleh Ninuk  atau mungkin sedikit orang yang ada di muka bumi ini. Rasa gatal dan  perih bisa Ninuk rasakan berhari-hari. Belum lagi bekas gigitannya yang  mulai dari berwujud bentolan merah besar jika nyamuk habis menggigit  kulitnya hingga berangsur menjadi bintik merah. Konon kata Ninuk,  gatalnya terasa minta ampun menggoda jarinya hingga ia harus giat  menggaruk bekas gigitan itu. Bintik merah yang awalnya hampir tidak  kelihatan itupun kemudian akan berubah menjadi luka akibat garukan  kuku-kuku Ninuk. Dan jika sudah seperti itu, bekas hitam pun akan  menyisa di kulit Ninuk. Berakhir tragis memang! Ninuk yang seharusnya  bangga memiliki kulit halus mulus seperti kebanyakan cewek seusianya,  harus memiliki kulit yang justru berbelang-belang hitam.
Pernah suatu ketika Ninuk berkonsultasi ke dokter spesialis kulit dan  pulang dengan kekecewaan putus asa berkepanjangan. Setelah  berkonsultasi dengan dokter tersebut, Ninuk justru disarankan untuk  membeli sebuah lotion yang harganya lumayan wah. Meskipun konon katanya,  lotion itu mampu menghilangkan bekas gigitan nyamuk yang berwarna  bintik-bintik merah atau bekas garukan yang berwarna belang-belang hitam  dalam hitungan hari. Tujuan Ninuk datang ke dokter spesialis kulit  berharap bisa menjadi manusia normal yang tidak paranoid terhadap nyamuk  untuk selamanya, harus kandas begitu saja!.
Kebalikan dari Ninuk, aku justru memiliki kulit yang sangat kusyukuri  kekebalannya terhadap nyamuk. Tidak bermasalah seperti kulit milik  Ninuk. Bisa dibilang kulit badaklah! Jika nyamuk menggigit kulitku, aku  cuma sedikit merasakan gatal dan selesailah sudah. Tidak ada rasa gatal  campur pedih berkepanjangan atau bekas yang tertinggal lama di kulitku.  Bahkan jika nyamuk menggigit kulitku, aku sering tidak merasakannya.
Aneh memang jika aku sedang bersama Ninuk atau jika kami sedang  bersama beberapa orang lainnya. Ninuk justru kerap menjadi target idola  utama gigitan nyamuk sedangkan tidak bagi aku dan mungkin orang lain  yang sedang berada di sekitar kami. Jika sedang menyaksikan tivi  misalnya di ruang tengah kos-an kami, Ninuk sering mendahului acara  garuk menggaruk akibat digigit nyamuk. Sering pula aku ataupun yang  lainnya jadi keheranan karena sementara tidak ada satupun nyamuk yang  menggigit kami, Ninuk justru sudah sibuk sendirian mengusir nyamuk  hingga acara heboh menggaruk-garuk karena merasa kegatalan akibat  digigit nyamuk.
Nah, jika para cewek selalu dekat dengan yang namanya krim tabir  surya, Ninuk justru tidak bisa lepas dengan yang namanya lotion anti  nyamuk. Ke manapun dan di manapun, parfum yang tercium dari tubuh Ninuk  cuma satu, parfum khas lotion anti nyamuk.
Naasnya, Ninuk sekamar dengan aku yang alergi dengan segala bau-bauan  yang keluar dari obat anti nyamuk. Mulai dari semprotan spray, obat  nyamuk bakar, obat nyamuk elektrik, sampai terkadang lotion anti nyamuk.  Entah kenapa, sejak kecil, aku begitu anti dengan bau-bauan itu.  Meskipun versinya obat anti nyamuk itu makin hari makin harum bak bau  bunga aslinya, tetap saja, aku tidak tahan dan bahkan bisa muntah jika  menciumnya. Beruntung aku tidak mengalami alergi dengan nyamuk seperti  Ninuk sehingga tidak harus bersentuhan dengan barang-barang anti nyamuk  seperti itu. Sebagai wujud solidaritasnya, Ninuk akhirnya cuma memiliki sebuah  modal untuk mengusir nyamuk jika kami berdua sedang berada di kamar.  Apalagi kalau bukan raket elektrik andalannya yang sekali tebas, bisa  mengenai nyamuk yang hobi terbang melayang-layang mencari mangsa. Raket  ini memang cukup aman menurut kami berdua. Paling-paling, kami terkadang  hanya sedikit terkejut jika nyamuk besar yang sempat kena, mengeluarkan  bunyi letusan kecil dan bau gosong yang menguar akibat adanya nyamuk  yang tersangkut raket dan terbakar gara-gara terkena sengatan listrik.
“Heah… heah… heah… Hei, heah… heah… ngapain sih dari tadi senyam  senyum melulu sambil ngelihatin aku? Heah… heah… Bahagia ya melihat aku  harus berjibaku membunuh nyamuk ke sana ke mari?” sembur Ninuk sambil  sesekali ngos-ngosan karena kelelahan mengejar nyamuk ke segala penjuru  sudut kamar. Rupanya ia merasa jika aku yang dari tadi asyik dengan  laptopku sendiri, kurang memiliki rasa solidaritas terhadapnya.
“Ya habis mau bagaimana lagi? Raket listrik cuma satu. Aku nggak bisa  bantu kami berburu nyamuk dong! Akhirnya ya… aku bantu doa saja dari  dalam hatiku ini sambil duduk manis di sini ngeblog,” jawanku enteng.
Ninuk lalu menjatuhkan tubuhnya di sampingku. Nafasnya masih memburu,  dan keringat pun bercucuran dari tubuhnya. “Aduh… sudah habis belum ya  tu nyamuk?” gerutu Ninuk.
Baru sebentar saja suara keluhan Ninuk keluar, seekor nyamuk lewat di  dekat kami dengan suara ejekan khasnya. Ninuk pun langsung bangkit dan  memburu nyamuk yang mungkin berkata, “Hei hei… aku masih ada di sini  lho! Ayo, tangkaplah aku, kau kugoda…”Sesaat aku menghentikan aktivitas ngeblogku, sekilas mengamati  keberadaan Ninuk, dan kembali meneruskan mengetik. Yah, sampai tulisan  ini diketikkan, ternyata masih belum ada tanda-tanda kapan pertikaian  antara Ninuk dengan para nyamuk akan berakhir!.
“Oh nyamuk… kasihanilah Ninuk malam ini dan hari-hari berikutnya…  Biarkanlah ia bisa merasakan hidup tenang seperti laiknya manusia pada  umumnya…” doaku tulus terucap di bibir dari relung hati paling dalam  sebagai sahabat Ninuk yang paling mengerti penderitaannya.
“Nuk,” panggilku dan Ninuk pun kemudian menoleh ke arahku, tampak  tersenyum penuh rasa haru. “Lanjutkan perjuanganmu!” pesanku sambil  mengepalkan tangan kanan memberi semangat kepada Ninuk dan kembali  menekuni laptopku. Suara Ninuk lantas kudengar menjerit keki!
Sumber : http://ikapunyaberita.wordpress.com/ 











0 comments:
Post a Comment