Selamat Datang Di Kota Batik Pekalongan.Portal Penulis Pekalongan Dan Sekitarnya.Sahabat Media Juga Dapat Mengirimkan Informasi Sekitar Pekalongan Melalui Email : dhimashr@gmail.com Atau Sms Online Di 0815 480 92192***###########***Swanten Qustique Lagi Nyari Singer Cewe Yang Suka Banget Ma Lagu2nya Nicky Astrea. Yang Merasa Punya Hoby Nge Rock Dengan Bit Bit Slow Silahkan Persiapkan Mental Buat Gabung Bareng Kita Yaaak. Wilayah Comal Bojong Sragi Diutamakan Untuk Mempermudah Jarak Tempuh.SMS Dulu Juga Boleh......

Sunday, 21 September 2008

Berita Hari Ini » Naskah Drama Radio Seri - Antara Dendam Dan Asmara

Naskah Drama Radio Seri - Antara Dendam Dan Asmara

0 comments

Bagian 01

Pagi yang cerah. Matahari baru muncul di balik bukit, menyinarkan cahayanya di permukaan bumi mengusir kabut pagi dan menggugah semua mahkluk dari kelelapan selimutan malam. Embun pagi berkilauan di ujung-ujung daun dan rumput, burung-burung berlompatan dari dahan ke dahan sambil berbunyi saling sautan, siap untuk menunaikan tugas mereka seharihari, yaitu mencari makan. Kelinci-kelincipun bersama dengan tikus dan binatang lain, keluar dari sarang mereka dan memulai hari itu dengan mengendus-endus dan mencari-cari makanan, baik untuk perut sendiri maupun untuk perut si kecil di dalam sarang. Semua makhluk, dari binatang terkecil sampai kepada manusia, bersiap-siap melaksanakan satu tugas yang sama dalam kehidupan ini, yaitu mencari makan! Tugas utama bagi kelangsungan hidup di dunia ini. Bekerja! Hidup tanpa bekerja sama dengan mati, karena bekerja itu pada hakekatnya merupakan kebaktian dan penyembahan kepada Tuhan Maha Pencipta. Tuhan Maha Pencipta sendiri dengan kekuasaanNya, tidak pernah berhenti bekerja. Bahkan kehidupan inipun berisikan hasil dari tugas pekerjaan yang dilaksanakan dengan sempurna. Pertumbuhan setiap makhluk itu hasil pekerjaan, berdetiknya jantung setiap saat itu hasil pekerjaan, keluar masuknya pernapasan juga hasil pekerjaan. Segala sesuatu bekerja, dan itulah kehidupan! Masing-masing dari kita, bahkan masing-masing dari anggauta tubuh kita, semua memiliki tugas tertentu dan harus dilaksanakan dengan baik. Kalau kurang baik pelaksanaan sebagian saja dari tubuh kita, maka kita akan jatuh sakit.

Hutan itu sunyi dari manusia, walaupun ramai dengan binatang yang mulai sibuk. Dari semut yang paling rajin sampai dengan binatang besar yang lamban dan nampak bermalas-malasan. Akan tetapi, kesunyian itu tidak terasa oleh seorang pemuda yang juga sedang bekerja mencari kayu bakar. Kadang dia memunguti kayu kering yang sudah tanggal dari pohonnya, kadang dia melompat ke atas dan merenggut putus sebuah dahan pohon. Dari gerakannya melompat ke atas dan merenggut putus dahan-dahan itu, dapat terlihat betapa pemuda itu memiliki gerakan yang tangkas dan ringan sekali, juga renggutan tangannya amat kuat sehingga sekali renggut saja, dahan itu patah.

Musim kering belum tua benar, tidak banyak dahan kering yang sudah tanggal dari pohonnya, maka terpaksa dia mencari dahan basah untuk kemudian dijemur dan dijadikan kayu bakar. Setelah mengumpulkan sejumlah yang cukup banyak, pemuda itu berhenti bekerja, lalu dia mulai berlatih silat di bawah sebatang pohon besar.

Pemuda itu berusia sekitar dua puluh dua tahun, wajahnya sederhana seperti pakaiannnya, namun bentuk wajah itu tampan dan gagah. Sepasang alisnya berbentuk golok, dan sepasang matanya mencorong sepeti mata rajawali, hidungnya mancung dan mulutnya membayangkan semangat yang besar namun juga keramahan hati karena bibirnya selalu mengarah senyum. Dagunya agak berlekuk, menunjukkan kekerasan yang terkandung di hati, kekerasan kemauan yang tidak mudah ditundukkan. Pakaiannya dari kain kasar berwarna biru dan sepatunya dari kulit hitam. Di punggungnya nampak sebatang pedang. Tubuhnya sedang saja namun tegap dan berisi.

Pemuda ini bernama Song Ki San, seorang pemuda yang tinggal bersama gurunya di tepi hutan yang sunyi. Guru dan murid ini tinggal menyendiri, jauh dari tetangga, dan agaknya memang sang guru sedang bertapa atau menyepi, tidak suka hidup dalam masyarakat. Segala kebutuhan hidup mereka dipenuhi oleh pekerjaan pemuda itu. Untuk membeli lain keperluan, pemuda itu kadang menjual hasil buruannya atau menjual rempah-rempah yang dicarinya ke dalam hutan kepada penghuni dusun-dusun di sekitar daerah itu.

Ki San terus berlatih silat. Gerakannya cepat dan mengandung tenaga. Dari setiap gerakan tangannya timbul angin pukulan yang menggoyang daun-daun pohon di sekitarnya. Setelah bersilat dengan gaya yang indah dan mantap, dia lalu meloncat dan mencabut pedangnya. Nampak sinar berkelebat ketika dia mencabut pedang, menunjukkan bahwa pedang itu terbuat dari baja yang baik sekali. Kemudian dia bersilat pedang. Sayang di situ tidak terdapat orang lain yang menonton ilmu silat pedangnya itu. Kalau ada orang menonton, orang itu tentu akan kagum dibuatnya. Mula-mula pedang itu bergerak dengan gerakan yang mantap dan ingah, menusuk ke sana, menangkis ke sini, membacok ke sana dan setiap gerakannya mendatangkan suara berdesing nyaring. Kemudian makin lama pedang itu digerakkan semakin cepat sehingga akhirnya pedang dan orang tidak nampak lagi. Yang nampak hanya gulungan sinar pedang yang membungkus tubuh pemuda itu sehingga yang nampak hanya kadang kedua kakinya saja berloncatan ke sana sini. Sinar pedangnya bergulung-gulung abgaikan seekor naga bermain di angkasa, di antara awan dan mega.

"Ki San...!" sayup-sayup terdengar suara memanggil namanya. Dia sedang asyik bermain pedang dan mencurahkan seluruh perhatiannya kepada setiap gerakan. Namun karena pendengarannya sudah terlatih baik sekali, dia dapat menangkap suara panggilan sayup-sayup itu dan diapun menghentikan permainan pedangnya, menyimpan di punggungnya dan menghampiri tumpukan kayu bakar yang tadi sudah diikatnya, memanggul di pundaknya dan diapun berlari-lari menuju ke arah suara yang tadi memanggilnya.

"Ki San...!" suara itu memanggil dari dalam pondok. Ki San melempar tumpukan kayu bakar ke atas tanah lalu berlari memasuki pondoknya. Suara gurunya demikian lemah. Memang sudah sejak sepekan ini gurunya yang akhir-akhir ini lemah berpenyakitan, hanya rebah di pembaringan tidak mampu turun karena menderita sakit.

"Suhu...!" Ki San memasuki kamar suhunya, dan duduk di tepi pembaringan, memandang suhunya yang terengah-engah, napasnya satu-satu. "Suhu, kau kenapakah?"

"Ki San..., penyakitku kambuh hebat... aku... aku tidak kuat lagi..." kata orang tua yang berusia sekitar enam puluh tahun itu.

"Suhu, apakah suhu sudah minum obat yang tadi kusediakan?" tanyanya dengan bingung.

"Sudah, tidak ada gunanya... luka lama kambuh kembali. Dengar Ki San, engkau belum tahu, aku dahulu adalah seorang panglima yang memimpin perang dan terluka parah dalam perang, nyaris tewas. Luka itu sembuh akan tetapi sering kali kumat. Dahulu sebatang tombak memasuki perutku, ahh..."

"Suhu, tenanglah. Tidak baik banyak bicara, suhu perlu beristirahat."

"Tidak, kau harus mendengar segalanya selagi... selagi aku masih kuat bicara. Dengar, Ki San, aku mempunyai sebuah ganjalan hati... aku mempunyai seorang musuh besar. Maukah engkau mewakili aku dan membunuh musuhku itu?"

Ki San terkejut. "Akan tetapi, suhu. Berulang kali suhu melarang teecu (aku) membenci dan mendendam, apa lagi membunuh orang karena dendam!"

"Memang benar, akan tetapi dengarlah... orang itu... dia telah merampas satu-satunya orang yang kucinta, merenggut wanita yang menjadi isteriku itu dari tanganku. Aku... tidak akan dapat mati dengan mata terpejam sebelum dapat membunuhnya...! maukah engkau melakukan untuk aku...?"

Ki San mengerutkan alisnya. Perbuatan orang itu keterlaluan sekali. Merampas isteri suhunya? "Siapa orang itu, suhu?"

"Namanya Kwan Ciu Ek dan tinggal di Wi-keng di selatan Sungai Kuning. Dia... dia dahulu adalah sahabat baikku... akan tetapi berhati-hatilah, dia memiliki ilmu kepandaian yang lihai. Karena itulah maka aku menurunkan semua kepandaianku kepadamu, Ki San, dan aku yakin sekarang engkau akan mampu mengalahkannya..."

Melihat muridnya diam saja, orang tua itu lalu berusaha untuk bangkit, akan tetapi dia tidak kuat dan cepat Ki San menopangnya.

"Ki San, berjanjilah bahwa engkau akan mencarinya dan membalaskan sakit hatiku."

"Baiklah, suhu. Aku berjanji!"

Baru orang itu kelihatan lega dan dia tertidur kembali. Muridnya menjaganya dan berusaha memberinya obat, akan tetapi semua itu sia-sia belaka karena dua hari kemudian orang tua itu meninggal dunia dan pesannya yang terakhir adalah penekanan agar murid itu mau membalaskan dendamnya terhadap orang yang bernama Kwan Ciu Ek.

Ki San menangisi kematian gurunya. Dia adalah seorang anak yatim piatu, ayah ibunya juga meninggal dunia ketika terjadi perang. Dalam pengungsian, ayah ibunya bertemu gerombolan penjahat dan merekapun dirampok dan dibunuh. Dia sendiri sempat melarikan diri dan terlunta-lunta sampai dia ditemukan gurunya dan diajak pergi. Sejak itu, sejak berusia dua belas tahun, dia ikut gurunya dan dia menganggap gurunya sebagai pengganti kedua orang tuanya. Dia digembleng ilmu silat dan ilmu membaca menulis oleh gurunya yang amat menyayangnya. Maka, kini kematian gurunya membuatnya merasa kehilangan segala-galanya dan dia menangis sedih di dalam makam gurunya yang berada di belakang pondok dan dibuat secara sederhana sekali. Karena dia tidak bertetangga, maka dia menguburkan jenazah gurunya secara diam-diam seorang diri pula sambil menangis.

Kenapa kematian seseorang selalu ditangisi? Untuk apa dan untuk siapakah orang menangisi kematian seseorang? Untuk siapakah kedukaan karena kematian itu? Tanpa kita sadari, sebetulnya kesedihan itu adalah untuk diri sendiri. Bukan untuk si mati. Tidak mungkin kita menyedihkan si mati karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi dengan si mati. Kita bersedih melihat orang sakit atau orang terhukum karena iba melihat penderitaannya. Akan tetapi mati? Kita tidak tahu apakah yang mati itu akan menderita ataukah tidak, maka semua tangis itu sebetulnya terjadi karena iba diri, karena kita merasa kasihan kepada diri kita sendiri. Kita ditinggal orang yang kita kasihi, kita merasa kehilangan, kesepian, karena itulah kita menangis! Bukan karena yang mati.

Kalau Ki San teringat kepada yang mati, sepatutnya dia bersukur tidak menangis. Bersukur karena orang yang dicintanya itu setidaknya telah terbebas dari pada rasa sakit. Tidak, diapun tidak menangisi yang mati, melainkan menangis karena merasa ditinggalkan dan merasa betapa kini dia hidup sebatang kara di dunia ini.

Akan tetapi Ki San segera dapat menghentikan tangisnya. Dia memang memiliki kekerasan hati sehingga dia tidak membiarkan diri berlarut-larut dicekam duka. Gurunya sudah mati, sudah habis. Karena itu, dia harus melanjutkan seorang diri, dan dia bahkan ditinggali sebuah tugas oleh gurunya. Membalas dendam! Sejak kecil gurunya sudah mengajarkan agar hatinya jangan dikacau dendam kebencian, akan tetapi sekali ini lain lagi. Dia harus melaksanakan pembalasan dendam itu, setidaknya untuk membalas budi suhunya yang bertumpuk-tumpuk. Dia akan pergi mencari Kwan Ciu Ek dan akan dibunuhnya orang yang telah merampas isteri suhunya itu. Ki kota Wi-keng, di seberang selatang Huang-ho, itulah tempat tujuan perjalanannya.

Pada masa itu pemerintahan amatlah lemahnya. Kaisar agaknya kurang memperhatikan jalannya pemerintahan dan hanya berenang di dalam kesenangan dan foya-foya sehingga para pejabat berkiprah seenaknya tanpa ada yang mengawasi. Mereka melakukan korupsi besarbesaran dan tidak memperhatikan pemerintahan, hanya mementingkan diri pribadi belaka. Semua tugas yang harus mereka lakukan, mereka kerjakan dengan tujuan kepentingan pribadi, maka tentu saja terjadi penyelewengan-penyelewengan dan korupsi. Rakyatlah yang menderita, bukan hanya menderita dari para pejabat, akan tetapi juga menderita dengan tumbuhnya banyak gerombolan penjahat yang seolah tidak ada yang mengawasi atau menghalangi.

Perbuatan apapun di dunia ini selalu dikerjakan orang dengan pamrih, dengan tujuan. Pada hal, yang penting bukanlah tujuannya, melainkan caranya. Tujuan hanyalah khayal belaka, hanyalah keinginan tercapainya sesuatu. Akan tetapi cara adalah keadaan yang sebenarnya, cara adalah apa yang kita kerjakan. Kalau caranya baik, maka akhirnya juga tentu benar. Sebaliknya, betapapun mulia tujuannya, kalau cara melaksanakannya tidak baik dan tidak benar, maka tujuan akhir itu juga tidak benar. Banyak orang memakai cara yang salah untuk melakukan suatu tujuan dengan dalih tujuan yang mulia, yang benar. Akan tetapi hal itu tidak mungkin terjadi. Cara yang kotor tentu menghasilkan tujuan akhir yang kotor pula. Hidup ini adalah cara demi cara, saat demi saat, apa yang kita lakukan sekarang ini, bukan apa yang akan menjadi hasil perbuatan yang kita lakukan sekarang. Yang terpenting, kita melakukan segala sesuatu sebaik mungkin, tanpa pamrih demi kepentingan pribadi. Berhasil atau tidaknya, terserah karena kita tidak kuasa untuk menentukan hasil suatu pekerjaan. Bersambung………….!!

Media

0 comments:

Pasang Iklan Gratis