Selamat Datang Di Kota Batik Pekalongan.Portal Penulis Pekalongan Dan Sekitarnya.Sahabat Media Juga Dapat Mengirimkan Informasi Sekitar Pekalongan Melalui Email : dhimashr@gmail.com Atau Sms Online Di 0815 480 92192***###########***Swanten Qustique Lagi Nyari Singer Cewe Yang Suka Banget Ma Lagu2nya Nicky Astrea. Yang Merasa Punya Hoby Nge Rock Dengan Bit Bit Slow Silahkan Persiapkan Mental Buat Gabung Bareng Kita Yaaak. Wilayah Comal Bojong Sragi Diutamakan Untuk Mempermudah Jarak Tempuh.SMS Dulu Juga Boleh......

Sunday, 21 September 2008

Berita Hari Ini » Anak Jadah Pembelajaran Sastra Kita

Anak Jadah Pembelajaran Sastra Kita

0 comments
Oleh Firman Venayaksa
Sebagai bagian dari genre kesusastraan, drama tak bisa lepas dari perbincangan sastra secara umum; baik sejarah, proses kreatif hingga pembelajaran sastra di dunia akademik. Namun perhelatan drama ternyata tak semeriah ketika dipanggungkan. Ia seperti anak jadah. Ketika dilahirkan tak jelas harus menyusu kepada siapa. Di dalam sejarah kesusastraan misalnya, para kritikus sastra selalu condong pada persoalan puisi dan penyairnya. Ketika menjumpai Angkatan/ periodisasi, maka yang kita kenal adalah Amir Hamzah (Angkatan ’33), Chairil Anwar (Angkatan ’45), Taufiq Ismail (Angkatan ‘66), Sutardji (Angkatan 70) dan penyair kanon lainnya. Kendati tak seheboh puisi dan penyairnya, para prosaispun kian menyodok untuk dicatat dan diperhatikan dalam sejarah kesusastraan. Apa lagi pada Angkatan 2000 yang diusung Korie Layun Rampan. Ayu Utami yang seksi dan aduhai itu menjadi semacam trend setter. Jauh sebelumnya, prosa telah lama dihargai dan dibaca oleh khalayak sebagai alat hiburan dan pemikiran. Lantas bagaimanakah dengan drama dan dramawan kita?

Seperti yang sering diajarkan di sekolah-sekolah, kita mengenal drama sebagai seni dua dimensi. Ia hadir sebagai teks yang bisa dibaca kapanpun dan ia juga hadir sebagai seni pertunjukan yang memiliki nilai dan karakterisasi yang otonom. Kecenderungan ini mengakibatkan lahirnya sebuah perhelatan tak henti dalam pemikiran kita. Apakah karena drama sebagai seni pertunjukan, maka ia seolah-olah lepas dari kesusastraan?

Untuk membedakan persoalan itu, munculah sebuah pemikiran yang memisahkan antara teks dengan pertunjukan. Istilah teks lebih condong disebut drama, sementara istilah pertunjukan mengacu pada nama teater. Mungkin hal ini bisa saja kita terima sebagai cara untuk memudahkan pengistilahan, namun hakikatnya tetap tak bisa dibantah. Pada akhirnya tetap saja drama ataupun teater adalah anak jadah dari kesusastraan.

Pembelajaran Drama
Di dalam pembelajaran sastra di sekolah, kurikulum kita tidak mengenal teater. Teks dan pertunjukan tetaplah bernama drama. Jika dilihat secara etimologis, drama diambil dari bahasa Yunani “dramoi” yang berarti berlaku—melakukan sesuatu--. Sayangnya pembelajaran drama ternyata tak seberlaku namanya. Guru menjadi kebingungan ketika menjumpai drama yang harus dikenalkan kepada siswa. Bagi guru-guru yang ceroboh, sub pelajaran drama biasanya dilewatkan dan diganti dengan sub pelajaran lain yang lebih gampang. Dari titik ini, kita tak bisa langsung menghardik guru bahwa mereka tak becus mengajar. Guru yang awalnya dicetak oleh lembaga akademisi di kampus pun lebih banyak dikenalkan pada teks tertulis, bukan pada pertunjukannya. Calon guru itu lebih banyak diarahkan pada ruang kognisi dan bukan psikomotorik, sehingga ketika menjadi guru tergambar kecemasan di wajah mereka untuk mengenalkan drama. Lihatlah di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Mata kuliah Kajian Drama lebih condong mengkaji teks tertulis saja, tidak langsung mengolah tubuh dan rasa mereka untuk dipanggungkan, padahal kajian tak hanya melulu pada analisis teks tertulis. Drama sebagai anak jadah sastra makin terlihat ketika ada “penganaktirian” di beberapa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Jika mata kuliah Kajian Puisi dan Kajian Prosa Fiksi didahului dengan mata kuliah Apresiasi, maka tidak untuk drama, sehingga yang terjadi adalah kegagapan. Di Untirta, untunglah adalah mata kuliah pilihan yaitu Gelar Sastra. Di dalam mata kuliah ini, mahasiswa terlibat langsung untuk membuat sebuah karya. Drama sebagai seni pertunjukan masuk di dalamnya sebagai bagian dari pilihan-pilihan selain membuat filmisasi sastra, musikalisasi puisi dan lain sebagainya. Dalam satu semester mereka berjibaku untuk membuat pertunjukan. Pengalaman inilah yang menjadi modal mereka ketika mengajar drama kelak walaupun sekali seumur hidup.

Workshop Drama
Pada tanggal 26 Mei 2008 di Lumbung Ilmu-Serang, Studio Teater Indonesia yang digagas oleh Nandang Aradea membuat sebuah workshop pembelajaran drama bagi para guru. Guru yang hadir tak lebih dari 30 orang padahal para narasumber adalah orang-orang pilihan di bidangnya. Sebut saja Dr.Yudiaryani Dari STSI Yogyakarta. Wawan Sofwan, dramawan yang sudah mementaskan karyanya hingga ke luar negeri dan Dindon yang cukup akrab di telinga apresiator teater. Pada workshop itu keluarlah keresahan terpendam yang dirasakan guru selama ini. Mereka begitu kesulitan untuk mengurai persoalan drama di sekolah. Dr. Yudiaryani memberikan solusi agar bersinergi dengan para dramawan di Banten, baik sebagai pelatih ataupun konsultan. Sebagai orang yang bergelut di ilmu murni tentu saja pemikiran yang original itu tak bisa semuanya direduksi di sekolah. Jikapun ingin dipakai, paling bisa dilakukan di luar sekolah dalam bentuk ekstra kurikuler. Sementara itu Wawan Sofwan memberikan alternatif lain yaitu dengan memakai metode Dramatic Reading. Hal ini menurutnya bisa sangat efektif jika sekadar mengenalkan drama. Dengan dramatic reading, semua siswa bisa ikut terlibat karena tak serumit pementasan drama. Dramatik reading biasanya dimulai ketika para dramawan hendak mementaskan pertunjukan. Sementara itu Dindon langsung praktik, mengajarkan bagaimana menggagas pertunjukan. Selain itu dia juga menekankan bahwa drama tidak hanya bermain pentas, tetapi bisa juga sebagai sebuah terapi kepada siswa agar mereka bisa percaya diri, bertanggungjawab dan tidak egois.

Di Lebak, workshop mengenai dramapun digagas pula oleh Teater Gates-STKIP Setiabudhi (31/5/2008) dengan para pemateri yang berasal dari Banten seperti Dadie RsN penggagas Teater Wanten, DC Aryadi sutradara Teater Gates, yang langsung mengajarkan bagaimana melakukan pertunjukan. Sementara itu Iroh Siti Zahroh dan Firman Venayaksa lebih menekankan mengenai posisi drama dan sastra dalam proses pembelajaran di sekolah.

Acara workshop ini sebetulnya sebagai varian tambahan dari pementasan yang disajikan oleh Teater Gates STKIP Setiabudhi Rangkasbitung dengan judul “Ibu Suri” Karya Wisran Hadi yang dipementaskan pada tanggal 31 Mei hingga 1 Juni di aula PKPRI Rangkasbitung. Dengan demikian para peserta workshop tak hanya dibekali dengan teori dan eksperimen, tetapi langsung mengapresiasi pertunjukan.

Epilog
Kendati pembelajaran drama di sekolah memiliki kendala tersendiri, namun hal tersebut bukanlah alasan sehingga drama dianaktirikan. Drama memang menuntut proses dan kreativitas. Justru disinilah titik awal bagi guru, siswa dan penggiat teater untuk saling mengisi dan berbagi.

Tanah Air, 2008
Penulis adalah Presiden Rumah Dunia, dosen dan pemerhati kesenian. Media

0 comments:

Pasang Iklan Gratis