Selamat Datang Di Kota Batik Pekalongan.Portal Penulis Pekalongan Dan Sekitarnya.Sahabat Media Juga Dapat Mengirimkan Informasi Sekitar Pekalongan Melalui Email : dhimashr@gmail.com Atau Sms Online Di 0815 480 92192***###########***Swanten Qustique Lagi Nyari Singer Cewe Yang Suka Banget Ma Lagu2nya Nicky Astrea. Yang Merasa Punya Hoby Nge Rock Dengan Bit Bit Slow Silahkan Persiapkan Mental Buat Gabung Bareng Kita Yaaak. Wilayah Comal Bojong Sragi Diutamakan Untuk Mempermudah Jarak Tempuh.SMS Dulu Juga Boleh......

Thursday 26 August 2010

Berita Hari Ini » CerPen_Foto Foto Mbah Su

CerPen_Foto Foto Mbah Su

0 comments
Foto Foto Mbah Suhadi Oleh Ika Maya Susanti

PromediStory's_“Mbah Su, inget ta karo foto iki?” Mbah Rohim menyodorkan selembar foto kepada Mbah Suhadi. Sesaat Mbah Suhadi mengernyitkan kening sebelum kemudian tersentak kaget menghentakkan foto yang kini ada di genggaman tangannya. Di foto itu, ada Mbah Rohim dan Mbah Suhadi yang sedang duduk di anak tangga undakan depan rumah Mbah Rohim. Jika kini mereka berdua lekat dengan sarung dan kaos singlet, Mbah Rohim dan Mbah Suhadi saat itu masih bergaya bak pemuda era zaman itu yang lekat dengan celana kain cut bray dan kemeja lengan panjangnya. Kala itu meski mereka masing-masing sudah memiliki anak yang beranjak remaja, Mbah Suhadi menerbangkan ingatannya, penampilan tetaplah masih menjadi hal yang utama untuknya dan teman-temannya.

“Lho lho lho… ini kan foto awake dewe zaman muda dulu? Kalau nggak salah, zaman aku umur 25 tahun, seh?! Anakku masih dua rek, waktu itu! Nek awakmu, pas iku malah wis nduwe anak telu, iyo kan?” mata Mbah Suhadi meminta kata iya dari Mbah Rohim.

“Yo… bener iku, Mbah!” Mbah Rohim mengangguk-anggukkan kepalanya dengan sedikit senyum kebanggaan. Kedua kakek-kakek yang kini sudah berusia di atas 60 tahun itu pun menatap masa muda mereka yang terlekat di selembar foto berukuran sebentuk buku tulis besar.
“Kok bisa awet? Kok iki fotone bisa kayak baru lagi? Iki kan foto wis lama se? Yok opo caramu nyimpen kok bisa awet?” Mbah Suhadi bertanya beruntun penasaran tak percaya. Meski ia yakin, foto yang ada di tangannya memanglah asli. Dalam memorinya, ia juga memiliki foto itu namun kondisinya sungguh memprihatinkan. Jangankan untuk bisa dilihat. Foto-foto lama koleksinya yang ada kebanyakan sulit untuk dipegang, dengan pinggir kertas yang menyerpih seperti dimakan rayap.
“Anakku seng mbawa ke tukang foto. Istilahe opo yo katanya waktu itu… Direpro nek nggak salah istilahe?! Kalau nggak salah seh, ngono jare anakku! Emboh Mbah Su, opo maksude aku nggak ngerti. Didaur ulang opo yo artine?” Mbah Rohim yang sedang memegang segelas kopi, sedikit mengedikkan bahunya tanda kurang mengerti. Setelah menyela menyeruput pekat hitam dari gelas tersebut, ia pun kembali berujar, “Ajaib yo? Aku dewe kemarin yo sampe heran nggak habis-habise kok! Coba, kok iso gitu lho ono foto lawas jadi u…anyar maneh!”
“Yo yo yo…” Mbah Suhadi manggut-manggut. “Berarti foto opo ae sing lawas, iso dadi baru yo?” digoyang-goyangkannya foto yang masih terjepit di sela ibu jari dan jari telunjuk Mbah Suhadi. “Sek, sek… Nek gitu, di mana, di mana tempate mbuat foto jadi baru koyok iki?” Mbah Suhadi makin tertarik penuh minat.
“Nyoba ae di Indah Foto. Depane kantor Pegadaian iku lho, Mbah!” jawab Mbah Rohim. “Anakku kemaren bilang dia habis bawa foto iki dari sana.”.

Anggukan mantap dari Mbah Suhadi. “Hiyoh! Wis, suwun infone. Ntar ta’ buate baru juga foto-foto lawasku di rumah,” Mbah Suhadi mengingat-ingat foto apa yang dimilikinya dan ingin ia buat baru seperti foto milik Mbah Rohim. “Mugo-mugo fotoku ono sing selamet!” harap-harap Mbah Suhadi dalam gumamannya sendiri. Ringan melayang kayuh langkah Mbah Suhadi membuat sepeda jengkinya melaju pelan namun pasti. Dalam hatinya, Mbah Suhadi begitu senang bagai orang tak punya hutang di kala sore itu. Acara cangkruknya di warung kopi langganannya kali waktu itu ternyata bisa memberinya sebuah ilmu baru. Sepeda jengki Mbah Suhadi pun melaju ke arah rumahnya dengan pengayuh yang penuh senandung di atas sadel sepeda. Ia masih mereka-reka, foto lama apa saja yang akan dibuatnya baru.

Sesampainya di rumah, Mbah Suhadi benar-benar langsung membongkar-bongkar lemari lapuknya. Azan Maghrib yang melantang seakan hening tak mengusik. Dibukanya lapisan-lapisan koran yang menjadi alas dari tumpukan baju-bajunya. Ia ingat, jika tak salah, ia pernah menyimpan beberapa foto lama miliknya di bawah alas koran tumpukan lipatan agak tak beraturan dari baju-bajunya.
“Lhah…” mata Pak Suhadi membeliak binar saat menemukan benda yang dicari. Di antara foto-foto temuannya, ia menjatuhkan pilihan hanya pada sebuah foto. Seperti kekhawatirannya, kebanyakan foto-fotonya tidak layak untuk dibawa beranjak ke studio foto karena rapuh.

Di sebuah foto pilihannya, ada gambar dirinya ketika ia masih terlihat muda, terlihat gagah, meski di usianya saat itu ia sudah duduk berpose sendiri di salah satu kursi pelaminan untuk pernikahan putrinya. Saat itu, Mah Suhadi menginjak usia 40 tahun di waktu pernikahan pertama untuk anak ke dua dari lima anak yang dipestakannya. Foto temuannya itu sebetulnya sudahlah tak seberapa jelas. Bercorak jamur menebar di sana-sini yang membentuk bingkai bagian tepi foto. Sedikit jamur juga menempel di foto bagian wajahnya. Tapi ia sangat yakin, foto itu bisa disulap di Indah Foto yang akan didatanginya usai shalat Maghrib nanti.
***
“He he he… Kalian mesti kaget lihat iki! Hem, lihaten ta, aku mbawa opo iki?” suara tawa canda anak dan cucunya yang sedang bercengkerama di ruang tamu dipecah oleh Mbah Suhadi. Ia yakin, semua orang yang ada saat itu pasti kaget dengan apa yang akan ditunjukkannya. Mbah Suhadi pun kemudian menyobek bungkusan koran yang melapisi sebuah benda bersiku segi empat.
“Lho Pak, ini kan foto sampean zaman nikahe aku se yo?” Suntin, anak keduanya terperanjat kala melihat sebuah foto besar bergambar bapaknya yang rapih berpigura kayu hitam. Dalam foto, Bapaknya saat itu terlihat sedang duduk dengan pose gagah. Kedua tangan Mbah Suhadi ditumpukan ke lutut kaki dengan posisi duduk yang ditegakkan. Mata Mbah Suhadi nampak teguh menatap ke arah kamera. Jas hitam dan setelan celana hitam yang dibelikan Suntin sebelum hari pernikahannya untuk sang bapak saat itu menambah kelengkapan kegagahan Mbah Suhadi.
“Lhe… iyo! Kok sampean masih nyimpen e, Mbah? Tapi… bukane foto iku gak wis mbulak ta? Kusem!” tanya istri Mbah Suhadi turut tak menyangka. Karena setahunya, tahun lalu ketika ia membersihkan lemari pakaian, foto itu tak berwujud bersih seperti yang dilihatnya sekarang.
“Iki ta maksudmu Mbah Ti? Hem… bandingno… Bedane jauh se?” Mbah Suhadi menunjukkan bentuk serupa dalam ukuran 4R yang merupakan foto aslinya kepada sang istri dan anak-anaknya.
Suntin yang masih belum mengalihkan kedua tangannya dari tepi pigura masih memandang lekat foto di dalamnya tak percaya. “Bapak apakno foto iki? Kok bisa jadi bagus, bersih, kayak baru ngene?” Suntin penasaran mencari jawaban.
“Wook… Bapakmu kok! Yo ngerti ae carane…!!! Canggih seh?” Mbah Suhadi mengangkatkan dagunya merasa pongah lebih pintar dari istri dan anak-anaknya.
“Mbok kiro nek Bapakmu cangkruk di warung kopi itu nggak bisa nambah ilmu ta?” Mbah Suhadi masih membanggakan foto gagah miliknya dan pengetahuan barunya tentang foto yang melebihi anak dan istrinya. Bahkan, keluarganya kini sedang terkagum-kagum. Dan tebakan Mbah Suhadi kala itu memang jitu. Semua orang yang melihat foto itu tampak antusias menunjukkan keterpesonaannya.
“Hem… iki Han, foto Mbahmu dulu zaman masih muda. Mbok… gagah se?” Mbah Suhadi mengarahkan foto berpigura dari tangan Suntin ke tangan Hani, cucunya dari anak nomor empat.
Hani menjawab dengan diam tersenyum simpul tertahan. Sedangkan di kepalanya, ada sesuatu yang berkilauan sengaja tak ingin ia katakan. Namun Hani bertekad, ia akan melaksanakannya kelak di kemudian hari nanti.
“Mbah Kung suka difoto!” Hani mengemas ide rencana di kepalanya.
***

Sejak hari kebanggaan Mah Suhadi akan foto dan pengetahuan fotografinya, Hani yang kuliah di semester empat dan sedang rajin menyerap ilmu fotografi dari unit kegiatan mahasiswa yang diikutinya di kampus, kerap mencuri momen secara diam-diam dalam setiap aktivitas mbahnya. Mbah Suhadi sedang melamun, Mbah Suhadi sedang bermain layangan dengan Buyung sepupunya, Mbah Suhadi sedang duduk merenung di kursi panjang yang berada di bawah pohon mangga, Mbah Suhadi sedang mengawali kayuhan bersepeda dengan sepeda jengki hitamnya, semuanya menjadi momen yang menarik di kepala, mata, dan tangan Hani. Sebuah kamera saku milik Hani yang kerap tak pernah jauh dari tangannya, selalu menjadi kawan setia Hani dalam menembak setiap waktu aktivitas Mbah Suhadi secara diam-diam. Hani memang sengaja tak mengomunikasikan hal itu kepada mbahnya. Ia ingin meraih pose-pose alami mbahnya senatural mungkin.

Namun di balik benak Hani, diam-diam, Mbah Suhadi justru mengetahui tentang apa yang sedang dilakukan oleh cucu pertamanya itu. Mbah Suhadi tahu betul, sebentuk benda yang berukuran seperti dompet tipis wanita berwarna abu-abu mengkilap yang sering dilihatnya melekat di tangan Hani adalah sebuah kamera. Itu karena Mbah Suhadi pernah mengamati Hani dan Buyung dari kejauhan yang sedang memfoto bunga di pekarangan. Ajaibnya, hasil jepretan itu bisa terlihat pada sebuah layar. Beda dengan jenis kamera yang dulu ia kenal dan tidak bisa menunjukkan seperti apa foto yang sudah diambil. Maka ketika Mbah Suhadi melihat ada sebentuk benda hitam mengkilat tersembul di balik tangan Hani, Mbah Suhadi pun selalu siap untuk bergaya tingkah, berharap ialah objek sesungguhnya dari jepretan diam-diam kamera cucunya.

Hari demi hari, Mbah Suhadi masih tahan untuk tidak bertanya tentang nasib foto-foto posenya hasil jepretan sang cucu. Ia segan bertanya, khawatir dugaannya meleset jika ternyata selama ini bisa jadi Hani tidaklah pernah diam-diam mengambil foto dirinya. Hani hanya mengambil objek di sekitarnya, bukan dirinya, itulah yang dikhawatirkan Mbah Suhadi. Namun ia memiliki secarik tekad, jika saja memang dugaannya yang terakhir justru yang jadi kenyataan, ia tidak akan segan meminta Hani untuk mencicipi difoto dengan kamera cucunya itu. Tetapi aksi saling diam itu berakhir sebelum Mbah Suhadi menjalankan niatnya. Mbah Suhadi di suatu ketika dibuat terheran-heran saat Hani tiba-tiba mengajaknya pergi ke pameran yang sedang diadakan di alun-alun kota.
“Ayo ta Mbah… ke alun-alun lihat pameran. Mbah pasti seneng!” rengek Hani merayu sosok kakek yang kerap dipanggilnya dengan Mbah Kung.
“Tumben Han, awakmu ngajak Mbah? Ono opo seh?” Mbah Suhadi saat itu benar-benar tidak bisa menebak apa yang diinginkan cucunya.
“Pokoknya ikut aku ae ta Mbah. Ada kejutan buat Mbah!” Hani mengerdip-kerdipkan matanya.
Mbah Suhadi menatap dalam mata cucunya. Setelah lelah tak kunjung dijawab dan tak berhasil juga menebak apa yang disembunyikan sang cucu, Mbah Suhadi pun menyerah, “Yo, yo wis. Ayo ke alun-alun!”. Sebuah foto berukuran sangat besar menjadi jawaban untuk Mbah Suhadi. Foto itu jadi jawaban pemuas untuk semua aksi diam-diamnya saat berpose penuh harap, saat ulah Hani yang menurutnya diam-diam mengambil pose dirinya, serta untuk rasa penasarannya beberapa saat sebelumnya ketika Hani secara tiba-tiba mengajaknya ke Lamongan Expo.
“Yok opo Mbah, apik kan foto jepretanku?” Hani tersenyum sumringah merasa pasti jika Mbah Kungnya akan bangga dengan foto jepretannya. Apalagi foto itu memang jadi pusat perhatian banyak orang di pameran saat itu.

Dugaan Hani memang tak tergelincir dari pikirannya. Mbah Suhadi mengamati hasil jepretan sang cucu dengan senyum bibir tertarik-tarik ke samping. Kelopak mata bawah yang menyembung menjadi tanda binar hati Mbah Suhadi. Belum lagi ulah orang-orang di sekitarnya yang jadi bergantian mengalih tatap antara foto dan wajah Mbah Suhadi.

Foto yang lama dicermati oleh Mbah Suhadi dari jarak dekat itu membuatnya ingat, ada suatu ketika di mana ia sedang duduk separuh sila. Kaki kanan ia tekuk berdiri dengan kaki lain menjuntai ke bawah. Mbah Suhadi yang bersinglet dan bersarung kotak-kotak merah coklat itu terfoto dengan pose duduknya yang bersandar di sebuah kursi panjang, berada di bawah pohon mangga. Tangan Mbah Suhadi sendiri tampak sibuk menyentuh salah satu tombol putar radio usang yang sering dibawanya ke mana-mana. Keroncong atau langgam Jawa kala itu yang sedang dicarinya? Tak diingatnya dalam pikiran Mbah Suhadi ketika asyik menikmati foto dirinya sendiri yang berjarak hanya beberapa senti dari kepalanya yang merunduk maju.

Dalam foto, di samping pose duduknya itu, tersandar sepeda jengki hitam miliknya yang mulai terkikis karat. Hijau dedaunan daun pohon mangga yang menjuntai ke bawah, legam hijau daun besar pohon ketapang yang masih pendek di pinggir tambak penuh dengan eceng gondok, serta langit biru bergurat putih kapas, jadi latar yang tak begitu jelas terlihat namun adanya makin membuat menonjol sosok Mbah Suhadi, kursi, dan sepeda jengkinya.
“Iki dijual ta, Han?” celutuk Mbah Suhadi di akhir kekaguman kegagahan pose dirinya.
“Iyo Mbah. Ayo tebak, piro hargane?” Hani mengajukan tebakan taksiran harga.
Mbah Suhadi cuma menggelengkan kepala menjawab tidak tahu. Ia masih terbius pose dirinya sendiri yang nampak begitu wah terpotret dalam foto berpigura kayu hitam mengkilat.
“Dua belas juta, Mbah! Gede kan hargane?! Harga foto iki karena aku menang lomba Mbah. Aku cuma taruh ae di pameran sekarang.”
“He… dua belas juta?!” barulah Mbah Suhadi terhenyak terangkat dari alam kekaguman akan foto dirinya sendiri, beralih memelototi Hani. “Lha, mana bagiane Mbah nek gitu?”
“Tenang Mbah… Ntar Mbah minta apa, aku kasi la wis…” Hani menjanjikan sesuatu yang sebetulnya kalah indah di benak Mbah Suhadi sendiri. Dalam pikiran Mbah Suhadi, ia menerka-nerka, jika foto yang diambil diam-diam saja bisa menghasilkan uang dua belas juta, pasti jika ia serius berfoto, uang lebih dari itu bisa mampu menilai foto-foto dirinya.

Mulai keesokan harinya, ada kesibukan baru buat Hani dari Mbah Kungnya. Jika Hani berkesempatan datang mengunjungi rumah mbahnya, pasti Mbah Suhadi akan menanyakan di mana keberadaan kamera milik Hani. Jika ia sudah melihatnya, maka Hani pun dituntut untuk menjadi fotografer dadakan khusus untuk mbahnya. Tidak ingin hanya istilah repro yang telah lewat diketahuinya. Mbha Suhadi kini bisa sesumbar kepada Mbah Rohim sahabatnya tentang pengetahuan kamera digital yang tak akan habis filmnya untuk digunakan mengambil foto. Kecuali kapasitas baterai yang mengenal kata habis. Mbah Suhadi bahkan kini lebih tahu menilai, mana foto yang menurutnya sudah bagus pengambilannya dan mana yang belum.
“Ayo Han, awakmu pasti bisa se buat foto yang lebih bagus dari foto Mbah yang duduk di kursi di bawah pohon mangga dulu iku se? Mosok, foto sing mbok ambil diam-diam saja bisa dapat duit segitu, pasti nek awakku mbok atur, lebih bisa bagus lagi hasile!”.

Usai sebuah jepretan sudah dilakukan Hani, pasti Mbah Suhadi akan langsung berkomentar mencoba melihat hasilnya melalui sekotak kecil layar LCD kamera. “Iki kayake aku kurang noleh ke kiri, Han. Iku kayake kok gelap Han, kurang terang cahayane.” Itu gaya Mbah Suhadi jika sedang tidak puas dengan hasil jepretan Hani.Mbah Suhadi telah meneguhkan tekadnya, ia memilih belajar fotografi di masa senjanya.
Lamongan, 7 Juli 2009

Sumber : http://ikapunyaberita.wordpress.com/

0 comments:

Pasang Iklan Gratis