Selamat Datang Di Kota Batik Pekalongan.Portal Penulis Pekalongan Dan Sekitarnya.Sahabat Media Juga Dapat Mengirimkan Informasi Sekitar Pekalongan Melalui Email : dhimashr@gmail.com Atau Sms Online Di 0815 480 92192***###########***Swanten Qustique Lagi Nyari Singer Cewe Yang Suka Banget Ma Lagu2nya Nicky Astrea. Yang Merasa Punya Hoby Nge Rock Dengan Bit Bit Slow Silahkan Persiapkan Mental Buat Gabung Bareng Kita Yaaak. Wilayah Comal Bojong Sragi Diutamakan Untuk Mempermudah Jarak Tempuh.SMS Dulu Juga Boleh......

Thursday 26 August 2010

Berita Hari Ini » CerPen_Amin

CerPen_Amin

0 comments
Amin Oleh Ika Maya Susanti

PromediaStory's_Amin, cukup kata itu saja yang diberikan mamakku untuk menjadi panggilan bagi setiap orang kepadaku. Dari aku lahir, sampai besar dan tua kelak. Mungkin seumur hidupku, aku tidak akan berniat untuk mengganti nama pemberian mamakku itu. Kata mamak, ia memberikannya untukku karena ia tahu arti nama itu adalah untuk sebutan bagi orang yang dipercaya.

“Mamak ingin engkau sampai besar, bisa jadi orang yang dipercaya, Min,” cukup itulah alasan dan harapan Mamak untukku.

Padahal yang pernah kudengar, nama itu bisa menjadi doa sepanjang hidup bagi orang yang mendapatkannya. Bukannya aku tak suka dengan harapan ibu yang sebetulnya juga baik dan luhur itu untukku. Namun, mengapa doa Mamakku begitu sederhana?.
“Ah, engkau itu Min, tak banggakah namamu bisa sering disebut orang sehabis shalat saat doa,” ujar Budi, kawanku.

Entah maksudnya bercanda, menenangkanku, atau membuatku bangga, yang jelas akhirnya aku selalu mencoba untuk menerima kenyataan bahwa namaku memang Amin.Dan lihatlah, inilah hidupku sekarang. Hanya menjadi seorang tukang ojek di sebuah kota yang lumayan besar, Batam. Padahal jika ada orang mendengar di mana aku tinggal, ia pasti langsung akan berpikir wah mendengar nama kota itu.
“Batam? Kerja di perusahaan mana engkau, Min? Ah, pasti duit engkau banyak lah ya! Di sana apa saja bisa diusahakan untuk dapat uang banyak,” demikian saudara-saudaraku yang ada Riau daratan berkomentar. Ah, padahal hanyalah seorang tukang ojek saja, apa yang bisa aku banggakan?.
“Hei anakku, cobalah kau pikirkan, apa kebanggaan yang bisa engkau punya? Engkau seorang tukang ojek. Bisa dapat rejeki halal dari kerja engkau sekarang ini. Bisa membantu orang pergi ke suatu tempat. Mengapa pula engkau harus malu?!” demikian omelan mamak jika mendengar aku mengeluh tentang keadaanku.
“Tak usahlah lagi engkau mempertanyakan mengapa aku memberi namamu dengan kata amin. Kau pikir, tak besar kah harapan yang aku inginkan. Jika engkau bisa dipercaya orang, maka sesuatu yang besar sekalipun bisa engkau dapatkan nanti,” pastilah itu teguran mamakku jika kemudian aku mengaitkan dengan namaku yang hanya terdiri dari empat huruf itu.
Mungkin isi bicara mamak terdengar bijaksana. Namun meski sekolah ala kadarnya dulu, namun begitulah ia bisa berbicara. Kata orang, orang tua bisa bicara bijaksana karena pengalaman yang telah ia jalani.

Tapi, keyakinan ibu begitu sulit menghapus kekecewaan yang kerap aku rasakan. Oh nasib… mengapa aku harus menerima hidup seperti ini? Hanya seorang lulusan SMA, tak punya keahlian apa-apa selain hanya bisa menaiki motor saja. Lantas, kepercayaan besar apa yang bisa sampai padaku jika cuma demikian adanya kondisi diriku? Mengapa tak Kau ciptakan aku menjadi orang besar? Mengapa ibuku harus Engkau beri inspirasi untuk memberikan nama sebuah kata amin untukku?
“Ojek, Bang?” tiba-tiba seorang pria melambai tangan, mencoba menghentikan lamunan gerutuan yang berkecamuk di hatiku.
“Ya, ke mana?”
“Engku Putri ya Bang,” ujarnya menyebut sebuah lapangan utama di Batam.
Langsung kunyalakan motor dan memberikan helm ke padanya. Bau wangi tercium di hidungku. Ah wanginya! Orang ini, pastilah kerja di kantor yang besar dan ber-AC, batinku. Badannya masih tercium wangi meski sudah sepetang ini.
Sesampainya di Engku Putri, pria itu pun turun. Bukannya segera membayar, ia malah senyum-senyum ke padaku.
“Tiga ribu saja Bang. Tadi kan Abang cuma naik dari dekat saja,” ujarku.
Sekali lagi ia cuma tersenyum. “Maaf Bang, sebetulnya saya tak punya uang. Uang saya habis karena dari tadi saya pakai ke sana sini melamar kerja,” jawabnya.
Aku langsung tertegun. Ku perhatikan lagi sekujur tubuhnya. Mulai dari sepatu hitam yang berkilat, setelan kemeja dan celana yang rapih hampir tak memiliki kerut lusuh, rambut yang tertata rapih, dah ah, wanginya itu? Apa iya orang seperti ini tak punya uang?
“Sekali lagi maaf ya Bang,” ujarnya lagi lalu berjalan pergi.
Entah kenapa aku tak bisa marah ataupun sedikit saja menegurnya. Kubiarkan saja ia berlalu tanpa aku cegah sedikitpun. Meski dalam hati, sekepal panas seakan siap meledak.
“Janganlah kalian sesekali mengumpat orang. Karena jika demikian, kalian sama saja mengumpat makhluk yang sudah dibuat oleh Allah,” suara Bapak Guru mengaji di kala aku SD terngiang kembali.
“Tapi Pak, kalau ada orang yang sudah berbuat sesuatu yang kurang ajar kepada kita, atau bahkan jahat, apakah kita diam saja?” protesku kala itu.
“Mungkin Allah sedang menguji atau mengingatkan sikap kita. Atau, mungkin Allah sedang mengirim kita kepada orang itu untuk menolongnya,” demikian jawaban bijak Bapak Guru yang membuat aku hingga sekarang mencoba untuk sedikit bersikap bijak.
Ku pandangi lagi punggung orang yang baru saja membuatku berhenti untuk melamun tadi. Ah, nasibnya ternyata tak sebaik seperti yang aku duga. Berpakaian rapih dan berparfum wangi, namun ternyata belum punya pekerjaan. Aku lebih baik dari orang itu. Yah, meskipun hanya sebagai tukang ojek! Malam ini, aku punya beberapa lembar uang meski tidak banyak di kantong celanaku. Dia? Bahkan untuk membayar ojekku saja ia tak bisa. Apakah ini jawaban dari lamunanku tadi ya? Mungkin, aku dipercaya oleh Allah untuk menjadi orang yang tidak mau memarahi orang yang tidak punya uang untuk naik ojek?!.

Aku menghembuskan napas berat. Capek! Sepertinya cukup sudah perburuanku mengejar pria yang ingin menggunakan jasa ojekku. Alhamdulillah, hasilnya hari ini cukup lumayan. Sekarang waktunya berterimakasih pada yang memberiku rejeki. Yah, fatal mungkin. Karena sepertinya sudah setengah jam yang lalu adzan maghrib berkumandang, namun aku tidak datang untuk bersujud menyapa-Nya.
Masjid Raya Batam Centre yang terletak berseberangan dengan Engku Putri jadi tempat tujuanku selanjutnya. Biarlah, selepas Isya’ saja aku baru pulang nanti. Aku lalu duduk di tangga masjid. Inilah tempat favoritku yang sering aku kugunakan, sekali lagi untuk hobi melamunku. Ah tidak, lebih tepatnya hobi mengamati. Bisa melihat orang yang berpakaian bagus, biasa, bahkan dekil. Lantas kemudian, biasanya aku memikirkan bagaimana nasib yang sedang ia jalani. Bahagiakah hidupnya? Atau lebih meranakah dari aku?.

Namun kejadian barusan tentang seorang pria yang tak mampu membayar ojek, kini agak mulai merubah pikiranku. Ketika aku melihat orang berpakaian lusuh yang lebih buruk dariku, aku lantas berpikir, bisa jadi ia cukup bahagia dengan hidupnya sekarang. Lihatlah, ia punya waktu untuk duduk mengaji Al Quran di masjid. Saat aku mengalihkan pandangan dan melihat seseorang yang berpakaian bagus, masuk lalu shalat, dan pergi sesegera mungkin, pastilah ia orang yang kaya namun sibuk dengan kerjaannya. Di waktu yang hampir mahrib ini, ia justru tergesa-gesa menjalankan shalat ashar. Kasihan, betapa sedikitnya waktu yang ia miliki, batinku. Dan saat aku melihat seseorang tertidur di tempat tak jauh dari tempatku duduk, aku jadi tersenyum. Ia berpakaian rapih namun tertidur dengan dengkurannya yang keras. Mungkinkah pria ini seperti pria yang tak mampu membayar ojekku tadi? Ia kelelahan ke sana sini untuk mencari kerja?.
“Yo, begitu Nak, hidup itu!” tiba-tiba seorang bapak tua menduduk tubuhnya di dekat tempatku duduk.
“Bapak lihat, kamu dari tadi lihat sana, lihat sini, kelihatan mikir, senyum sendiri? Pasti sedang berpikir, apa cerita hidup mereka hari ini, iya?” tebaknya jitu.
“Mengapa Bapak bisa tahu?” aku lalu ganti mencermati bapak tua yang duduk bersila menghadap ke arahku sembari menyandarkan punggungnya di dinding.
“Hehehe…” ia malah terkekeh. “Sudahlah, Bapak tahu kamu belum shalat maghrib kan? Sudah sana, shalat dulu. Masa belum shalat malah sudah sibuk memikirkan nasib orang?!” tegurnya.
Akhirnya aku bergegas untuk menunaikan hutang shalat maghribku. Setelah usai, aku kembali ke tempat tangga di mana aku melamun sebelumnya. Ternyata, bapak tua itu masih asyik duduk di sana dengan tasbih di tangannya. Sementara cuaca di luar yang tadi terang, kini menjadii hu jan deras. Memang, kondisi di Batam yang bentuknya pulau itu kerap membuat cuaca tidak menentu. Bisa jadi sebentar hujan, kemudian seperti tidak ada apa-apa. Atau sebaliknya.
Aku lalu mengamati bapak tua tadi. Tak ada yang istimewa dari pakaiannya. Hanya baju koko berwarna biru laut yang memudar dan sarung kotak-kotak berwarna hijau.
“Bapak sendirian ke masjid?” tanyaku.
Ia menghela nafas untuk mengatur nafasnya. “Iya. Dari mana kamu tadi? Kok sampai maghrib sudah lama lewat baru shalat? Sibuk cari uang juga?”
Aku membenahi sila dudukku. “Iya Pak, saya ngojek.”
“Repot ya hidup di Batam ini. Memang sih, katanya kalau ulet, di sini mudah sekali bisa mendapatkan uang. Beda dengan di Jakarta yang lebih butuh kreatifitas lebih banyak lagi, baru bisa uang. Heah… semua orang sibuk cari uang di sini ini,” keluhnya.
“Yah, habis mau bagaimana lagi Pak,” aku berkelit.
Bapak itu lalu menoleh ke arah dalam masjid. “Lho, kok jadi sepi begini ya? Padahal sebentar lagi adzan isya’ ini. Siapa yang adzan nantinya kalau yang biasanya adzan tidak ada?” gumamnya sendirian.
Tiba-tiba ia menoleh ke arahku. “Kalau tiba-tiba kamu yang harus adzan, karena muadzin masjid ini tidak ada, kamu mau?” tantangnya.
Bukannya langsung menjawab, aku malah melihat ke arah luar. Hujan memang masih deras-derasnya. Mungkin muadzin masjid ini tadi harus keluar karena ada suatu urusan dan tidak dapat kembali karena hujan yang sedang turun deras.
“Bisa adzan kan?” tanya bapak itu lagi.
“Bisa sih Pak. Tapi ya… masa harus saya, Pak?” aku mencoba mengelak halus. Jujur, aku memang bisa adzan. Sewaktu sekolah dulu saja aku pernah meraih juara adzan. Tapi itu kan dulu, dulu sekali ketika zaman SMP. Dan yang sekarang ini, aku sedang berada di Masjid terbesar di Batam. Apakah pantas aku melantunkan adzan di rumah Allah semegah ini?
“Kenapa, nggak percaya diri ya? Walah… kamu itu! Sekarang lihat kondisinya. Di masjid ini sedang sepi. Beberapa pria yang ada malah tidur. Cuma kamu dan aku yang ada. Kalau Bapak yang adzan, suara Bapak nggak kuat. Jadi ya satu-satunya yang ada tinggal kamu.”
Aku sekali lagi menoleh ke sana ke sini. Wah, benar juga.
“Sudah, adzan sana! Ini sudah masuk waktunya. Masa kamu nggak malu apa, rumah Allah sebesar ini, adanya di pusat kota, adzannya terlambat?” bapak tua itu mencoba mengingatkan aku lagi.
Mau tidak mau akhirnya aku beranjak berdiri menuju tempat adzan. “Bismillah,” ucapku lalu melantunkan sedikit doa sebelum adzan. Selanjutnya, terdengarlah suaraku yang terdengar begitu keras menggema. Subhanallah… mimpi apa aku semalam. Bisa mendapat kepercayaan dari Allah untuk mengumandangkan adzan di rumah-Nya yang sebesar ini?!.

Sumber : http://ikapunyaberita.wordpress.com/

0 comments:

Pasang Iklan Gratis