Selamat Datang Di Kota Batik Pekalongan.Portal Penulis Pekalongan Dan Sekitarnya.Sahabat Media Juga Dapat Mengirimkan Informasi Sekitar Pekalongan Melalui Email : dhimashr@gmail.com Atau Sms Online Di 0815 480 92192***###########***Swanten Qustique Lagi Nyari Singer Cewe Yang Suka Banget Ma Lagu2nya Nicky Astrea. Yang Merasa Punya Hoby Nge Rock Dengan Bit Bit Slow Silahkan Persiapkan Mental Buat Gabung Bareng Kita Yaaak. Wilayah Comal Bojong Sragi Diutamakan Untuk Mempermudah Jarak Tempuh.SMS Dulu Juga Boleh......

Wednesday, 17 September 2008

Berita Hari Ini » Sastra yang Tidur dalam Kulkas

Sastra yang Tidur dalam Kulkas

0 comments
”Aku tidur di depan sebuah kulkas. Suaranya berdengung seperti kaus kakiku di siang hari yang terik. Di dalam kulkas itu
ada sebuah negara yang sibuk dengan jas, dasi, dan mengurus makanan anjing. Sejak ia berdusta, aku tak pernah
memikirkannya lagi.” Demikianlah bunyi empat baris pertama sajak Afrizal Malna yang berjudul ”Persahabatan Dengan
Seekor Anjing” yang muncul dalam kolom yang sama dengan esai Suryadi berjudul ”Dobrak Kultus, Menjadikan ‘Merek
Dagang’”(Media, 02/02/03). Kalau sajak Afrizal yang prose-poem itu tidak malu-malu bicara soal ”isu lama untuk pusat
baru”, yaitu persoalan ”apakah sastra harus dengan teguh mengemban komitmen sosialnya atau, sebaliknya, tetap
bertengger di menara gading”, dan telah melakukan pilihannya, maka esai Suryadi dengan tegas menolak memilih satu di
antara keduanya tapi menawarkan sebuah pilihan baru yaitu sastra sebagai ”merek dagang”.

Kalau penyair ”bentuk” eksperimental Afrizal Malna masih memilih sastra yang juga peduli pada ”isi”, maka
pengajar/dosen sebuah universitas di Belanda Suryadi malah merasa ”letih oleh debat antara ‘bentuk’ dan ‘isi’ karya
sastra” dan menganjurkan agar ”meningkatkan gengsi karya sastra (Indonesia) di mata pembacanya” dengan melakukan
populerisasi karya sastra, paling tidak, lewat promosi dunia pariwisata! Betapa ironis, seorang penyair eksperimental par
excellence masih menganggap ”isi” puisinya penting sementara seorang akademisi, yang seharusnya menghasilkan
kritik sastra, malah menganjurkan kiat dagang untuk menjual karya sastra, demi menaikkan ”gengsi” sastra!

Apa yang saya pahami dalam esai Suryadi tersebut adalah keyakinannya yang kuat bahwa sastra Indonesia tidak ”
bergengsi”, kalau pun ada maka rendah, di ”mata pembacanya”. Saya berusaha mencari apa alasan Suryadi untuk
membuat pernyataannya itu tapi saya gagal menemukannya dalam esainya. Apa yang saya temukan justru ”laporan” atas
apa yang dikatakan oleh dua orang penulis Perancis, yang menurut Suryadi merupakan ”teori sastra terkini”, tentang
fungsi sosiologis sastra di sebuah masyarakat kapitalis seperti Perancis, yaitu sastra sebagai simbol status sosial. Saya
membaca Sartre, maka saya ada dalam kelas sosial tertentu, begitu mungkin penjelasan gampangannya. Lantas di
manakah relevansi kutipan di-luar-konteks dari Pierre Bourdieu dan sebagainya itu dengan rendahnya gengsi sastra
Indonesia di mata pembacanya? Atau, sudah tepatkah gambaran pembaca sastra yang dimaksudkan oleh Bourdieu
dengan realitas pembaca Indonesia? Mungkin sebuah pertanyaan ekstrem bisa dilontarkan: adakah pembaca sastra
Indonesia, paling tidak dalam pengertian yang dimaksudkan Bourdieu di atas, yakni pembaca yang membaca sastra
supaya mereka dianggap ”berbudaya tinggi dan bukan dari golongan orang biasa”?

Suryadi juga menyatakan bahwa ”analisis” seni yang sudah berhasil meningkatkan gengsi karya di mata penikmatnya di
Indonesia ”sudah dirasakan dalam bidang seni rupa”, tapi sekali lagi dia ”lupa” untuk membuktikan yang ”sudah
dirasakannya” itu kepada kita pembaca esainya itu! Apakah yang dia maksud besarnya jumlah kolektor atau luasnya
pemahaman orang Indonesia atas karya seni rupa Indonesia?! Peristiwa ”amnesia tekstual” yang dominan mewarnai
esai Suryadi tersebut merupakan cacat-cacat pemikiran yang sangat mengganggu pembacaan saya atas esainya itu dan
menimbulkan kecurigaan besar atas pemahamannya tentang topik yang sedang dia bicarakan. Perhatikan saja ”salah
cetak” yang terjadi atas nama ”Macbeth” dan ”Chairil Anwar” yang menjadi ”Machbeth” dan ”Khairil Anwar” itu!

Apa yang sering terjadi di kalangan cerdik-pandai Indonesia dalam peristiwa euforia keterpesonaan mereka pada
pembacaan mereka atas teori-teori ”terkini” dari dunia pemikiran Barat adalah konteks dari penciptaan teks-teks yang
mereka baca itu. Secara tak sadar mereka take for granted yakin bahwa teori-teori ”terkini” yang mereka baca itu tercipta
dengan realitas Indonesia sebagai salah satu faktor penulisannya! Betapa arifnya seorang Jean-François Lyotard yang
memperingati pembacanya bahwa ”kondisi pascamodern” yang dia maksudkan dalam bukunya yang berjudul The
Postmodern Condition adalah sebuah kondisi sosial seperti yang bisa ditemukan di negeri-negeri industri-kapitalis maju,
Perancis misalnya. Makanya seorang pembaca Indonesia mesti lebih bijaksana lagi dibanding Lyotard sendiri dalam ”
membaca” bukunya itu, bukan?

Sebuah pernyataan lain yang dibuat oleh Suryadi menunjukkan betapa jauhnya dia berada dari dunia kangouw sastra
Indonesia, yaitu bahwa bagi dia ”Jika seorang Ayu Utami atau Dewi Lestari menjadi fenomenal karena ‘faktor X’, maka itu
sah-sah saja”! ”Faktor X” apakah yang membuat kedua novelis di atas menjadi ”fenomenal”? Novel mereka sebagai
novelkah yang membuat keduanya ”fenomenal”? Kritik sastrakah? Pembacakah? Atau sesuatu yang non-sastra tapi
sangat mempengaruhi resepsi sebuah karya sastra, seperti politik sastra dalam bentuk karnaval puja-puji sangat
tendensius oleh komunitas sastra ”bermedia massa” di mana sang novelis menjadi anggotanya? Tidak akan adakah
pengaruh terjadi pada resepsi pembaca oleh gemuruhnya ekspose yang dilakukan pada seorang novelis di media massa
sementara analisis kritis atas karyanya hampir nol sama sekali? Kalau bagi Suryadi yang seorang ”pengajar bahasa dan
budaya” itu politik sastra semacam yang di atas itu ”sah-sah saja” dalam membuat sebuah karya sastra atau seorang
sastrawan menjadi ”fenomenal”, ”fenomenal” yang macam apa ini? Apa ”fenomenal” 15-minute fame ala MTV! Atau ”
fenomenal” Kahlil Gibran yang belum tertandingi dalam sejarah buku di negeri ini!

Kalau asersi Suryadi memang benar bahwa sastra Indonesia itu rendah ”gengsi”nya di mata pembacanya, seperti
pembaca bernama Suryadi sendiri, maka bukankah ”faktor X yang sah-sah saja” bagi dia itu, yaitu politik sastra komunitas
yang eksklusif itu, justru hanya akan memperparah jatuhnya ”gengsi” sastra Indonesia? Kebebasan pembaca untuk
menilai karya yang dibacanya sudah sangat dipengaruhi bukan oleh, paling tidak, resensi atas karya tersebut di media
massa tapi oleh kampanye iklan dalam bentuk puja-puji setinggi langit yang dilakukan para politikus sastra komunitas
sastrawan yang bersangkutan. Bukankah Nur Zain Hae sendiri pun mengakui realitas politik sastra komunitas ini dalam
esainya ”Isu Lama Untuk Pusat Baru” (”... bukan sekedar saling menggaruk punggung, seperti yang selama ini terjadi di
Komunitas Utan Kayu.”) (Media, 19/01/03)!

Apa yang dipertanyakan oleh Oyos Saroso HN dalam esainya ”Ketika Sastra Menjadi Nonsens” (Media, 12/01/03), yang
menjadi pemicu polemik ini, adalah sebuah pertanyaan ”sastra yang tidak nonsens”. Apakah warna dominan sastra
kontemporer Indonesia adalah sastra yang cuma sibuk dengan ”bentuk dan cenderung mengabaikan isi dan ideologi”,
sebuah warna yang diidentifikasi kalangan sastrawan muda Indonesia pada sebuah komunitas sastra bermedia-massa
di Jakarta? Nur Zain Hae bisa saja mengolok-olok pertanyaan Oyos ini dengan sebuah sikap pseudo-heroik bahwa ”
daripada terus menggerutu dan cemburu, lebih baik kita bergabung untuk membuat komunitas dan ‘laboratorium’ lain,
majalah atau jurnal sastra yang berbeda, menulis karya sastra dan merancang diskusi yang lebih bermutu” (Media,
19/01/03), tapi ejekannya itu cuma menunjukkan betapa naif dan sederhananya dia memandang sebuah persoalan yang
dianggap serius oleh banyak sastrawan muda Indonesia. Dan betapa tidak sensitifnya! Kalau seorang sastrawan
Indonesia sudah tidak boleh lagi mengeluarkan ”protes” atas apa yang dia rasakan sebagai kondisi yang mengancam
kelangsungan kehidupannya sebagai seorang sastrawan oleh sesama sastrawan, apa bedanya kita dengan rezim
diktator militer Orde Baru yang haus darah itu!

Politik sastra sama kejamnya dengan politik praktis di negeri realis-magis ini. Kepentingan kelompok dan kelangsungan
hidup kelompok yang happily ever after telah diutamakan dengan pengorbanan kepentingan dan kelangsungan hidup
kelompok lain. Survival of the fittest bukan cuma ideologi politik praktis di negeri ini, tapi juga dianut oleh para politikus
sastra Indonesia. Mungkin para politikus sastra ini sedikit berbeda dari kawannya di dunia politik praktis, yakni mereka
tidak sadar-sadar betul bahwa ”kewajaran” yang mereka lakukan ternyata merupakan sesuatu yang sangat negatif bagi
sastrawan lain. Mungkin merupakan sesuatu yang ”wajar” bahwa seorang novelis yang baru menerbitkan satu novel
berhasil memenangkan hadiah Prince Claus Award karena mereka klaim melakukan pembaharuan dan yang
semacamnya itu dalam sastra kontemporer Indonesia. Mungkin sesuatu yang ”wajar” pula bahwa seorang ”penyair” yang
selebriti media massa mewakili ”penyair Indonesia” dalam sebuah program baca-puisi internasional. Mungkin ”wajar”
juga bahwa seorang sastrawan bisa menjadi seorang sastrawan yang menulis dalam bahasa nasionalnya walau dia
tidak mengenal dunia sastra berbahasa nasionalnya itu, dia adalah sang mesias yang tidak terlahir dari tradisi rahim
sastra nasionalnya sendiri. Mungkin juga ”wajar” bagi seorang cerpenis yang bisa menerbitkan buku kumpulan cerpennya
hanya setahun dua tahun sejak dia mulai mempublikasikan cerpennya lalu diklaim sebagai ”monalisa” sastra Indonesia
juga.

Tapi saya setuju dengan Oyos Saroso HN. Saya tidak menganggap ”kewajaran” di atas adalah ”wajar”. Saya tidak bisa
menerima ”faktor X” sebagai yang ”sah-sah saja” dalam resepsi sebuah karya sastra seperti yang diyakini seorang
pengajar bahasa dan budaya saya di negeri Belanda sana. Dan saya lebih tidak bisa menerima lagi tuduhan asal-asalan
Nur Zain Hae yang, bagi saya, terkesan oportunistik itu.

Saya setuju dengan Oyos dalam konteks absennya tradisi kritik sastra di sastra Indonesia telah menyebabkan politik
sastra menjadi paus sastra kontemporer Indonesia. Karena ideologi politik sastra yang menjadi kekuasaan hegemonik
adalah ideologi formalisme sastra, maka ideologi lain pasti akan tersingkirkan kalau tidak terbunuh. Oyos sudah
menunjukkan dengan telak contoh dari ideologi formalisme ini dalam puisi Sitok Srengenge yang cuma ”mengejar rima
dan membangun metafora” belaka. Saya akan menambahkan dengan mayoritas cerpen yang muncul tiap Minggu di
Koran Tempo, yang bagi saya merupakan sisi ekstrem lain dari cerpen-cerpen realis di Kompas. Kekuasaan hegemonik
juga melakukan pilihan-pilihan atas apa yang mesti diselamatkan dari ideologi lain. Kenapa mengklaim para penyair
Lekra di Belanda sebagai ”penyair eksil” walau karya mereka tidak ada bedanya dengan apa yang ditulis oleh banyak
penyair di dalam Indonesia? Kenapa mereka mesti ”diselamatkan” sementara yang di Indonesia tidak? Dan dari para
penyair domestik yang menulis tentang ”penindasan dan kezaliman kekuasaan” dalam bahasa yang juga tidak ”miskin”
dan tidak ”kering”, kenapa hanya Wiji Thukul yang dipilih untuk dirayakan? Juga apakah ”riset penulisan” dan ”rajin
membaca” merupakan faktor-faktor penentu bagi lahirnya ”karya besar”?! Antologi pertanyaan aneh seperti ini mungkin tak
perlu lagi dibuat andai kritik sastra hadir sebagai polisi lalulintas sastra Indonesia.

Perbedaan ideologi, tentu saja, adalah sesuatu yang sah-sah saja dalam kehidupan manusia, apalagi dalam kehidupan
politik. Perbedaan ideologi membuat kehidupan tidak lagi dibayang-bayangi oleh momok The Big Brother Orwellian, yang
seperti malaekat elmaut terus-menerus menuntut kematian mereka yang tidak patuh. Malah perbedaan ideologi mesti
diharuskan dalam kehidupan! Betapa membosankan kalau semua puisi Indonesia adalah sajak protes. Betapa
menjemukan kalau semua puisi Indonesia adalah sajak foreplay yang masturbatori begitu-begitu saja. Begitu juga novel,
begitu pula cerpen. Dan esai. Yang kita inginkan adalah multiorgasme dalam multiklimaks yang lebih panjang dari
sebuah angkatan, sebuah generasi sastra. Saat ini, politik sastra telah membuat sastra kontemporer kita menjadi sastra
yang impoten, sastra yang frigid, sastra yang tidur dalam kulkas. Mudah-mudahan tetap awet sampai kritik sastra datang
dari Planet Pluto sana untuk menghangatkannya, menggairahkannya lagi.Sumber: Sinar Harapan

0 comments:

Pasang Iklan Gratis