Perkembangan sastra kian hari kian memprihatinkan. Bahkan di sekolah yang sejatinya merupakan lahan subur bagi tumbuh kembangnya sastra, sastra justru semakin terpinggirkan.
Keterpinggiran sastra disekolah disebabkan oleh setidaknya dua hal yang fundamental. Pertama, rendahnya intelektualitas guru pengajar bahasa dan sastra Indonesia. Kondisi ini tentu saja berimbas pada rendahnya metode mengajar. Jamak diketahui bahwa menjadi guru—yang notabene PNS—adalah pilihan banyak orang di negeri ini. Meski demikian, pilihan menjadi guru bukan pilihan yang utama. Melainkan sebuah pilihan terakhir. Artinya banyak orang menjadi guru bukan karena cita-cita. Melainkan karena sudah tidak lagi terserap dalam dunia kerja yang diidam-idamkan karena ketatnya persaingan. ”Daripada ngganggur, mending mengajar” begitu komentar mereka barangkali.
Akibatnya ketika diterima dan mulai mengajar, mereka tak mau ambil pusing perihal sastra dan metode mengajar yang sesuai dengan karakterisitk lokal. Yang penting mengajar dan dapat gaji. Dan cara yang paling gampang dalam mengajar adalah tenggelam dalam antagonisme pendidikan ”gaya bank”; guru mengajar, murid diajar; guru bicara, murid mendengarkan; guru mengatur, murid diatur; guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti, guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri. Yang terjadi kemudian dalam pelajaran bahasa dan sastra tidak dikembangkan dialog, yang ada monolog. Tak ada kreatifitas, yang ada hanya hafalan. Tak ada orisinalitas, yang ada hanyalah peniruan dan pembajakan.
Benar memang tak sedikit siswa yang mengenal novel-novel sastra seperti Sengsara Membawa Nikmat, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Belenggu, Bumi Manusia dan sebagainya. tapi bukan atas kemauan siswa, melainkan karena mereka ‘terpaksa’ atau mungkin ‘dipaksa’ menghafal beberapa sinopsis dari beberapa karya yang benar-benar singkat yang ada dalam buku pelajaran oleh guru sastra mereka, karena dikhawatirkan muncul ketika ujian. Dengan kata lain, sastra hanyalah aktivitas menghafal, mencatat, lalu ujian dan selesai. Dengan metode yang hampir sama dari tahun ke tahun dari generasi kegenerasi. Sehingga minat terhadap dunia sastra benar-benar tak terlintas di benak kebanyakan generasi kita.
Makanya jangan heran jika kita kerap kesulitan menemukan guru bahasa dan sastra Indonesia yang mampu mengapresiasi sastra dengan baik. Padahal kita tahu untuk menulis cerpen, puisi dan esai sastra diperlukan seperangkat pengetahuan tertentu. Dan semua itu tidak bisa didapat hanya dengan menghafal buku teks pelajaran, melainkan harus diperluas lagi dengan menambah wawasan dengan banyak membaca literatur sastra.
Kendala berikutnya yang tak kalah tragisnya adalah tidak adanya perpustakaan yang representatif untuk mengembangkan sastra di sekolah. Benar memang pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang tentang perpustakaan beberapa waktu lalu, yang mewajibkan sekolah memiliki perpustakaan dan mengalokasikan dana perpustakaan paling sedikit 5 persen dari belanja operasional sekolah. Tapi pihak sekolah justru enggan menyiapkan dana khusus untuk perpustakaan. Mereka justru lebih memprioritaskan pembangunan gedung olah raga atau aula.
Kondisi diatas masih diperparah dengan dipangkasnya anggaran untuk perpustakaan sebagai dampak dari pemotongan anggaran pendidikan sebesar 10 persen. Akibatnya, bantuan rintisan dan penguatan taman bacaan masyarakat sebesar sektiar Rp. 41 miliar di 33 proponsi dengan target awal sekitar 2.250 lembaga terancam batal. Sedangkan pengadaan sebanyak 143 taman bacaan masyarakat layanan khusus bersifat mobile tidak jadi dilaksanakan lantaran anggarannya yang sebesar Rp 46 miliar terpangkas seluruhnya. (Kompas, 21/04/08)
Padahal perpustakaan adalah jantung ilmu pengetahuan. Sejarah telah membuktikan betapa perpustakaan mampu melahirkan sastrawan-sastrawan besar. Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, Sutan Takdir Alisjahbana, Chairil Anwar, Goenawan Mohammad dan banyak lagi tak akan mungkin memiliki pemikiran brilian yang mampu memberikan perspektif baru dalam sastra jika tidak ditunjang oleh buku-buku.
Karena itu agar pembelajaran sastra berbasis lokal dapat berjalan efektif pihak sekolah harus mengoptimalkan dua kelemahan diatas. Tenaga pengajar sastra yang mumpuni serta perpustakaan yang kaya buku. Barangkali melibatkan sastrawan atau budayawan lokal untuk terlibat dalam pelajaran bahasa dan sastra Indonesia penting untuk dipertimbangkan. Sebab dengan melibatkan sastrawan, siswa akan mendapatkan pelajaran sastra langsung dari ahlinya. Bahkan kalau perlu merekrut mereka menjadi guru tetap (PNS, red) juga merupakan keputusan bijak. Bukankah sudah menjadi rahasia umum kalau kebanyakan sastrawan dan seniman kerap tidak memiliki pekerjaan tetap?
Dan yang tak kalah pentingnya adalah mengembangkan perpustakaan sekolah. Sebab dalam perpustakaan tak hanya tersimpan informasi dan ilmu pengetahuan. Tetapi juga peradaban, motivasi, kepribadian, dan pedoman hidup. Tanpa perpustakaan yang kaya buku mustahil siswa mampu melejitkan kemampuan berpikirnya terutama dalam hal pengembangan sastra. Sebab dengan buku-buku sastra yang amat terbatas kita hanya menghasilkan kemajuan-kemajuan kecil. Dengan kondisi demikian sastra akan tetap terpinggirkan. Bahkan ditempat yang sebenarnya paling subur dalam membiakkan sastra bernama sekolah itu. Bagaimana menurut anda? Sumber_Edy Firmansyah
Akibatnya ketika diterima dan mulai mengajar, mereka tak mau ambil pusing perihal sastra dan metode mengajar yang sesuai dengan karakterisitk lokal. Yang penting mengajar dan dapat gaji. Dan cara yang paling gampang dalam mengajar adalah tenggelam dalam antagonisme pendidikan ”gaya bank”; guru mengajar, murid diajar; guru bicara, murid mendengarkan; guru mengatur, murid diatur; guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti, guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri. Yang terjadi kemudian dalam pelajaran bahasa dan sastra tidak dikembangkan dialog, yang ada monolog. Tak ada kreatifitas, yang ada hanya hafalan. Tak ada orisinalitas, yang ada hanyalah peniruan dan pembajakan.
Benar memang tak sedikit siswa yang mengenal novel-novel sastra seperti Sengsara Membawa Nikmat, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Belenggu, Bumi Manusia dan sebagainya. tapi bukan atas kemauan siswa, melainkan karena mereka ‘terpaksa’ atau mungkin ‘dipaksa’ menghafal beberapa sinopsis dari beberapa karya yang benar-benar singkat yang ada dalam buku pelajaran oleh guru sastra mereka, karena dikhawatirkan muncul ketika ujian. Dengan kata lain, sastra hanyalah aktivitas menghafal, mencatat, lalu ujian dan selesai. Dengan metode yang hampir sama dari tahun ke tahun dari generasi kegenerasi. Sehingga minat terhadap dunia sastra benar-benar tak terlintas di benak kebanyakan generasi kita.
Makanya jangan heran jika kita kerap kesulitan menemukan guru bahasa dan sastra Indonesia yang mampu mengapresiasi sastra dengan baik. Padahal kita tahu untuk menulis cerpen, puisi dan esai sastra diperlukan seperangkat pengetahuan tertentu. Dan semua itu tidak bisa didapat hanya dengan menghafal buku teks pelajaran, melainkan harus diperluas lagi dengan menambah wawasan dengan banyak membaca literatur sastra.
Kendala berikutnya yang tak kalah tragisnya adalah tidak adanya perpustakaan yang representatif untuk mengembangkan sastra di sekolah. Benar memang pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang tentang perpustakaan beberapa waktu lalu, yang mewajibkan sekolah memiliki perpustakaan dan mengalokasikan dana perpustakaan paling sedikit 5 persen dari belanja operasional sekolah. Tapi pihak sekolah justru enggan menyiapkan dana khusus untuk perpustakaan. Mereka justru lebih memprioritaskan pembangunan gedung olah raga atau aula.
Kondisi diatas masih diperparah dengan dipangkasnya anggaran untuk perpustakaan sebagai dampak dari pemotongan anggaran pendidikan sebesar 10 persen. Akibatnya, bantuan rintisan dan penguatan taman bacaan masyarakat sebesar sektiar Rp. 41 miliar di 33 proponsi dengan target awal sekitar 2.250 lembaga terancam batal. Sedangkan pengadaan sebanyak 143 taman bacaan masyarakat layanan khusus bersifat mobile tidak jadi dilaksanakan lantaran anggarannya yang sebesar Rp 46 miliar terpangkas seluruhnya. (Kompas, 21/04/08)
Padahal perpustakaan adalah jantung ilmu pengetahuan. Sejarah telah membuktikan betapa perpustakaan mampu melahirkan sastrawan-sastrawan besar. Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, Sutan Takdir Alisjahbana, Chairil Anwar, Goenawan Mohammad dan banyak lagi tak akan mungkin memiliki pemikiran brilian yang mampu memberikan perspektif baru dalam sastra jika tidak ditunjang oleh buku-buku.
Karena itu agar pembelajaran sastra berbasis lokal dapat berjalan efektif pihak sekolah harus mengoptimalkan dua kelemahan diatas. Tenaga pengajar sastra yang mumpuni serta perpustakaan yang kaya buku. Barangkali melibatkan sastrawan atau budayawan lokal untuk terlibat dalam pelajaran bahasa dan sastra Indonesia penting untuk dipertimbangkan. Sebab dengan melibatkan sastrawan, siswa akan mendapatkan pelajaran sastra langsung dari ahlinya. Bahkan kalau perlu merekrut mereka menjadi guru tetap (PNS, red) juga merupakan keputusan bijak. Bukankah sudah menjadi rahasia umum kalau kebanyakan sastrawan dan seniman kerap tidak memiliki pekerjaan tetap?
Dan yang tak kalah pentingnya adalah mengembangkan perpustakaan sekolah. Sebab dalam perpustakaan tak hanya tersimpan informasi dan ilmu pengetahuan. Tetapi juga peradaban, motivasi, kepribadian, dan pedoman hidup. Tanpa perpustakaan yang kaya buku mustahil siswa mampu melejitkan kemampuan berpikirnya terutama dalam hal pengembangan sastra. Sebab dengan buku-buku sastra yang amat terbatas kita hanya menghasilkan kemajuan-kemajuan kecil. Dengan kondisi demikian sastra akan tetap terpinggirkan. Bahkan ditempat yang sebenarnya paling subur dalam membiakkan sastra bernama sekolah itu. Bagaimana menurut anda? Sumber_Edy Firmansyah
0 comments:
Post a Comment