Selamat Datang Di Kota Batik Pekalongan.Portal Penulis Pekalongan Dan Sekitarnya.Sahabat Media Juga Dapat Mengirimkan Informasi Sekitar Pekalongan Melalui Email : dhimashr@gmail.com Atau Sms Online Di 0815 480 92192***###########***Swanten Qustique Lagi Nyari Singer Cewe Yang Suka Banget Ma Lagu2nya Nicky Astrea. Yang Merasa Punya Hoby Nge Rock Dengan Bit Bit Slow Silahkan Persiapkan Mental Buat Gabung Bareng Kita Yaaak. Wilayah Comal Bojong Sragi Diutamakan Untuk Mempermudah Jarak Tempuh.SMS Dulu Juga Boleh......

Wednesday 24 September 2008

Naskah Drama Radio Seri - Antara Dendam Dan Asmara

0 comments

Bagian 02

Demikianlah para pejabat itu. Kalau mereka itu melaksanakan tugas mereka tanpa pamrih kepentingan pribadi, tanpa tujuan untuk mencari keuntungan sebesarnya untuk diri sendiri, kalau tugas itu mereka laksanakan sebagai suatu kewajiban, demi pekerjaan itu sendiri, maka tentu mereka akan mendapatkan hasil yang baik bagi pemerintahan. Akan tetapi kalau semua pejabat melakukan korupsi, manipulasi, menyalah gunakan wewenang dan kekuasaan, menindas yang lemah menjilat yang kuat, menginjak yang bawah menghormat yang atas, maka tentu saja akibatnya pemerintahan menjadi lemah dan buruk.

Ki San sedang melangkah seorang diri, membawa buntalan pakaian dan pedangnya, dan berjalan melamun. Sungai Kuning sudah dekat berada di depan, kurang lebih satu li lagi. Sawah ladang penduduk sudah mulai nampak subur di tepi sungai, akan tetapi suasananya sunyi pada siang hari itu. Padi belum berbuah, maka tidak perlu ditunggui.

Selagi dia melangkah perlahan, dia mendengar suara riuh rendah orang berteriak-teriak di dusun sebelah kiri. Di sana terdapat sebuah dusun petani yang hidupnya mengandalkan hasil pertanian dan mereka hidup sederhana. Maka, sungguh mengherankan di siang hari itu terdengar banyak orang berteriak-teriak. Pasti telah terjadi sesuatu yang luar biasa, pikir Ki San. Dia lalu membelokkan langkahnya menuju ke dusun itu dan perhatiaannya semakin tertarik ketika di antara suara gaduh itu dia mendengar teriakan orang menangis. Wanita menjerit dan tanda-tanda bahwa di sana sedang terjadi tindakan kekerasan. Ki San lalu berlompatan dan berlari cepat memasuki dusun itu dan apa yang dilihatnya membuat darahnya bergolak panas. Segerombolan orang sedang melakukan perampokan di dusun itu. Mereka membawa keluar ayam, kambing dan bahkan menuntun sapi, ada pula yang memanggul wanita-wanita muda yang meronta-ronta dan menjerit-jerit, ada yang sedang memukuli para pria yang agaknya hendak melawan mempertahankan ternak, anak gadis atau isteri mereka.

Dengan beberapa kali loncatan, Ki San sudah tiba di tempat itu dan beberapa kali tangannya menampar dan kakinya menendang. Seorang yang memanggul wanita, melepaskan wanita itu dan dia terpental oleh tendangan kaki Ki San, jatuh berdebuk dan bergulingan. Seorang lagi penculik wanita, tiba-tiba ditampar kepalanya sehingga terpelanting jatuh dan tidak mampu bangkit kembali.

Dua orang yang sedang memukuli seorang penduduk ditangkap oleh Ki San pada rambut kepalanya, dijambak dan kedua kepala itu lalu diadu sehingga keduanya roboh dengan kepalanya terasa retak.

Para perampok yang melihat munculnya pemuda asing ini menjadi marah sekali. mereka mencabut golok dan belasan orang itu lalu mengeroyok Ki San dari segala jurusan. Golok mereka berkelebatan menyambar ke arah tubuh Ki San dengan kemarahan meluap karena mereka menganggap pemuda ini sebagai penghalang. Namun Ki San tidak menjadi gentar. Dia melihat bahwa para perampok itu hanyalah orang-orang kasar yang mengandalkan tenaga melakukan kekerasan, namun tidak ada di antara mereka yang memiliki ilmu silat yang berarti. Oleh karena itu, dia menghadapi belasan orng itu dengan tangan kosong saja, tidak mencabut pedangnya karena diapun tidak ingin membunuh orang.

Begitu orang-orang itu menyerbu, Ki San menggunakan keringanan tubuhnya, bergerak dengan jurus Kong-jiu-jip-pek-to (Tangan Kosong Menyerbu Ratusan Golok). Terdengar teriakan-teriakan para perampok disusul golok mereka beterbangan dan merekapun terpelanting ke kanan kiri. Kemudian Ki San menggunakan ilmu tendangan Siauw-cu-twi (Tendangan Berantai) dan dalam waktu beberapa menit saja, semua perampok telah jatuh bangun. Mereka menjadi gentar sekali dan begitu dapat merangkak bangun, mereka lalu melarikan diri meninggalkan semua barang rampasannya, lari tunggang langgang tanpa menoleh lagi.

Melihat ini, penduduk dusun, dipimpin oleh kepala dusun, menjatuhkan diri berlutut menghadap Ki San untuk menghaturkan terima kasih. Akan tetapi Ki San hanya berkata, "Mulai sekarang, saudara sekalian haruslah bersatu padu, mempersiapkan senjata dan kalau ada datang gerombolan perampok, jangan takut akan tetapi keroyoklah. Bukankah jumlah saudara sekalian jauh lebih besar dari jumlah mereka? Kalau kalian bersatu dan melawan, tidak ada gerombolan perampok yang akan berani mengganggu."

"Terima kasih, taihiap. Kami memang belum apa-apa sudah merasa ketakutan. Mulai hari ini, kami akan siap siaga melakukan perang terhadap semua perampok yang berani mengganggu dusun kami, dan kami akan mengadakan latihan ilmu berkelahi!"

"Bagus, modal utama untuk menjaga diri adalah keberanian dan semangat. Nah, selamat menjaga kampung sendiri!" Ki San lalu berkelebat lenyap dari depan orang-orang itu. Dan benar saja, sepeninggal Ki San, kepala dusun itu segera memanggil orang yang mengerti ilmu silat dari kota, menyuruh semua warganya mempelajari ilmu silat walaupun tidak terlalu banyak, dan melakukan penjagaan ketat sehingga tidak ada lagi perampok berani mencobacoba untuk mengganggu dusun itu.

Akan tetapi urusan itu tidak habis di situ saja bagi Ki San. Kepala perampok yang dihajar babak belur itu merasa penasaran dan sakit hati sekalo. Dia lalu menghubungi rekannya yang menjadi bajak di sepanjang Sungai Huang-ho daerah itu, dan dengan berbohong dia melaporkan bahwa ada seorang pemuda yang membawa uang banyak, akan tetapi pemuda itu lihai sekali. Mereka lalu bersekongkol untuk menjebak dan membajak pemuda itu kalau nanti melakukan penyeberangan.

Menjelang sore hari, benar saja muncul Ki san di tepi sungai dan dia mencari-cari tukang perahu untuk membawanya ke seberang sungai. Selagi dia celingukan ke kanan kiri, datang sebuah perahu kecil yang ditumpangi seorang tukang perahu yang membawa jala. Seorang nelayan rupanya.

"Heii, paman tukang perahu, maukah engkau menyeberangkan aku ke seberang sana? Berapa biayanya akan kubayar."

"Menyeberang? Tentu saja kalau bayarannya cukup memadai karena tadinya aku hendak menjala ikan, orang muda," kata nelayan setengah tua itu.

"Jangan khawatir, aku akan membayarmu cukup seperti yang kauminta. Pinggirkan perahumu, paman."

Tukang perahu mendayung perahunya ke tepi dan Ki San lalu melangkah ke dalam perahu. Perahu didayung ke tengah. "Mudah-mudahan kita akan sampai ke sana sebelum malam tiba, paman."

"Tentu dapat, orang muda, jangan khawatir."

Bagian dari sungai itu sunyi dan tidak nampak perahu lain. Akan tetapi ketika perahu tiba di tengah sungai, dari kanan kiri mendatangi belasan buah perahu dengan orang-orang berpakaian hitam dan nampak bengis, setiap perahu ditumpangi dua orang dan perahu-perahu itu sengaja mengepung dan menghadang perahu yang ditumpangi Ki San.

"Siapakah mereka, paman?" tanya Ki San sambil mengerutkan alisnya.

"Celaka, orang muda, mereka adalah bajak-bajak sungai," kata nelayan setengah tua itu.

"Jangan takut, aku akan melawan mereka!" kata Ki San.

Di atas sebuah di antara perahu-perahu itu, seorang laki-laki tinggi besar dan brewokan berdiri di kepala perahu dan orang itu menudingkan golok besarnya ke arah Ki San.

"Orang muda, kalau ingin selamat, tingglkan buntalan dan semua barang milikmu!"

"Kalian ini bajak-bajak yang ngawur saja," kata Ki San dengan tenang. "Aku tidak mempunyai apa-apa, buntalan ini hanya berisi pakaian yang tidak berharga. Jangan menggangguku dan biarkan perahu ini lewat!"

"Orang muda sombong, berani engkau membantah perintahku! Rampas barang-barangnya!"

Empat orang bajak melompat ke ats perahu kecil yang ditumpangi Ki San. Namun Ki San menyambar mereka dengan tendangan dan tamparan yang membuat ke empatnya roboh terpelanting ke dalam air. Bajak-bajak dari perahu lain menggunakan tombak panjang untuk menyerang dari kanan kiri. Karena serangan itu berbahaya sekali baginya, Ki San lalu mencabut pedangnya dan setiap kali dia menangkis dengan pedangnya, ujung tombak atau dayung yang dipergunakan mereka untuk menyerangnya, patah-patah! Hal ini mengejutkan para bajak laut, dan baru mereka mendapatkan kenyataan betapa keterangan rekan perampok mereka itu benar adanya. Pemuda ini lihai sekali.

Akan tetapi, tukang perahu yang tadinya nampak ketakutan, mendadak membungkuk dan mencabut kayu yang dipakai menyambat perahunya yang bocor berlubang, lalu diapun melompat ke dalam air. Kiranya tukang perahu atau nelayan itu hanyalah nelayan palsu, karena diapun sebenarnya anggauta bajak yang memang sengaja bertugas sebagai umpan. Perahunya adalah perahu yang sudah dilubangi dan disumbat dengan kayu. Maka ketika penyumbatnya dicabut oleh tukang perahu itu, air lalu dengan derasnya masuk ke dalam perahu. Ki San yang sedang menangkisi tomobak-tombak yang menyerangnya, tidak tahu akan perbuatan si tukang perahu. Setelah tukang peahu itu meloncat ke dalam air dan dia melihat perahu bocor, barulah dia tahu. Sekali ini Ki San tidak dapat bersikap tenang lagi. Dia tidak begitu pandai berenang dan perahunya bocor, terancam tenggelam.

Biarpun demikian, Ki San masih melawan terus dan perahu sudah tenggelam sampai di pahanya. Dia bertekad melawan terus sampai napas terakhir.

Akan tetapi, pada saat itu, datang meluncur sebuah perahu lain yang ditumpangi seorang gadis berpakaian merah muda. Begitu memasuki daerah pertempuran itu, gadis ini sudah menggunakan pedangnya mengamuk dan menyerang para bajak, lalu mendekati perahu Ki San. Gerakan pedangnya cukup hebat sehingga banyak perahu bajak yang terpaksa mundur.

"Cepat melompat ke perahuku ini!" kata gadis itu yang melihat betapa tubuh Ki San sudah hampir tenggelam. Ki San tidak dapat melompat, lalu meraihkant tangannya ke perahu itu, berhasil memegang tepi perahu dan sekali mengayun tubuhnya dia sudah berada di perahu si gadis.

Gadis itu mendayung perahunya menjauh, akan tetapi tiba-tiba perahunya terguncang. Tahulah dia bahwa para bajak lalu menggunakan kepandaian mereka di dalam air dan dengan menyelam dan berenang mereka hendak menggulingkan perahunya! Dia lalu bangkit berdiri dan dayungnya menghantam ke kanan kiri, mengenai tangan-tangan yang memegangi perahunya dari bawah.

"Plak-plak-desss...!" bajak-bajak itu menjadi kesakitan dan gadis itu berkata kepada Ki San.

"Bantu aku, gunakan pedangmu dan serang tangan-tangan mereka!"

Akan tetapi Ki San tidak tega untuk membuntungi lengan orang. Dia melihat perahu dan dayungnya terapung menelungkup di atas air maka dia meraih dayungnya dan dengan dayung itu dia kini menjaga sambil berdiri di perahu. Setiap kali ada kepala atau tangan tersembul dekat perahu, segera dihantamnya dengan dayung. Gadis itu kini dapat mendayung perahunya menjauh dan tak lama kemudian perahu telah dapat sampai ke tepi sungai. Keduanya meloncat ke darat dan siap melawan dengan pedang mereka. Akan tetapi, para bajak laut itu agaknya menjadi jerih dan merekapun memutar perahu mereka dan meninggalkan tempat itu.

Bersambung ……..!!

Media

Tuesday 23 September 2008

Merayakan Kembali Kemerdekaan Imajinasi Dengan Sandiwara Radio

1 comments
Sandiwara Radio
Radio menyediakan dunia imajinasi tanpa batas, sebuah kekuatan dan keunikan yang tidak dimiliki oleh media lain. Pendengar bebas mengimajinasikan dunia visual dalam kepalanya. Tidak salah kalau dikatakan radio adalah theater of mind. Melalui suara yang dipancarkannya, radio mampu menjadikan benak para pendengar seolah-olah layar perak yang luas tanpa batas.

Kejayaan Sandiwara Radio: Era 1980-anContoh paling nyata mengenai kekuatan dan keunikan radio terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1938. Saat itu tak kurang dari sejuta warga AS mendengarkan sebuah sandiwara radio berjudul “War of The Worlds” karya Orson Wales dan John Houseman. Sebuah berita mengejutkan tiba-tiba muncul di tengah sandiwara radio ini. Dengan model penyampaian bergaya laporan pandangan mata, ditambah dengan efek suara yang dahsyat, sandiwara ini telah berhasil meyakinkan warga Amerika Serikat bahwa telah terjadi invasi makhluk Mars ke bumi. Akibatnya, kepanikan melanda jutaan warga Amerika. Padahal berita tersebut hanyalah bagian dari adegan dalam sandiwara radio.

Di Indonesia, sandiwara radio meraih popularitas yang sangat besar pada era tahun 1980-an. Booming sandiwara radio dipelopori oleh “Saur Sepuh”, sebuah kisah yang ditulis oleh Niki Kosasih. Nama-nama seperti Ferry Fadly, Eli Ermawati dan Ivonne Rose merupakan nama yang akrab di telinga pendengar saat itu. Merekalah para pengisi suara tokoh Brama kumbara, Mantili dan Lasmini dari Kerajaan Madangkara. Pendengar radio seperti tersihir mendengarkan desing pedang dan ciat-ciat jurus sakti dalam pertarungan Mantili atau rayuan maut Lasmini, tanpa perlu menilik apakah benar kerajaan Madangkara itu pernah ada dalam peta Indonesia. Keberhasilan Saur Sepuh diikuti oleh sandiwara lain seperti Tutur Tinular, Misteri Dari Gunung Merapi, dan sebagainya. Tak hanya sandiwara berlatar kerajaan dengan genre persilatan, sandiwara dengan genre drama pun turut meramaikan indra dengar masyarakat pada masa itu. “Ibuku sayang, Ibuku Malang” karya Eddy Suhendro dan “Catatan Si Boy” adalah beberapa judul sandiwara radio dengan genre drama.

Tak ketinggalan, pemerintah turut memproduksi sandiwara radio yang sarat dengan nilai-nilai versi pemerintah. Sandiwara berjudul “Butir-butir Pasir Di Laut” adalah sandiwara yang mempunyai jam tayang sangat panjang, hingga ribuan episode. Tema ceritanya adalah penanaman nilai-nilai kelluarga kecil bahagia sejahtera, mengingat drama ini disponsori oleh BKKBN. Saur Sepuh, Tutur Tinular, Ibuku Sayang, Ibuku Malang atau Butir-Butir Pasir Di Laut hanyalah sedikit dari sekian banyak sandiwara radio yang populer pada masa itu. Sandiwara-sandiwara itu diproduksi oleh sanggar cerita dan diputar di berbagai radio di seluruh Indonesia. Kepopuleran sandiwara radio menginspirasi stasiun radio lokal untuk memproduksi sandiwara radionya sendiri dengan cerita dan karakter yang disesuaikan dengan konteks masyarakat pendengarnya.

Popularitas sandiwara radio perlahan hilang ditelan maraknya televisi swasta dan media audio visual lainnya. Ruang-ruang keluarga pun dipenuhi dengan suguhan audio visual, dalam bentuk sinetron, film atau media visual lainnya. Tayangan audio visual yang disuguhkan melalui layar kaca itu telah membelenggu imajinasi pemirsanya. Maka tak heran ketika beberapa sandiwara radio diangkat ke layar kaca maupun layar lebar, penonton merasakan kekecewaan yang mendalam karena apa yang mereka lihat tak seperti yang mereka bayangkan.

Pelangi diatas Glagah Wangi: Obat rindu
“Mpu Janardana berdiri tegak menghadapi musuh-musuhnya. Kuda-kudanya siap menghalau segala kemungkinan. Di sisinya, Endang Kusumadewi terlihat gagah memegang pedang. Matanya melirik ke kanan ke kiri….” Sandiwara itu berjudul “Pelangi di atas Glagah Wangi”. Sambil mendengarkan sang pembawa cerita, Asdi Suhastra menarasikan keadaan dalam sandiwara itu, benak saya mengembara. Imajinasi saya bergerak bebas, membayangkan sosok Mpu Janardana, jejaka tua yang tampan dengan kepiawaiannya bersilat. Saya membayangkan kecantikan Endang Kusumadewi yang trampil memainkan jurus Pengracut Sukma. Saya menyaksikan cerita itu dengan telinga kepala saya. Hmmm.. sebuah kerinduan telah sedikit terobati.

Usut punya usut, rupanya sandiwara radio yang baru saja saya dengarkan itu didukung oleh PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. Sandiwara yang terdiri dari 90 episode dengan durasi 30 menit ini diproduksi untuk mengisi kembali tradisi mendengar sandiwara radio. Produksi sandiwara dikerjakan Rumah Produksi Cut 2 Cut dan disiarkan mulai 6 Agustus hingga 11 Desember 2007 melalui 70 radio jaringan KBR-68H di Pulau Jawa. Di yogyakarta, sandiwara ini bisa didengarkan di Radio Global FM 107,6 Mhz (Bantul), Radio PTDI Medari FM 90,7 Mhz (Sleman) dan Radio Suara Pasar FM 106,5 Mhz (Kulon Progo).

Kisah ”Pelangi di Atas Glagah Wangi” diambil dari cerita Babad Tanah Jawi, yakni sejarah naiknya kerajaan Demak dan ambruknya Majapahit. Meski begitu sandiwara ini mengetengahkan beragam persoalan yang relevan dengan suasana kekinian. Para tokoh utama dalam sandiwara ini antara lain Mpu Janardana, Endang Kusumadewi, Resi Wiyasa dan Rake Hambulu. Secara keseluruhan, Pelangi di Atas Glagah Wangi meramu cerita cinta, kesetiaan, keteguhan sikap, pengorbanan dan perjuangan. Cerita ini mengalir mengisi detik-detik habisnya era kerajaan Syiwa-Budha dan hadirnya Islam di tanah air. Kehadiran Pelangi diatas Glagah Wangi di ruang dengar saya, ibarat sebuah oase yang menawarkan rasa haus para musafir. Saya sangat menikmati kedigdayaan Mpu Janardana, kenakalan Endang Kusumadewi atau sikap patuh Woro Kembangsore. Meski demikian, ada beberapa hal yang saya rasakan berbeda dengan sandiwara-sandiwara radio yang pernah saya dengar. Menurut saya dialog yang diucapkan oleh para karakter dalam sandiwara ini sangat kaku dan terlalu panjang. Para pemain terdengar sangat sulit untuk berimprovisasi dengan dialog yang panjang, bahkan sesekali saya mendengar mereka seperti kehabisan napas. Mungkin karena dialog yang kepanjangan, saya juga tidak ‘merasakan’ sifat tokoh dalam sandiwara itu. Saya baru bisa memahami sifat Endang Kusumadewi setelah Mpu Janardana mengatakannya. Sebagai karakter yang bersifat nakal, lucu dan cantik, saya merasa kesulitan untuk mencari sifat-sifat itu dalam suara Endang Kusumadewi.

Hal lain yang menurut saya penting untuk dicermati adalah dari sisi cerita. Cerita dalam Pelangi diatas Glagahwangi secara garis besar adalah perjalanan Mpu Janardana yang baru saja memeluk agama Islam dan mendampingi Raden Patah mendirikan kerajaan Demak Bintoro. Meski sudah disampaikan oleh pembawa cerita di setiap awal cerita, saya merasa kurang banyak mendapatkan gambaran tentang latar belakang kejadian. Menurut saya, visualisasi imajinasi melalui efek suara atau dialog tentang konteks masyarakat saat itu, sangat terbatas. Mengingat sifat radio yang hanya selintas dengar, mungkin ada baiknya jika keadaan masyarakat saat itu digambarkan secara lebih intens.

Masa Depan Sandiwara Radio: konvergensi teknologi untuk kemerdekaan imajinasi

Meski memiliki beberapa kelemahan menurut telinga saya, namun saya sangat menghargai inisiasi ini. Sandiwara radio bagi saya adalah sebuah bentuk upaya melepaskan diri dari belenggu media audio visual, khususnya televisi. Ketika dunia imajinasi dibatasi oleh latar, wajah artis, pakaian bahkan gerak gerik yang serba diatur oleh sutradara, saat itulah belenggu seeing is believing tercipta. Ketika Saur Sepuh diangkat ke layar lebar, kami rela antri berjam-jam untuk mendapatkan tiketnya. Sayangnya, versi layar lebar Saur Sepuh tidaklah sebagus versi radio.

Saya merasa optimis bahwa masa depan sandiwara radio masih terbentang luas. Kemajuan teknologi memungkinkan beragam efek suara dimasukkan kedalam sebuah sandiwara radio. Efek suara juga memungkinkan hal-hal yang mustahil divisualkan ketika produsen dibatasi oleh dana yang mepet. Selain itu proses mixing elemen-elemen pembantu dalam sandiwara radio juga dapat dilakukan dengan halus. Kemajuan teknologi juga memungkinkan produksi sandiwara radio dengan biaya yang relatif terjangkau. Ini artinya siapa saja bisa memproduksi sandiwaranya sendiri. Cerita dan karakter bisa disesuaikan dengan pendengar dan konteks masyarakat saat ini.

Distribusi sandiwara radio kini tidak hanya terbatas pada media radio saja. Fenomena pemutar suara digital yang dipicu oleh kesuksesan Apple iPod telah membuka peluang yang sangat besar untuk memproduksi dan mendistribusikan sandiwara radio. Ditambah lagi dengan adanya teknologi podcasting sehingga sandiwara radio bisa dipancarluaskan melalui internet.
Jadi, siapa bilang sandiwara radio sudah mati?

*Penulis adalah Relawan Radio Angkringan FM 107,85 Mhz, Radio Komunitas warga Desa Timbulharjo Sewon Bantul. Media

Sunday 21 September 2008

Naskah Drama Radio Seri - Antara Dendam Dan Asmara

0 comments

Bagian 01

Pagi yang cerah. Matahari baru muncul di balik bukit, menyinarkan cahayanya di permukaan bumi mengusir kabut pagi dan menggugah semua mahkluk dari kelelapan selimutan malam. Embun pagi berkilauan di ujung-ujung daun dan rumput, burung-burung berlompatan dari dahan ke dahan sambil berbunyi saling sautan, siap untuk menunaikan tugas mereka seharihari, yaitu mencari makan. Kelinci-kelincipun bersama dengan tikus dan binatang lain, keluar dari sarang mereka dan memulai hari itu dengan mengendus-endus dan mencari-cari makanan, baik untuk perut sendiri maupun untuk perut si kecil di dalam sarang. Semua makhluk, dari binatang terkecil sampai kepada manusia, bersiap-siap melaksanakan satu tugas yang sama dalam kehidupan ini, yaitu mencari makan! Tugas utama bagi kelangsungan hidup di dunia ini. Bekerja! Hidup tanpa bekerja sama dengan mati, karena bekerja itu pada hakekatnya merupakan kebaktian dan penyembahan kepada Tuhan Maha Pencipta. Tuhan Maha Pencipta sendiri dengan kekuasaanNya, tidak pernah berhenti bekerja. Bahkan kehidupan inipun berisikan hasil dari tugas pekerjaan yang dilaksanakan dengan sempurna. Pertumbuhan setiap makhluk itu hasil pekerjaan, berdetiknya jantung setiap saat itu hasil pekerjaan, keluar masuknya pernapasan juga hasil pekerjaan. Segala sesuatu bekerja, dan itulah kehidupan! Masing-masing dari kita, bahkan masing-masing dari anggauta tubuh kita, semua memiliki tugas tertentu dan harus dilaksanakan dengan baik. Kalau kurang baik pelaksanaan sebagian saja dari tubuh kita, maka kita akan jatuh sakit.

Hutan itu sunyi dari manusia, walaupun ramai dengan binatang yang mulai sibuk. Dari semut yang paling rajin sampai dengan binatang besar yang lamban dan nampak bermalas-malasan. Akan tetapi, kesunyian itu tidak terasa oleh seorang pemuda yang juga sedang bekerja mencari kayu bakar. Kadang dia memunguti kayu kering yang sudah tanggal dari pohonnya, kadang dia melompat ke atas dan merenggut putus sebuah dahan pohon. Dari gerakannya melompat ke atas dan merenggut putus dahan-dahan itu, dapat terlihat betapa pemuda itu memiliki gerakan yang tangkas dan ringan sekali, juga renggutan tangannya amat kuat sehingga sekali renggut saja, dahan itu patah.

Musim kering belum tua benar, tidak banyak dahan kering yang sudah tanggal dari pohonnya, maka terpaksa dia mencari dahan basah untuk kemudian dijemur dan dijadikan kayu bakar. Setelah mengumpulkan sejumlah yang cukup banyak, pemuda itu berhenti bekerja, lalu dia mulai berlatih silat di bawah sebatang pohon besar.

Pemuda itu berusia sekitar dua puluh dua tahun, wajahnya sederhana seperti pakaiannnya, namun bentuk wajah itu tampan dan gagah. Sepasang alisnya berbentuk golok, dan sepasang matanya mencorong sepeti mata rajawali, hidungnya mancung dan mulutnya membayangkan semangat yang besar namun juga keramahan hati karena bibirnya selalu mengarah senyum. Dagunya agak berlekuk, menunjukkan kekerasan yang terkandung di hati, kekerasan kemauan yang tidak mudah ditundukkan. Pakaiannya dari kain kasar berwarna biru dan sepatunya dari kulit hitam. Di punggungnya nampak sebatang pedang. Tubuhnya sedang saja namun tegap dan berisi.

Pemuda ini bernama Song Ki San, seorang pemuda yang tinggal bersama gurunya di tepi hutan yang sunyi. Guru dan murid ini tinggal menyendiri, jauh dari tetangga, dan agaknya memang sang guru sedang bertapa atau menyepi, tidak suka hidup dalam masyarakat. Segala kebutuhan hidup mereka dipenuhi oleh pekerjaan pemuda itu. Untuk membeli lain keperluan, pemuda itu kadang menjual hasil buruannya atau menjual rempah-rempah yang dicarinya ke dalam hutan kepada penghuni dusun-dusun di sekitar daerah itu.

Ki San terus berlatih silat. Gerakannya cepat dan mengandung tenaga. Dari setiap gerakan tangannya timbul angin pukulan yang menggoyang daun-daun pohon di sekitarnya. Setelah bersilat dengan gaya yang indah dan mantap, dia lalu meloncat dan mencabut pedangnya. Nampak sinar berkelebat ketika dia mencabut pedang, menunjukkan bahwa pedang itu terbuat dari baja yang baik sekali. Kemudian dia bersilat pedang. Sayang di situ tidak terdapat orang lain yang menonton ilmu silat pedangnya itu. Kalau ada orang menonton, orang itu tentu akan kagum dibuatnya. Mula-mula pedang itu bergerak dengan gerakan yang mantap dan ingah, menusuk ke sana, menangkis ke sini, membacok ke sana dan setiap gerakannya mendatangkan suara berdesing nyaring. Kemudian makin lama pedang itu digerakkan semakin cepat sehingga akhirnya pedang dan orang tidak nampak lagi. Yang nampak hanya gulungan sinar pedang yang membungkus tubuh pemuda itu sehingga yang nampak hanya kadang kedua kakinya saja berloncatan ke sana sini. Sinar pedangnya bergulung-gulung abgaikan seekor naga bermain di angkasa, di antara awan dan mega.

"Ki San...!" sayup-sayup terdengar suara memanggil namanya. Dia sedang asyik bermain pedang dan mencurahkan seluruh perhatiannya kepada setiap gerakan. Namun karena pendengarannya sudah terlatih baik sekali, dia dapat menangkap suara panggilan sayup-sayup itu dan diapun menghentikan permainan pedangnya, menyimpan di punggungnya dan menghampiri tumpukan kayu bakar yang tadi sudah diikatnya, memanggul di pundaknya dan diapun berlari-lari menuju ke arah suara yang tadi memanggilnya.

"Ki San...!" suara itu memanggil dari dalam pondok. Ki San melempar tumpukan kayu bakar ke atas tanah lalu berlari memasuki pondoknya. Suara gurunya demikian lemah. Memang sudah sejak sepekan ini gurunya yang akhir-akhir ini lemah berpenyakitan, hanya rebah di pembaringan tidak mampu turun karena menderita sakit.

"Suhu...!" Ki San memasuki kamar suhunya, dan duduk di tepi pembaringan, memandang suhunya yang terengah-engah, napasnya satu-satu. "Suhu, kau kenapakah?"

"Ki San..., penyakitku kambuh hebat... aku... aku tidak kuat lagi..." kata orang tua yang berusia sekitar enam puluh tahun itu.

"Suhu, apakah suhu sudah minum obat yang tadi kusediakan?" tanyanya dengan bingung.

"Sudah, tidak ada gunanya... luka lama kambuh kembali. Dengar Ki San, engkau belum tahu, aku dahulu adalah seorang panglima yang memimpin perang dan terluka parah dalam perang, nyaris tewas. Luka itu sembuh akan tetapi sering kali kumat. Dahulu sebatang tombak memasuki perutku, ahh..."

"Suhu, tenanglah. Tidak baik banyak bicara, suhu perlu beristirahat."

"Tidak, kau harus mendengar segalanya selagi... selagi aku masih kuat bicara. Dengar, Ki San, aku mempunyai sebuah ganjalan hati... aku mempunyai seorang musuh besar. Maukah engkau mewakili aku dan membunuh musuhku itu?"

Ki San terkejut. "Akan tetapi, suhu. Berulang kali suhu melarang teecu (aku) membenci dan mendendam, apa lagi membunuh orang karena dendam!"

"Memang benar, akan tetapi dengarlah... orang itu... dia telah merampas satu-satunya orang yang kucinta, merenggut wanita yang menjadi isteriku itu dari tanganku. Aku... tidak akan dapat mati dengan mata terpejam sebelum dapat membunuhnya...! maukah engkau melakukan untuk aku...?"

Ki San mengerutkan alisnya. Perbuatan orang itu keterlaluan sekali. Merampas isteri suhunya? "Siapa orang itu, suhu?"

"Namanya Kwan Ciu Ek dan tinggal di Wi-keng di selatan Sungai Kuning. Dia... dia dahulu adalah sahabat baikku... akan tetapi berhati-hatilah, dia memiliki ilmu kepandaian yang lihai. Karena itulah maka aku menurunkan semua kepandaianku kepadamu, Ki San, dan aku yakin sekarang engkau akan mampu mengalahkannya..."

Melihat muridnya diam saja, orang tua itu lalu berusaha untuk bangkit, akan tetapi dia tidak kuat dan cepat Ki San menopangnya.

"Ki San, berjanjilah bahwa engkau akan mencarinya dan membalaskan sakit hatiku."

"Baiklah, suhu. Aku berjanji!"

Baru orang itu kelihatan lega dan dia tertidur kembali. Muridnya menjaganya dan berusaha memberinya obat, akan tetapi semua itu sia-sia belaka karena dua hari kemudian orang tua itu meninggal dunia dan pesannya yang terakhir adalah penekanan agar murid itu mau membalaskan dendamnya terhadap orang yang bernama Kwan Ciu Ek.

Ki San menangisi kematian gurunya. Dia adalah seorang anak yatim piatu, ayah ibunya juga meninggal dunia ketika terjadi perang. Dalam pengungsian, ayah ibunya bertemu gerombolan penjahat dan merekapun dirampok dan dibunuh. Dia sendiri sempat melarikan diri dan terlunta-lunta sampai dia ditemukan gurunya dan diajak pergi. Sejak itu, sejak berusia dua belas tahun, dia ikut gurunya dan dia menganggap gurunya sebagai pengganti kedua orang tuanya. Dia digembleng ilmu silat dan ilmu membaca menulis oleh gurunya yang amat menyayangnya. Maka, kini kematian gurunya membuatnya merasa kehilangan segala-galanya dan dia menangis sedih di dalam makam gurunya yang berada di belakang pondok dan dibuat secara sederhana sekali. Karena dia tidak bertetangga, maka dia menguburkan jenazah gurunya secara diam-diam seorang diri pula sambil menangis.

Kenapa kematian seseorang selalu ditangisi? Untuk apa dan untuk siapakah orang menangisi kematian seseorang? Untuk siapakah kedukaan karena kematian itu? Tanpa kita sadari, sebetulnya kesedihan itu adalah untuk diri sendiri. Bukan untuk si mati. Tidak mungkin kita menyedihkan si mati karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi dengan si mati. Kita bersedih melihat orang sakit atau orang terhukum karena iba melihat penderitaannya. Akan tetapi mati? Kita tidak tahu apakah yang mati itu akan menderita ataukah tidak, maka semua tangis itu sebetulnya terjadi karena iba diri, karena kita merasa kasihan kepada diri kita sendiri. Kita ditinggal orang yang kita kasihi, kita merasa kehilangan, kesepian, karena itulah kita menangis! Bukan karena yang mati.

Kalau Ki San teringat kepada yang mati, sepatutnya dia bersukur tidak menangis. Bersukur karena orang yang dicintanya itu setidaknya telah terbebas dari pada rasa sakit. Tidak, diapun tidak menangisi yang mati, melainkan menangis karena merasa ditinggalkan dan merasa betapa kini dia hidup sebatang kara di dunia ini.

Akan tetapi Ki San segera dapat menghentikan tangisnya. Dia memang memiliki kekerasan hati sehingga dia tidak membiarkan diri berlarut-larut dicekam duka. Gurunya sudah mati, sudah habis. Karena itu, dia harus melanjutkan seorang diri, dan dia bahkan ditinggali sebuah tugas oleh gurunya. Membalas dendam! Sejak kecil gurunya sudah mengajarkan agar hatinya jangan dikacau dendam kebencian, akan tetapi sekali ini lain lagi. Dia harus melaksanakan pembalasan dendam itu, setidaknya untuk membalas budi suhunya yang bertumpuk-tumpuk. Dia akan pergi mencari Kwan Ciu Ek dan akan dibunuhnya orang yang telah merampas isteri suhunya itu. Ki kota Wi-keng, di seberang selatang Huang-ho, itulah tempat tujuan perjalanannya.

Pada masa itu pemerintahan amatlah lemahnya. Kaisar agaknya kurang memperhatikan jalannya pemerintahan dan hanya berenang di dalam kesenangan dan foya-foya sehingga para pejabat berkiprah seenaknya tanpa ada yang mengawasi. Mereka melakukan korupsi besarbesaran dan tidak memperhatikan pemerintahan, hanya mementingkan diri pribadi belaka. Semua tugas yang harus mereka lakukan, mereka kerjakan dengan tujuan kepentingan pribadi, maka tentu saja terjadi penyelewengan-penyelewengan dan korupsi. Rakyatlah yang menderita, bukan hanya menderita dari para pejabat, akan tetapi juga menderita dengan tumbuhnya banyak gerombolan penjahat yang seolah tidak ada yang mengawasi atau menghalangi.

Perbuatan apapun di dunia ini selalu dikerjakan orang dengan pamrih, dengan tujuan. Pada hal, yang penting bukanlah tujuannya, melainkan caranya. Tujuan hanyalah khayal belaka, hanyalah keinginan tercapainya sesuatu. Akan tetapi cara adalah keadaan yang sebenarnya, cara adalah apa yang kita kerjakan. Kalau caranya baik, maka akhirnya juga tentu benar. Sebaliknya, betapapun mulia tujuannya, kalau cara melaksanakannya tidak baik dan tidak benar, maka tujuan akhir itu juga tidak benar. Banyak orang memakai cara yang salah untuk melakukan suatu tujuan dengan dalih tujuan yang mulia, yang benar. Akan tetapi hal itu tidak mungkin terjadi. Cara yang kotor tentu menghasilkan tujuan akhir yang kotor pula. Hidup ini adalah cara demi cara, saat demi saat, apa yang kita lakukan sekarang ini, bukan apa yang akan menjadi hasil perbuatan yang kita lakukan sekarang. Yang terpenting, kita melakukan segala sesuatu sebaik mungkin, tanpa pamrih demi kepentingan pribadi. Berhasil atau tidaknya, terserah karena kita tidak kuasa untuk menentukan hasil suatu pekerjaan. Bersambung………….!!

Media

Di Atas Sajadah Cinta

0 comments
Penulis: Habiburrahman El Shirazy

KOTA KUFAH terang oleh sinar purnama. Semilir angin yang bertiup dari utara membawa hawa sejuk. Sebagian rumah telah menutup pintu dan jendelanya. Namun geliat hidup kota Kufah masih terasa.Di serambi masjid Kufah, seorang pemuda berdiri tegap menghadap kiblat. Kedua matanya memandang teguh ke tempat sujud. Bibirnya bergetar melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Hati dan seluruh gelegak jiwanya menyatu dengan Tuhan, Pencipta alam semesta. Orang-orang memanggilnya “Zahid” atau “Si Ahli Zuhud”, karena kezuhudannya meskipun ia masih muda. Dia dikenal masyarakat sebagai pemuda yang paling tampan dan paling mencintai masjid di kota Kufah pada masanya. Sebagian besar waktunya ia habiskan di dalam masjid, untuk ibadah dan menuntut ilmu pada ulama terkemuka kota Kufah. Saat itu masjid adalah pusat peradaban, pusat pendidikan, pusat informasi dan pusat perhatian.

Pemuda itu terus larut dalam samudera ayat Ilahi. Setiap kali sampai pada ayat-ayat azab,

tubuh pemuda itu bergetar hebat. Air matanya mengalir deras. Neraka bagaikan menyala-nyala

dihadapannya. Namun jika ia sampai pada ayat-ayat nikmat dan surga, embun sejuk dari langit

terasa bagai mengguyur sekujur tubuhnya. Ia merasakan kesejukan dan kebahagiaan. Ia bagai

mencium aroma wangi para bidadari yang suci.

Tatkala sampai pada surat Asy Syams, ia menangis,

“fa alhamaha fujuuraha wa taqwaaha.

qad aflaha man zakkaaha.

wa qad khaaba man dassaaha

…”

(maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketaqwaan,

sesungguhnya, beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,

dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya

…)

Hatinya bertanya-tanya. Apakah dia termasuk golongan yang mensucikan jiwanya. Ataukah

golongan yang mengotori jiwanya? Dia termasuk golongan yang beruntung, ataukah yang merugi?

Ayat itu ia ulang berkali-kali. Hatinya bergetar hebat. Tubuhnya berguncang. Akhirnya ia

pingsan.



***



Sementara itu, di pinggir kota tampak sebuah rumah mewah bagai istana. Lampu-lampu yang

menyala dari kejauhan tampak berkerlap-kerlip bagai bintang gemintang. Rumah itu milik

seorang saudagar kaya yang memiliki kebun kurma yang luas dan hewan ternak yang tak

terhitung jumlahnya.

Dalam salah satu kamarnya, tampak seorang gadis jelita sedang menari-nari riang gembira.

Wajahnya yang putih susu tampak kemerahan terkena sinar yang terpancar bagai tiga lentera

yang menerangi ruangan itu. Kecantikannya sungguh memesona. Gadis itu terus menari sambil

mendendangkan syair-syair cinta,

“in kuntu ‘asyiqatul lail fa ka’si

musyriqun bi dhau’

wal hubb al wariq

…”

(jika aku pencinta malam maka

gelasku memancarkan cahaya

dan cinta yang mekar

…)



***



Gadis itu terus menari-nari dengan riangnya. Hatinya berbunga-bunga. Di ruangan tengah,

kedua orangtuanya menyungging senyum mendengar syair yang didendangkan putrinya. Sang ibu

berkata, “Abu Afirah, putri kita sudah menginjak dewasa. Kau dengarkanlah baik-baik

syair-syair yang ia dendangkan.”

“Ya, itu syair-syair cinta. Memang sudah saatnya dia menikah. Kebetulan tadi siang di pasar

aku berjumpa dengan Abu Yasir. Dia melamar Afirah untuk putranya, Yasir.”

“Bagaimana, kau terima atau…?”

“Ya jelas langsung aku terima. Dia ‘kan masih kerabat sendiri dan kita banyak berhutang budi

padanya. Dialah yang dulu menolong kita waktu kesusahan. Di samping itu Yasir itu gagah dan

tampan.”

“Tapi bukankah lebih baik kalau minta pendapat Afirah dulu?”

“Tak perlu! Kita tidak ada pilihan kecuali menerima pinangan ayah Yasir. Pemuda yang paling

cocok untuk Afirah adalah Yasir.”

“Tapi, engkau tentu tahu bahwa Yasir itu pemuda yang tidak baik.”

“Ah, itu gampang. Nanti jika sudah beristri Afirah, dia pasti juga akan tobat! Yang penting

dia kaya raya.”



***



Pada saat yang sama, di sebuah tenda mewah, tak jauh dari pasar Kufah. Seorang pemuda tampan

dikelilingi oleh teman-temannya. Tak jauh darinya seorang penari melenggak lenggokan

tubuhnya diiringi suara gendang dan seruling.

“Ayo bangun, Yasir. Penari itu mengerlingkan matanya padamu!” bisik temannya.

“Be…benarkah?”

“Benar. Ayo cepatlah. Dia penari tercantik kota ini. Jangan kau sia-siakan kesempatan ini,

Yasir!”

“Baiklah. Bersenang-senang dengannya memang impianku.”

Yasir lalu bangkit dari duduknya dan beranjak menghampiri sang penari. Sang penari

mengulurkan tangan kanannya dan Yasir menyambutnya. Keduanya lalu menari-nari diiringi irama

seruling dan gendang. Keduanya benar-benar hanyut dalam kelenaan. Dengan gerakan mesra

penari itu membisikkan sesuatu ketelinga Yasir,

“Apakah Anda punya waktu malam ini bersamaku?”

Yasir tersenyum dan menganggukan kepalanya. Keduanya terus menari dan menari. Suara gendang

memecah hati. Irama seruling melengking-lengking. Aroma arak menyengat nurani. Hati dan

pikiran jadi mati.



***

Keesokan harinya.

Usai shalat dhuha, Zahid meninggalkan masjid menuju ke pinggir kota. Ia hendak menjenguk

saudaranya yang sakit. Ia berjalan dengan hati terus berzikir membaca ayat-ayat suci

Al-Quran. Ia sempatkan ke pasar sebentar untuk membeli anggur dan apel buat saudaranya yang

sakit.

Zahid berjalan melewati kebun kurma yang luas. Saudaranya pernah bercerita bahwa kebun itu

milik saudagar kaya, Abu Afirah. Ia terus melangkah menapaki jalan yang membelah kebun kurma

itu. Tiba-tiba dari kejauhan ia melihat titik hitam. Ia terus berjalan dan titik hitam itu

semakin membesar dan mendekat. Matanya lalu menangkap di kejauhan sana perlahan bayangan itu

menjadi seorang sedang menunggang kuda. Lalu sayup-sayup telinganya menangkap suara,

“Toloong! Toloong!!”

Suara itu datang dari arah penunggang kuda yang ada jauh di depannya. Ia menghentikan

langkahnya. Penunggang kuda itu semakin jelas.

“Toloong! Toloong!!”

Suara itu semakin jelas terdengar. Suara seorang perempuan. Dan matanya dengan jelas bisa

menangkap penunggang kuda itu adalah seorang perempuan. Kuda itu berlari kencang.

“Toloong! Toloong hentikan kudaku ini! Ia tidak bisa dikendalikan!”

Mendengar itu Zahid tegang. Apa yang harus ia perbuat. Sementara kuda itu semakin dekat dan

tinggal beberapa belas meter di depannya. Cepat-cepat ia menenangkan diri dan membaca

shalawat. Ia berdiri tegap di tengah jalan. Tatkala kuda itu sudah sangat dekat ia

mengangkat tangan kanannya dan berkata keras,

“Hai kuda makhluk Allah, berhentilah dengan izin Allah!”

Bagai pasukan mendengar perintah panglimanya, kuda itu meringkik dan berhenti seketika.

Perempuan yang ada dipunggungnya terpelanting jatuh. Perempuan itu mengaduh. Zahid mendekati

perempuan itu dan menyapanya,

“Assalamu’alaiki. Kau tidak apa-apa?”

Perempuan itu mengaduh. Mukanya tertutup cadar hitam. Dua matanya yang bening menatap Zahid.

Dengan sedikit merintih ia menjawab pelan,

“Alhamdulillah, tidak apa-apa. Hanya saja tangan kananku sakit sekali. Mungkin terkilir saat

jatuh.”

“Syukurlah kalau begitu.”

Dua mata bening di balik cadar itu terus memandangi wajah tampan Zahid. Menyadari hal itu

Zahid menundukkan pandangannya ke tanah. Perempuan itu perlahan bangkit. Tanpa sepengetahuan

Zahid, ia membuka cadarnya. Dan tampaklah wajah cantik nan memesona,

“Tuan, saya ucapkan terima kasih. Kalau boleh tahu siapa nama Tuan, dari mana dan mau ke

mana Tuan?”

Zahid mengangkat mukanya. Tak ayal matanya menatap wajah putih bersih memesona. Hatinya

bergetar hebat. Syaraf dan ototnya terasa dingin semua. Inilah untuk pertama kalinya ia

menatap wajah gadis jelita dari jarak yang sangat dekat. Sesaat lamanya keduanya beradu

pandang. Sang gadis terpesona oleh ketampanan Zahid, sementara gemuruh hati Zahid tak kalah

hebatnya. Gadis itu tersenyum dengan pipi merah merona, Zahid tersadar, ia cepat-cepat

menundukkan kepalanya. “Innalillah. Astagfirullah,” gemuruh hatinya.

“Namaku Zahid, aku dari masjid mau mengunjungi saudaraku yang sakit.”

“Jadi, kaukah Zahid yang sering dibicarakan orang itu? Yang hidupnya cuma di dalam masjid?”

“Tak tahulah. Itu mungkin Zahid yang lain.” kata Zahid sambil membalikkan badan. Ia lalu

melangkah.

“Tunggu dulu Tuan Zahid! Kenapa tergesa-gesa? Kau mau kemana? Perbincangan kita belum

selesai!”

“Aku mau melanjutkan perjalananku!”

Tiba-tiba gadis itu berlari dan berdiri di hadapan Zahid. Terang saja Zahid gelagapan.

Hatinya bergetar hebat menatap aura kecantikan gadis yang ada di depannya. Seumur hidup ia

belum pernah menghadapi situasi seperti ini.

“Tuan aku hanya mau bilang, namaku Afirah. Kebun ini milik ayahku. Dan rumahku ada di

sebelah selatan kebun ini. Jika kau mau silakan datang ke rumahku. Ayah pasti akan senang

dengan kehadiranmu. Dan sebagai ucapan terima kasih aku mau menghadiahkan ini.”

Gadis itu lalu mengulurkan tangannya memberi sapu tangan hijau muda.

“Tidak usah.”

“Terimalah, tidak apa-apa! Kalau tidak Tuan terima, aku tidak akan memberi jalan!”

Terpaksa Zahid menerima sapu tangan itu. Gadis itu lalu minggir sambil menutup kembali

mukanya dengan cadar. Zahid melangkahkan kedua kakinya melanjutkan perjalanan.



***



Saat malam datang membentangkan jubah hitamnya, kota Kufah kembali diterangi sinar rembulan.

Angin sejuk dari utara semilir mengalir.

Afirah terpekur di kamarnya. Matanya berkaca-kaca. Hatinya basah. Pikirannya bingung. Apa

yang menimpa dirinya. Sejak kejadian tadi pagi di kebun kurma hatinya terasa gundah. Wajah

bersih Zahid bagai tak hilang dari pelupuk matanya. Pandangan matanya yang teduh menunduk

membuat hatinya sedemikian terpikat. Pembicaraan orang-orang tentang kesalehan seorang

pemuda di tengah kota bernama Zahid semakin membuat hatinya tertawan. Tadi pagi ia menatap

wajahnya dan mendengarkan tutur suaranya. Ia juga menyaksikan wibawanya. Tiba-tiba air

matanya mengalir deras. Hatinya merasakan aliran kesejukan dan kegembiraan yang belum pernah

ia rasakan sebelumnya. Dalam hati ia berkata,

“Inikah cinta? Beginikah rasanya? Terasa hangat mengaliri syaraf. Juga terasa sejuk di dalam

hati. Ya Rabbi, tak aku pungkiri aku jatuh hati pada hamba-Mu yang bernama Zahid. Dan inilah

untuk pertama kalinya aku terpesona pada seorang pemuda. Untuk pertama kalinya aku jatuh

cinta. Ya Rabbi, izinkanlah aku mencintainya.”

Air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Ia teringat sapu tangan yang ia berikan pada

Zahid. Tiba-tiba ia tersenyum,

“Ah sapu tanganku ada padanya. Ia pasti juga mencintaiku. Suatu hari ia akan datang kemari.”

Hatinya berbunga-bunga. Wajah yang tampan bercahaya dan bermata teduh itu hadir di pelupuk

matanya.



***

Sementara itu di dalam masjid Kufah tampak Zahid yang sedang menangis di sebelah kanan

mimbar. Ia menangisi hilangnya kekhusyukan hatinya dalam shalat. Ia tidak tahu harus berbuat

apa. Sejak ia bertemu dengan Afirah di kebun kurma tadi pagi ia tidak bisa mengendalikan

gelora hatinya. Aura kecantikan Afirah bercokol dan mengakar sedemikian kuat dalam

relung-relung hatinya. Aura itu selalu melintas dalam shalat, baca Al-Quran dan dalam apa

saja yang ia kerjakan. Ia telah mencoba berulang kali menepis jauh-jauh aura pesona Afirah

dengan melakukan shalat sekhusyu’-khusyu’-nya namun usaha itu sia-sia.

“Ilahi, kasihanilah hamba-Mu yang lemah ini. Engkau Mahatahu atas apa yang menimpa diriku.

Aku tak ingin kehilangan cinta-Mu. Namun Engkau juga tahu, hatiku ini tak mampu mengusir

pesona kecantikan seorang makhluk yang Engkau ciptakan. Saat ini hamba sangat lemah

berhadapan dengan daya tarik wajah dan suaranya Ilahi, berilah padaku cawan kesejukan untuk

meletakkan embun-embun cinta yang menetes-netes dalam dinding hatiku ini. Ilahi, tuntunlah

langkahku pada garis takdir yang paling Engkau ridhai. Aku serahkan hidup matiku untuk-Mu.”

Isak Zahid mengharu biru pada Tuhan Sang Pencipta hati, cinta, dan segala keindahan semesta.

Zahid terus meratap dan mengiba. Hatinya yang dipenuhi gelora cinta terus ia paksa untuk

menepis noda-noda nafsu. Anehnya, semakin ia meratap embun-embun cinta itu semakin deras

mengalir. Rasa cintanya pada Tuhan. Rasa takut akan azab-Nya. Rasa cinta dan rindu-Nya pada

Afirah. Dan rasa tidak ingin kehilangannya. Semua bercampur dan mengalir sedemikian hebat

dalam relung hatinya. Dalam puncak munajatnya ia pingsan.

Menjelang subuh, ia terbangun. Ia tersentak kaget. Ia belom shalat tahajjud. Beberapa orang

tampak tengah asyik beribadah bercengkerama dengan Tuhannya. Ia menangis, ia menyesal.

Biasanya ia sudah membaca dua juz dalam shalatnya.

“Ilahi, jangan kau gantikan bidadariku di surga dengan bidadari dunia. Ilahi, hamba lemah

maka berilah kekuatan!”

Ia lalu bangkit, wudhu, dan shalat tahajjud. Di dalam sujudnya ia berdoa,

“Ilahi, hamba mohon ridha-Mu dan surga. Amin. Ilahi lindungi hamba dari murkamu dan neraka.

Amin. Ilahi, jika boleh hamba titipkan rasa cinta hamba pada Afirah pada-Mu, hamba terlalu

lemah untuk menanggung-Nya. Amin. Ilahi, hamba memohon ampunan-Mu, rahmat-Mu, cinta-Mu, dan

ridha-Mu. Amin.”



***



Pagi hari, usai shalat dhuha Zahid berjalan ke arah pinggir kota. Tujuannya jelas yaitu

melamar Afirah. Hatinya mantap untuk melamarnya. Di sana ia disambut dengan baik oleh kedua

orangtua Afirah. Mereka sangat senang dengan kunjungan Zahid yang sudah terkenal

ketakwaannya di seantero penjuru kota. Afiah keluar sekejab untuk membawa minuman lalu

kembali ke dalam. Dari balik tirai ia mendengarkan dengan seksama pembicaraan Zahid dengan

ayahnya. Zahid mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu melamar Afirah.

Sang ayah diam sesaat. Ia mengambil nafas panjang. Sementara Afirah menanti dengan seksama

jawaban ayahnya. Keheningan mencekam sesaat lamanya. Zahid menundukkan kepala ia pasrah

dengan jawaban yang akan diterimanya. Lalu terdengarlah jawaban ayah Afirah,

“Anakku Zahid, kau datang terlambat. Maafkan aku, Afirah sudah dilamar Abu Yasir untuk

putranya Yasir beberapa hari yang lalu, dan aku telah menerimanya.”

Zahid hanya mampu menganggukan kepala. Ia sudah mengerti dengan baik apa yang didengarnya.

Ia tidak bisa menyembunyikan irisan kepedihan hatinya. Ia mohon diri dengan mata

berkaca-kaca. Sementara Afirah, lebih tragis keadaannya. Jantungnya nyaris pecah

mendengarnya. Kedua kakinya seperti lumpuh seketika. Ia pun pingsan saat itu juga.



***



Zahid kembali ke masjid dengan kesedihan tak terkira. Keimanan dan ketakwaan Zahid ternyata

tidak mampu mengusir rasa cintanya pada Afirah. Apa yang ia dengar dari ayah Afirah membuat

nestapa jiwanya. Ia pun jatuh sakit. Suhu badannya sangat panas. Berkali-kali ia pingsan.

Ketika keadaannya kritis seorang jamaah membawa dan merawatnya di rumahnya. Ia sering

mengigau. Dari bibirnya terucap kalimat tasbih, tahlil, istigfhar dan … Afirah.

Kabar tentang derita yang dialami Zahid ini tersebar ke seantero kota Kufah. Angin pun

meniupkan kabar ini ke telinga Afirah. Rasa cinta Afirah yang tak kalah besarnya membuatnya

menulis sebuah surat pendek,







Kepada Zahid,



Assalamu’alaikum



Aku telah mendengar betapa dalam rasa cintamu padaku. Rasa cinta itulah yang membuatmu sakit

dan menderita saat ini. Aku tahu kau selalu menyebut diriku dalam mimpi dan sadarmu. Tak

bisa kuingkari, aku pun mengalami hal yang sama. Kaulah cintaku yang pertama. Dan kuingin

kaulah pendamping hidupku selama-lamanya.

Zahid,

Kalau kau mau. Aku tawarkan dua hal padamu untuk mengobati rasa haus kita berdua. Pertama,

aku akan datang ke tempatmu dan kita bisa memadu cinta. Atau kau datanglah ke kamarku, akan

aku tunjukkan jalan dan waktunya.



Wassalam

Afirah



===============================================================



Surat itu ia titipkan pada seorang pembantu setianya yang bisa dipercaya. Ia berpesan agar

surat itu langsung sampai ke tangan Zahid. Tidak boleh ada orang ketiga yang membacanya. Dan

meminta jawaban Zahid saat itu juga.

Hari itu juga surat Afirah sampai ke tangan Zahid. Dengan hati berbunga-bunga Zahid menerima

surat itu dan membacanya. Setelah tahu isinya seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ia menarik

nafas panjang dan beristighfar sebanyak-banyaknya. Dengan berlinang air mata ia menulis

untuk Afirah :







Kepada Afirah,



Salamullahi’alaiki,



Benar aku sangat mencintaimu. Namun sakit dan deritaku ini tidaklah semata-mata karena rasa

cintaku padamu. Sakitku ini karena aku menginginkan sebuah cinta suci yang mendatangkan

pahala dan diridhai Allah ‘Azza Wa Jalla’. Inilah yang kudamba. Dan aku ingin mendamba yang

sama. Bukan sebuah cinta yang menyeret kepada kenistaan dosa dan murka-Nya.

Afirah,

Kedua tawaranmu itu tak ada yang kuterima. Aku ingin mengobati kehausan jiwa ini dengan

secangkir air cinta dari surga. Bukan air timah dari neraka. Afirah, “Inni akhaafu in

‘ashaitu Rabbi adzaaba yaumin ‘adhim!” ( Sesungguhnya aku takut akan siksa hari yang besar

jika aku durhaka pada Rabb-ku. Az Zumar : 13 )

Afirah,

Jika kita terus bertakwa. Allah akan memberikan jalan keluar. Tak ada yang bisa aku lakukan

saat ini kecuali menangis pada-Nya. Tidak mudah meraih cinta berbuah pahala. Namun aku

sangat yakin dengan firmannya :

“Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang

tidak baik adalah buat wanita-wanita yang tidak baik (pula), dan wanita-wanita yang baik

adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang

baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Bagi

mereka ampunan dan rizki yang mulia (yaitu surga).”

Karena aku ingin mendapatkan seorang bidadari yang suci dan baik maka aku akan berusaha

kesucian dan kebaikan. Selanjutnya Allahlah yang menentukan.

Afirah,

Bersama surat ini aku sertakan sorbanku, semoga bisa jadi pelipur lara dan rindumu. Hanya

kepada Allah kita serahkan hidup dan mati kita.



Wassalam,

Zahid

Aku Ingin Mencintaimu Dengan Sederhana

0 comments
Penulis : Inayati
Aku memandang kalender yang terletak di meja dengan kesal. Sabtu, 30 Maret 2002, hari ulang tahun perkawinan kami yang ketiga. Dan untuk ketiga kalinya pula Aa’ lupa. Ulang tahun pertama, Aa’ lupa karena harus rapat dengan direksi untuk menyelesaikan beberapa masalah keuangan perusahaan. Sebagai Direktur keuangan, Aa’ memang berkewajiban menyelesaikan masalah tersebut. Baiklah, aku maklum. Persoalan saat itu memang lumayan pelik.

Ulang tahun kedua, Aa’ harus keluar kota untuk melakukan presentasi. Kesibukannya membuatnya lupa. Dan setelah minta maaf, waktu aku menyatakan kekesalanku, dengan kalem ia menyahut,” Dik, toh aku sudah membuktikan cintaku sepanjang tahun. Hari itu tidak dirayakan kan tidak apa-apa. Cinta kan tidak butuh upacara…”

Sekarang, pagi-pagi ia sudah pamit ke kantor karena harus menyiapkan beberapa dokumen rapat. Ia pamit saat aku berada di kamar mandi. Aku memang sengaja tidak mengingatkannya tentang ulang tahun perkawinan kami. Aku ingin mengujinya, apakah ia ingat atau tidak kali ini. Nyatanya? Aku menarik napas panjang.

Heran, apa sih susahnya mengingat hari ulang tahun perkawinan sendiri? Aku mendengus kesal. Aa’ memang berbeda dengan aku. Ia kalem dan tidak ekspresif, apalagi romantis. Maka, tidak pernah ada bunga pada momen-momen istimewa atau puisi yang dituliskan di selembar kertas merah muda seperti yang sering kubayangkan saat sebelum aku menikah.

Sedangkan aku, ekspresif dan romantis. Aku selalu memberinya hadiah dengan kata-kata manis setiap hari ulang tahunnya. Aku juga tidak lupa mengucapkan berpuluh kali kata I love you setiap minggu. Mengirim pesan, bahkan puisi lewat sms saat ia keluar kota. Pokoknya, bagiku cinta harus diekspresikan dengan jelas. Karena kejelasan juga bagian dari cinta.

Aku tahu, kalau aku mencintai Aa’, aku harus menerimanya apa adanya. Tetapi, masak sih orang tidak mau berubah dan belajar? Bukankah aku sudah mengajarinya untuk bersikap lebih romantis? Ah, pokoknya aku kesal titik. Dan semua menjadi tidak menyenangkan bagiku. Aku uring-uringan. Aa’ jadi benar-benar menyebalkan di mataku. Aku mulai menghitung-hitung waktu dan perhatian yang diberikannya kepadaku dalam tiga tahun perkawinan kami. Tidak ada akhir minggu yang santai. Jarang sekali kami sempat pergi berdua untuk makan malam di luar. Waktu luang biasanya dihabiskannya untuk tidur sepanjang hari. Jadilah aku manyun sendiri hampir setiap hari minggu dan cuma bisa memandangnya mendengkur dengan manis di tempat tidur.

Rasa kesalku semakin menjadi. Apalagi, hubungan kami seminggu ini memang sedang tidak baik. Kami berdua sama-sama letih. Pekerjaan yang bertumpuk di tempat tugas kami masing-masing membuat kami bertemu di rumah dalam keadaan sama-sama letih dan mudah tersinggung satu sama lain. Jadilah, beberapa kali kami bertengkar minggu ini.

Sebenarnya, hari ini aku sudah mengosongkan semua jadual kegiatanku. Aku ingin berdua saja dengannya hari ini dan melakukan berbagai hal menyenangkan. Mestinya, Sabtu ini ia libur. Tetapi, begitulah Aa’. Sulit sekali baginya meninggalkan pekerjaannya, bahkan pada akhir pekan seperti ini. Mungkin, karena kami belum mempunyai anak. Sehingga ia tidak merasa perlu untuk meluangkan waktu pada akhir pekan seperti ini.

”Hen, kamu yakin mau menerima lamaran A’ Ridwan?” Diah sahabatku menatapku heran. ”Kakakku itu enggak romantis, lho. Tidak seperti suami romantis yang sering kau bayangkan. Dia itu tipe laki-laki serius yang hobinya bekerja keras. Baik sih, soleh, setia… Tapi enggak humoris. Pokoknya, hidup sama dia itu datar. Rutin dan membosankan. Isinya cuma kerja, kerja dan kerja…” Diah menyambung panjang lebar. Aku cuma senyum-senyum saja saat itu. Aa’ memang menanyakan kesediaanku untuk menerima lamaranku lewat Diah.

”Kamu kok gitu, sih? Enggak senang ya kalau aku jadi kakak iparmu?” tanyaku sambil cemberut. Diah tertawa melihatku. ”Yah, yang seperti ini mah tidak akan dilayani. Paling ditinggal pergi sama A’ Ridwan.” Diah tertawa geli. ”Kamu belum tahu kakakku, sih!” Tetapi, apapun kata Diah, aku telah bertekad untuk menerima lamaran Aa’. Aku yakin kami bisa saling menyesuaikan diri. Toh ia laki-laki yang baik. Itu sudah lebih dari cukup buatku.

Minggu-minggu pertama setelah perkawinan kami tidak banyak masalah berarti. Seperti layaknya pengantin baru, Aa’ berusaha romantis. Dan aku senang. Tetapi, semua berakhir saat masa cutinya berakhir. Ia segera berkutat dengan segala kesibukannya, tujuh hari dalam seminggu. Hampir tidak ada waktu yang tersisa untukku. Ceritaku yang antusias sering hanya ditanggapinya dengan ehm, oh, begitu ya… Itupun sambil terkantuk-kantuk memeluk guling. Dan, aku yang telah berjam-jam menunggunya untuk bercerita lantas kehilangan selera untuk melanjutkan cerita.

Begitulah… aku berusaha mengerti dan menerimanya. Tetapi pagi ini, kekesalanku kepadanya benar-benar mencapai puncaknya. Aku izin ke rumah ibu. Kukirim sms singkat kepadanya. Kutunggu. Satu jam kemudian baru kuterima jawabannya. Maaf, aku sedang rapat. Hati-hati. Salam untuk Ibu. Tuh, kan. Lihat. Bahkan ia membutuhkan waktu satu jam untuk membalas smsku. Rapat, presentasi, laporan keuangan, itulah saingan yang merebut perhatian suamiku.

Aku langsung masuk ke bekas kamarku yang sekarang ditempati Riri adikku. Kuhempaskan tubuhku dengan kesal. Aku baru saja akan memejamkan mataku saat samar-samar kudengar Ibu mengetuk pintu. Aku bangkit dengan malas.

”Kenapa Hen? Ada masalah dengan Ridwan?” Ibu membuka percakapan tanpa basa-basi. Aku mengangguk. Ibu memang tidak pernah bisa dibohongi. Ia selalu berhasil menebak dengan jitu.

Walau awalnya tersendat, akhirnya aku bercerita juga kepada Ibu. Mataku berkaca-kaca. Aku menumpahkan kekesalanku kepada Ibu. Ibu tersenyum mendengar ceritaku. Ia mengusap rambutku. ”Hen, mungkin semua ini salah Ibu dan Bapak yang terlalu memanjakan kamu. Sehingga kamu menjadi terganggu dengan sikap suamimu. Cobalah, Hen pikirkan baik-baik. Apa kekurangan Ridwan? Ia suami yang baik. Setia, jujur dan pekerja keras. Ridwan itu tidak pernah kasar sama kamu, rajin ibadah. Ia juga baik dan hormat kepada Ibu dan Bapak. Tidak semua suami seperti dia, Hen. Banyak orang yang dizholimi suaminya. Na’udzubillah!” Kata Ibu.

Aku terdiam. Yah, betul sih apa yang dikatakan Ibu. ”Tapi Bu, dia itu keterlaluan sekali. Masak Ulang tahun perkawinan sendiri tiga kali lupa. Lagi pula, dia itu sama sekali tidak punya waktu buat aku. Aku kan istrinya, bu. Bukan cuma bagian dari perabot rumah tangga yang hanya perlu ditengok sekali-sekali.” Aku masih kesal. Walaupun dalam hati aku membenarkan apa yang diucapkan Ibu.

Ya, selain sifat kurang romantisnya, sebenarnya apa kekurangan Aa’? Hampir tidak ada. Sebenarnya, ia berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakanku dengan caranya sendiri. Ia selalu mendorongku untuk menambah ilmu dan memperluas wawasanku. Ia juga selalu menyemangatiku untuk lebih rajin beribadah dan selalu berbaik sangka kepada orang lain. Soal kesetiaan? Tidak diragukan. Diah satu kantor dengannya. Dan ia selalu bercerita denganku bagaimana Aa’ bersikap terhadap rekan-rekan wanitanya di kantor. Aa’ tidak pernah meladeni ajakan Anita yang tidak juga bosan menggoda dan mengajaknya kencan. Padahal kalau mau, dengan penampilannya yang selalu rapi dan cool seperti itu, tidak sulit buatnya menarik perhatian lawan jenis.

”Hen, kalau kamu merasa uring-uringan seperti itu, sebenarnya bukan Ridwan yang bermasalah. Persoalannya hanya satu, kamu kehilangan rasa syukur…” Ibu berkata tenang.

Aku memandang Ibu. Perkataan Ibu benar-benar menohokku. Ya, Ibu benar. Aku kehilangan rasa syukur. Bukankah baru dua minggu yang lalu aku membujuk Ranti, salah seorang sahabatku yang stres karena suaminya berselingkuh dengan wanita lain dan sangat kasar kepadanya? Bukankah aku yang mengajaknya ke dokter untuk mengobati memar yang ada di beberapa bagian tubuhnya karena dipukuli suaminya?

Pelan-pelan, rasa bersalah timbul dalam hatiku. Kalau memang aku ingin menghabiskan waktu dengannya hari ini, mengapa aku tidak mengatakannya jauh-jauh hari agar ia dapat mengatur jadualnya? Bukankah aku bisa mengingatkannya dengan manis bahwa aku ingin pergi dengannya berdua saja hari ini. Mengapa aku tidak mencoba mengatakan kepadanya, bahwa aku ingin ia bersikap lebih romantis? Bahwa aku merasa tersisih karena kesibukannya? Bahwa aku sebenarnya takut tidak lagi dicintai?

Aku segera pamit kepada Ibu. Aku bergegas pulang untuk membereskan rumah dan menyiapkan makan malam yang romantis di rumah. Aku tidak memberitahunya. Aku ingin membuat kejutan untuknya.

Makan malam sudah siap. Aku menyiapkan masakan kegemaran Aa’ lengkap dengan rangkaian mawar merah di meja makan. Jam tujuh malam, Aa’ belum pulang. Aku menunggu dengan sabar. Jam sembilan malam, aku hanya menerima smsnya. Maaf aku terlambat pulang. Tugasku belum selesai. Makanan di meja sudah dingin. Mataku sudah berat, tetapi aku tetap menunggunya di ruang tamu.

Aku terbangun dengan kaget. Ya Allah, aku tertidur. Kulirik jam dinding, jam 11 malam. Aku bangkit. Seikat mawar merah tergeletak di meja. Di sebelahnya, tergeletak kartu ucapan dan kotak perhiasan mungil. Aa’ tertidur pulas di karpet. Ia belum membuka dasi dan kaos kakinya.
Kuambil kartu ucapan itu dan kubuka. Sebait puisi membuatku tersenyum.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Lewat kata yang tak sempat disampaikan
Awan kepada air yang menjadikannya tiada
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu. *

For vieny, welcome to your husband’s heart.

*dikutip dari Aku ingin mencintaimu dengan sederhana karya Sapardi Djoko Damono.

Cinta Itu Anugerah

0 comments
Seandainya aja kita tau betapa indah anugerah yang Tuhan berikan pada kita. Begitu indah dunia dengan hadirnya cinta. Cinta adalah anugrah terindah yang pernah diterima manusia,dan akan selalu hidup dalam setiap hati manusia. Cinta bukanlah benda yang diberikan begitu saja dan lalu bisa kita buang bila kita tidak menyukainya.

Banyak cara untuk mencintai, banyak jalan menuju kebahagiaan. Tuhan memberi kemudahan, Tuhan juga memberi kesulitan dan cobaan. Namun hanya manusia yang melihat dengan mata hati dan berpikir dengan hati dan cinta yang dapat mengubah semua cobaan dan kesulitan menjadi kemudahan.

Cinta tidak pernah menghitung berapa lama kita menjalin suatu hubungan, tetapi bagaimana kita bisa membuatnya berkembang dengan indahnya. Cinta hanyalah sebuah awal dari seluruh hidupmu. Dan inilah awal hidupku.

Cinta tidak akan pernah mengungkap keburukanmu, tidak pernah membuka sisi negatifmu, dan cinta akan menutup semua kejahatanmu. Cinta adalah saat kamu merasakan bagaimana buruknya keadaanmu setelah kamu kehilangan seseorang yang begitu berarti untuk dirimu, seseorang yang telah mengubah dirimu, seseorang yang membuatmu merasa penting dan akan selalu dibutuhkan. Pada saat itulah cinta datang memberimu harapan untuk dapat hidup kembali dan membiarkanmu meraihnya dengan cara apapun. Cinta akan membantumu menjalani kehidupanmu dengan lebih mudah.

Pada dasarnya cinta tidak akan pernah menyakitimu. Hanya saja kau telah menempuh jalan yang salah untuk meraihnya. Cinta adalah seindah-indah perasaan yang pernah dirasakan manusia. Setialah pada cinta, dan cinta akan setia kepadamu. Cinta tidak akan mengkhianati dan meninggalkanmu. Cinta hanya ingin kamu merasakan apa yang terjadi pada hidupmu kalau cinta tak datang menghampiri dan menyapa hatimu.

Cobalah berpikir betapa cinta telah menyelamatkan nyawamu berulang kali. Bagaimana dia datang kembali padamu setelah kau nyaris kehilangan kendali pada dirimu. Bagaimana dia datang untuk memperbaiki hubunganmu yang kacau. Dan bagaimana dia membuatmu merasa bahwa kamu adalah orang yang paling bahagia di dunia ini.

Pikirkanlah bagaimana cinta menghadirkan dirinya dalam kehidupanmu. Terlalu banyak yang telah dilakukan cinta hingga mungkin kamu hanya berpikir, ah itu hanya keberuntunganku saja. Cobalah berterima kasih pada cinta. Banyak cara untuk berterima kasih pada cinta. Yang paling utama adalah, Cintailah Pemberi Cinta hidupmu Bayangkan bila tidak ada cinta di dunia ini!

Cinta adalah saat kamu merasa bahagia ketika kamu melihat orang yang kamu cintai bahagia, saat kamu merasa sedih ketika dia sedih, dan menjalani saat-saat sedih dan bahagia bersama-sama. Cinta adalah sumber kekuatan. Cinta adalah saat kamu harus jujur pada dirimu sendiri dan orang yang kamu cintai. Cinta adalah saat kamu mendengar, berbicara dan menghargai kebenaran dan tidak pernah menolaknya. Cinta adalah sumber kebenaran. Cinta adalah saat kamu saling mengerti secara keseluruhan bahwa kamu merasa seperti kamu adalah bagian dari orang lain. Cinta adalah sumber kebersamaan. Cinta adalah kebebasan untuk mengungkapkan segala keinginanmu saat kamu membaginya dengan orang yang kamu cintai. Cinta adalah ketika kamu dan orang yang kamu cintai mengerti perkembangan masing-masing dan bersama-sama mengembangkan cinta yang kalian punyai. Cinta sumber segala sukses. Cinta adalah kebahagiaan saat merencanakan segala sesuatu yang akan terjadi pada hidup kalian berdua dan melakukannya bersama. Cinta adalah pangkal masa depan.

Cinta adalah dahsyatnya badai dan tenangnya pelangi. Cinta adalah pangkal dari semua perasaanmu. Cinta adalah saling memberi dan menerima kehidupan masing-masing, dan dengan sabar mengerti keinginan dan kebutuhan masing-masing. Cinta adalah berbagi segalanya. Cinta adalah saat kamu mengetahui bahwa orang yang kamu cintai akan selalu berada disampingmu apapun yang akan terjadi. Cinta adalah saat kamu saling merindukan dengan orang yang kamu cintai pada saat dia tidak ada disampingmu, dan mengetahui bahwa dia akan selalu ada di hatimu. Cinta adalah sumber dari semua perasaan amanmu. Cinta adalah sumber segala kehidupanmu!
Media

Anak Jadah Pembelajaran Sastra Kita

0 comments
Oleh Firman Venayaksa
Sebagai bagian dari genre kesusastraan, drama tak bisa lepas dari perbincangan sastra secara umum; baik sejarah, proses kreatif hingga pembelajaran sastra di dunia akademik. Namun perhelatan drama ternyata tak semeriah ketika dipanggungkan. Ia seperti anak jadah. Ketika dilahirkan tak jelas harus menyusu kepada siapa. Di dalam sejarah kesusastraan misalnya, para kritikus sastra selalu condong pada persoalan puisi dan penyairnya. Ketika menjumpai Angkatan/ periodisasi, maka yang kita kenal adalah Amir Hamzah (Angkatan ’33), Chairil Anwar (Angkatan ’45), Taufiq Ismail (Angkatan ‘66), Sutardji (Angkatan 70) dan penyair kanon lainnya. Kendati tak seheboh puisi dan penyairnya, para prosaispun kian menyodok untuk dicatat dan diperhatikan dalam sejarah kesusastraan. Apa lagi pada Angkatan 2000 yang diusung Korie Layun Rampan. Ayu Utami yang seksi dan aduhai itu menjadi semacam trend setter. Jauh sebelumnya, prosa telah lama dihargai dan dibaca oleh khalayak sebagai alat hiburan dan pemikiran. Lantas bagaimanakah dengan drama dan dramawan kita?

Seperti yang sering diajarkan di sekolah-sekolah, kita mengenal drama sebagai seni dua dimensi. Ia hadir sebagai teks yang bisa dibaca kapanpun dan ia juga hadir sebagai seni pertunjukan yang memiliki nilai dan karakterisasi yang otonom. Kecenderungan ini mengakibatkan lahirnya sebuah perhelatan tak henti dalam pemikiran kita. Apakah karena drama sebagai seni pertunjukan, maka ia seolah-olah lepas dari kesusastraan?

Untuk membedakan persoalan itu, munculah sebuah pemikiran yang memisahkan antara teks dengan pertunjukan. Istilah teks lebih condong disebut drama, sementara istilah pertunjukan mengacu pada nama teater. Mungkin hal ini bisa saja kita terima sebagai cara untuk memudahkan pengistilahan, namun hakikatnya tetap tak bisa dibantah. Pada akhirnya tetap saja drama ataupun teater adalah anak jadah dari kesusastraan.

Pembelajaran Drama
Di dalam pembelajaran sastra di sekolah, kurikulum kita tidak mengenal teater. Teks dan pertunjukan tetaplah bernama drama. Jika dilihat secara etimologis, drama diambil dari bahasa Yunani “dramoi” yang berarti berlaku—melakukan sesuatu--. Sayangnya pembelajaran drama ternyata tak seberlaku namanya. Guru menjadi kebingungan ketika menjumpai drama yang harus dikenalkan kepada siswa. Bagi guru-guru yang ceroboh, sub pelajaran drama biasanya dilewatkan dan diganti dengan sub pelajaran lain yang lebih gampang. Dari titik ini, kita tak bisa langsung menghardik guru bahwa mereka tak becus mengajar. Guru yang awalnya dicetak oleh lembaga akademisi di kampus pun lebih banyak dikenalkan pada teks tertulis, bukan pada pertunjukannya. Calon guru itu lebih banyak diarahkan pada ruang kognisi dan bukan psikomotorik, sehingga ketika menjadi guru tergambar kecemasan di wajah mereka untuk mengenalkan drama. Lihatlah di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Mata kuliah Kajian Drama lebih condong mengkaji teks tertulis saja, tidak langsung mengolah tubuh dan rasa mereka untuk dipanggungkan, padahal kajian tak hanya melulu pada analisis teks tertulis. Drama sebagai anak jadah sastra makin terlihat ketika ada “penganaktirian” di beberapa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Jika mata kuliah Kajian Puisi dan Kajian Prosa Fiksi didahului dengan mata kuliah Apresiasi, maka tidak untuk drama, sehingga yang terjadi adalah kegagapan. Di Untirta, untunglah adalah mata kuliah pilihan yaitu Gelar Sastra. Di dalam mata kuliah ini, mahasiswa terlibat langsung untuk membuat sebuah karya. Drama sebagai seni pertunjukan masuk di dalamnya sebagai bagian dari pilihan-pilihan selain membuat filmisasi sastra, musikalisasi puisi dan lain sebagainya. Dalam satu semester mereka berjibaku untuk membuat pertunjukan. Pengalaman inilah yang menjadi modal mereka ketika mengajar drama kelak walaupun sekali seumur hidup.

Workshop Drama
Pada tanggal 26 Mei 2008 di Lumbung Ilmu-Serang, Studio Teater Indonesia yang digagas oleh Nandang Aradea membuat sebuah workshop pembelajaran drama bagi para guru. Guru yang hadir tak lebih dari 30 orang padahal para narasumber adalah orang-orang pilihan di bidangnya. Sebut saja Dr.Yudiaryani Dari STSI Yogyakarta. Wawan Sofwan, dramawan yang sudah mementaskan karyanya hingga ke luar negeri dan Dindon yang cukup akrab di telinga apresiator teater. Pada workshop itu keluarlah keresahan terpendam yang dirasakan guru selama ini. Mereka begitu kesulitan untuk mengurai persoalan drama di sekolah. Dr. Yudiaryani memberikan solusi agar bersinergi dengan para dramawan di Banten, baik sebagai pelatih ataupun konsultan. Sebagai orang yang bergelut di ilmu murni tentu saja pemikiran yang original itu tak bisa semuanya direduksi di sekolah. Jikapun ingin dipakai, paling bisa dilakukan di luar sekolah dalam bentuk ekstra kurikuler. Sementara itu Wawan Sofwan memberikan alternatif lain yaitu dengan memakai metode Dramatic Reading. Hal ini menurutnya bisa sangat efektif jika sekadar mengenalkan drama. Dengan dramatic reading, semua siswa bisa ikut terlibat karena tak serumit pementasan drama. Dramatik reading biasanya dimulai ketika para dramawan hendak mementaskan pertunjukan. Sementara itu Dindon langsung praktik, mengajarkan bagaimana menggagas pertunjukan. Selain itu dia juga menekankan bahwa drama tidak hanya bermain pentas, tetapi bisa juga sebagai sebuah terapi kepada siswa agar mereka bisa percaya diri, bertanggungjawab dan tidak egois.

Di Lebak, workshop mengenai dramapun digagas pula oleh Teater Gates-STKIP Setiabudhi (31/5/2008) dengan para pemateri yang berasal dari Banten seperti Dadie RsN penggagas Teater Wanten, DC Aryadi sutradara Teater Gates, yang langsung mengajarkan bagaimana melakukan pertunjukan. Sementara itu Iroh Siti Zahroh dan Firman Venayaksa lebih menekankan mengenai posisi drama dan sastra dalam proses pembelajaran di sekolah.

Acara workshop ini sebetulnya sebagai varian tambahan dari pementasan yang disajikan oleh Teater Gates STKIP Setiabudhi Rangkasbitung dengan judul “Ibu Suri” Karya Wisran Hadi yang dipementaskan pada tanggal 31 Mei hingga 1 Juni di aula PKPRI Rangkasbitung. Dengan demikian para peserta workshop tak hanya dibekali dengan teori dan eksperimen, tetapi langsung mengapresiasi pertunjukan.

Epilog
Kendati pembelajaran drama di sekolah memiliki kendala tersendiri, namun hal tersebut bukanlah alasan sehingga drama dianaktirikan. Drama memang menuntut proses dan kreativitas. Justru disinilah titik awal bagi guru, siswa dan penggiat teater untuk saling mengisi dan berbagi.

Tanah Air, 2008
Penulis adalah Presiden Rumah Dunia, dosen dan pemerhati kesenian. Media

Saturday 20 September 2008

Cerita Cinta - Klise

0 comments
Dulu....
kau ucapkan banyak kalimat manis untuk menyanjungku
kau juga seakan tulus menemani langkah - langkahku
kemana pun

dalam suasana sedih, ataupun suka cita kau memang selalu hadir
selalu memberikan sesuatu yang mungkin hanya milikmu
dan akupun terlena atas semua itu..
tenang sekali rasanya bersanding dengan semua yang kau miliki
nyaman hati ini ketika hening datang sehingga fajar
dan kau selalu menjadi terang dalam ruang pekat di sisi hati kecilku ini.

bukan waktu yang pendek antara kita
meski masih bisa di hitung dengan jari
tetapi ....waktu adalah waktu yang tak mungkin terulang
segala sesuatu yang terjadi atasnya akan selalu bergulir dan hilang
semuanya kita rajut helai demi helai
semuanya kita bangun sebilah demi sebilah
dan semuanya semakin kokoh ketika rasa itu seakan menyatu dalam hening

Aku tau bahwasanya aku tak seperti yang lainnya yang mungkin harapanmu. tapi aku sadar bahwa aku dan kau telah searah dan tujuan tinggal menunggu waktu yang tepat untuk membuka tabir di antara kita berdua...tinggal menunggu waktu.sayang.

hari ini, setelah tiga tahun lamanya kita bersama dalam banyak hal, dalam banyak suka duka,dalam sebuah jalinan kesucian arah akhirnya kau memilih untuk berhenti di persimpangan yang menikung. Di persimpangan itu aku terhenyak atas apa yang kau putuskan, sebuah keputusan membuatku tak henti - hentinya berfikir tentang siapa dirimu yang sebenarnya. bagaimana tidak ? tiga tahun lamanya kita berdua meski terkadang banyak aral banyak kerikil tajam yang kita lewati dan kita pun saling membantu saling membina tapi sejenak kau putuskan hanya karena seseorang yang katamu baru dua bulan ini singgah di hatimu.
Ya Tuhan apa salahku apa dosaku hingga menerima semua ini.

Dua Bulan...??
Aneh rasanya mendengar alasanmu yang selalu tak jelas. sebuah alasan yang kau ungkap berdasar keputusan sesaat hanya sebagai jalan untuk menjauh dari sisiku. dan kau seakan tak pernah merasa bersalah atas semua ini. Tuhan beri hamba Mu keteguhan hati menerima semua ini.Berilah Hamba Mu jalan terang menuju ridho Mu atas keteledoranya dengan semua alasan yang selalu di bangga - banggakan itu. Ya aku tau jika aku memang belum pernah memberi kejelasan atas kebersamaan kita selama ini tapi apa kau tak pernah mengerti tentang gelitik hati di antara kita saat berbagi nuansa. saat kita merajut semua selama tiga tahun ini. jika memang kau demikian kenapa begitu mudah jalanmu berubah hanya demi waktu yang dua bulan itu ?

Aku tak akan bertanya lagi kenapa kau tega melakukan ini, yang jelas musnah sudah puing - puing yang telah kita bina bersama selama ini meski tinggal selangkah lagi,hilang semua rajutan - rajutan indah yang
meski tertatih dan penuh duri tajam aku jalani demi kau selama ini dan
jujur aku katakan tak akan ada kisah setelah idul fitri ini karena rencana
ku dan keluargaku telah kau buang jauh - jauh dan dan lagi tampak oleh mata,
bahkan bathinmu.

Demi mata bathinku dan semua mata yang membaca tulisan ini aku hanya bisa ucapkan terima kasih untuk waktu dan segala permintaan yang pernah kau mohonkan padaku siang, malam dan kapanpun. Demi jiwaku yang tinggal sekeping aku hanya ingin mengucap syukurku pada sang penjaga kalbu atas risalah alam ini sehingga dapat ku mengerti tentang segala kisah ini. semoga kau menempuh jalan yang lurus dan senantiasa dalam bimbingan Nya serta tenang saat berbagi canda tawamu dengannya yang telah bertahta di mahligaiku saat ini.

selamat tinggal masa lalu sampai jumpa lagi dalam episode selanjutnya meski hanya dalam renungan jiwa. dan ku ucapkan selamat datang cahaya baru ku kan selalu menanti mu bersama nyanyian bunga malam dan tarian burung - burung kipas yang bersayap putih.


Di Kisahkan Oleh : Dhimas HR
Sumber : Eka

Thursday 18 September 2008

Daftar Judul Isi Antology Puisi Persebahan Dlm Perjalanan

1 comments
Antology Puisi Persebahan Dlm Perjalanan

“Aku Dan Batu“
“Aku Dan Nafasku “
“Angin Senja Dari Utara”
“Di Atas Teraju“
“Ketika“
“Masih Ada Waktu ”
“Mawar Tanpa Duri “
“Pelangi“
“Perahu Waktu“
“Rakit Hanyut“
“Seperti Pena Di Atas Kertas“
“Sesungguhnya Abadi“
"Resah"

Pasang Iklan Gratis