Selamat Datang Di Kota Batik Pekalongan.Portal Penulis Pekalongan Dan Sekitarnya.Sahabat Media Juga Dapat Mengirimkan Informasi Sekitar Pekalongan Melalui Email : dhimashr@gmail.com Atau Sms Online Di 0815 480 92192***###########***Swanten Qustique Lagi Nyari Singer Cewe Yang Suka Banget Ma Lagu2nya Nicky Astrea. Yang Merasa Punya Hoby Nge Rock Dengan Bit Bit Slow Silahkan Persiapkan Mental Buat Gabung Bareng Kita Yaaak. Wilayah Comal Bojong Sragi Diutamakan Untuk Mempermudah Jarak Tempuh.SMS Dulu Juga Boleh......

Wednesday 17 September 2008

Berita Hari Ini » Memahami Dusta dan Kebenaran dalam Sastra

Memahami Dusta dan Kebenaran dalam Sastra

0 comments
Sebagaimana kita pahami bersama, bahwa selain sebagai dunia rekaan (bukan nyata) dan sebagai dunia refleksi, sastra
ternyata juga bisa dikatakan sebagai sebuah dusta. Sastra adalah dusta di dalam dirinya. Dikatakan demikian, lantaran
sastra dapat menjadi 'kebenaran' melalui 'pembenaran-pembenaran' yang terjadi secara individual.

Di antara kebenaran dan dusta itu tak ada satu pun prosedur yang memungkinkannya menjadi 'kebenaran' atau 'dusta'
massal atau kolektif. Semua bisa terjadi dalam dunia kemungkinan, sebagaimana semua pihak dapat menerima atau
menolaknya melalui standar pribadi yang dimilikinya.

Simpulannya, dusta dan kebenaran dalam sastra memang tak terbatas, keduanya sedemikian rupa bias bercampur bagai
molekul yang saling melarut. Ketika sastra diminta atau dipaksa mendesakkan dunia rekaannya pada pihak lain, ia
berhenti menjadi seni. Mungkin ia berubah menjadi slogan, propaganda, agama, sains, atau ideologi. Dan sastra, tak
berdaya untuk itu.

Bahkan dalam bukunya yang berjudul Kebenaran dan Dusta dalam Sastra, Radhar Panca Dahana menulis, bahwa jika
hal di atas terjadi, maka sastra akan bernasib seperti kotak mainan anak, ia akan tergeletak di pojok, di atas lemari baju,
atau teronggok di balik etalase barang elektronik; lusuh dan berdebu, terlupakan, tak terbeli. Begitu lemahkah sastra?
Demikian kira-kira Radhar kembali bertanya. Sebuah pertanyaan yang kembali membutuhkan jawaban idealistis,
mitologis, romantis atau kadang-kadang terlalu dramatis.

Seandainya pertanyaan itu tidak bergema dan bergayut sekalipun, pertanyaan atas posisi sastra akan senantiasa ada, tak
pernah berhenti, tak pernah tuntas, dan tak pernah ada simpulan, penyelesaian, atau batasan-batasan definitifnya. Semua
sekadar catatan bahwa manusia memang menjalani sebuah proses untuk menemukan dirinya sendiri, menyempurnakan
pemahaman-pemahaman atas dunia, menempatkan posisi yang labil di dalamnya.

Sastra dan pertanyaan-pertanyaan itu senantiasa berulang dan tujuan sebenarnya adalah untuk menemukan manusia
yang ternyata selalu hilang (dalam setiap perubahan zamannya). Semua bergulir dalam satu pusat yang tak terhindarkan:
rekonstitusi dan rekonstruksi manusia serta efek-efek lain yang ditimbulkannya.


Dunia imajinasi yang ditata dalam karya sastra adalah semesta yang menghimpunnya tak hanya 'kesadaran akal' namun
juga 'kesadaran batin' dan 'kesadaran badan'. Dunia empirik yang ada padanya tak dapat dijelaskan oleh kategori
sehari-hari yang kita pahami, sebagaimana pengalaman batin dan badan takkan pernah mampu kita jelaskan secara
menyeluruh. Karakter inilah yang membedakan karya sastra dari produk laboratorium, karya jurnalistik, telaah sejarah,
atau penyusunan biografi.

Karena itu, seorang pembaca hendaknya memiliki ancang-ancang sendiri untuk menghadapi karya sastra, karena sekali
lagi --semua bergulir dalam satu pusat yang tak terhindarkan: rekonstitusi dan rekonstruksi manusia serta efek-efek lain
yang ditimbulkannya.

Dan kiranya, pemikiran tentang rekonstruksi manusia serta efek-efek yang ditimbulkannya itu --serta gagasan menarik dari
Radhar Panca Dahana tentang kebenaran dan dusta dalam sastra-- akan menjadi menarik apabila lebih dikaji dalam
suatu objek kajian.

Barangkali juga merupakan sebuah objek kajian yang menggelitik, bila kita melirik kembali rekonstruksi sebuah naskah
sejarah menjadi karya sastra, misalnya --naskah Perang Bubat. Naskah sejarah Perang Bubat merupakan satu contoh
bentuk naskah sejarah yang bisa kita lihat, telah banyak mengalami rekonstruksi dari pengarang dalam wilayah kultur
berbeda, antara pengarang berasal dari kultur sosial Jawa dan Sunda masih merupakan satu kajian yang tak pernah
selesai.

Naskah Perang Bubat sebagai bentuk naskah sejarah ini jelas menjadi naskah karya sastra manakala di dalamnya telah
terjadi rekonstruksi oleh pengarang melalui wacana dialog tokoh-tokohnya yang tidak pernah tercatat dalam sejarah. Hal
ini sebagaimana yang terjadi dalam bentuk naskah-naskah lain, semisal dalam naskah Ken Arok - Ken Dedes-nya
Pramoedya. Namun, rekonstruksi seperti itu jelas berbeda dengan rekonstruksi naskah yang berbau sejarah seperti
Rumah Kaca, Bumi Manusia, atau lain-lainnya yang kemudian direkonstruksi menjadi sebuah karya sastra.

Rekonstruksi naskah Perang Bubat menjadi menarik karena di dalamnya melibatkan berbagai aspek emosi atas
pembelaan terhadap sebuah ras, kesukuan dalam dua kultur: Sunda dan Jawa. Dan sebagaimana kita maklumi juga,
bahwa dua kubu suku ini telah mengalami 'keretakan' secara latar sosialnya --karena persoalan yang pernah ditimbulkan
dalam Perang Bubat itu sendiri sebagai sejarah.

Dengan demikian hadir berbagai persoalan khususnya yang menyangkut posisi sebuah karya sastra itu sendiri di tengah
rekonstruksi yang demikian, juga tanggung jawab seorang pengarang, dan kesiapan seorang pembaca, apakah masih
menganggap naskah seperti itu sebagai karya sastra manakala di dalamnya terjalin rangkaian dialog antartokohnya
sebagai hasil rekonstruksi pengarang, serta posisi 'dusta' dan 'kebenaran' yang bukan lagi bergerak dalam batas-batas
realitas antara sesuatu yang bersifat empiris dan imajis, melainkan sudah melibatkan aspek-aspek subjektivitas
pengarang dengan segala bentuk konsekuensinya.

Di sinilah kita mulai memahami, bahwa karya sastra bisa menjadi dusta dan kebenaran. Di sini pula kita mulai
memahami bahwa 'dusta' yang sesungguhnya adalah 'dusta' hasil rekonstruksi seorang pengarang dari naskah sejarah
ke karya sastra, walau sekali lagi --secara garis besar cerita-- tidak beranjak dari kebenaran peristiwa sejarah itu sendiri.

Rekonstruksi naskah sejarah ke sastra dipandang sebagai sebuah 'dusta', manakala aspek-aspek individualisme,
bahkan --komunalisme-- telah berlaku di dalamnya. Di situ kita memahami bagaimana posisi 'kebenaran' naskah sebagai
sejarah yang diyakini kebenarannya, dan bagaimana posisi 'dusta' dalam naskah sejarah itu sendiri yang telah
mengalami rekonstruksi. Sebuah 'dusta' yang sesungguhnya berada di luar keberadaan sebuah karya sastra karena
terkait dengan latar belakang pengarang. Dan seorang pembaca, kiranya perlu untuk tahu keberadaan posisinya, bukan
hanya berpegangan pada aspek-aspek individual atau komunal. Sebuah kajian yang tentunya memerlukan ruang
tersendiri sebagai satu penelitian yang belum tuntas. n penulis adalah penyair dan eseis, tinggal di bandung. Sumber: Republika Online

0 comments:

Pasang Iklan Gratis