Sandiwara Radio
Radio menyediakan dunia imajinasi tanpa batas, sebuah kekuatan dan keunikan yang tidak dimiliki oleh media lain. Pendengar bebas mengimajinasikan dunia visual dalam kepalanya. Tidak salah kalau dikatakan radio adalah theater of mind. Melalui suara yang dipancarkannya, radio mampu menjadikan benak para pendengar seolah-olah layar perak yang luas tanpa batas.
Kejayaan Sandiwara Radio: Era 1980-anContoh paling nyata mengenai kekuatan dan keunikan radio terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1938. Saat itu tak kurang dari sejuta warga AS mendengarkan sebuah sandiwara radio berjudul “War of The Worlds” karya Orson Wales dan John Houseman. Sebuah berita mengejutkan tiba-tiba muncul di tengah sandiwara radio ini. Dengan model penyampaian bergaya laporan pandangan mata, ditambah dengan efek suara yang dahsyat, sandiwara ini telah berhasil meyakinkan warga Amerika Serikat bahwa telah terjadi invasi makhluk Mars ke bumi. Akibatnya, kepanikan melanda jutaan warga Amerika. Padahal berita tersebut hanyalah bagian dari adegan dalam sandiwara radio.
Di Indonesia, sandiwara radio meraih popularitas yang sangat besar pada era tahun 1980-an. Booming sandiwara radio dipelopori oleh “Saur Sepuh”, sebuah kisah yang ditulis oleh Niki Kosasih. Nama-nama seperti Ferry Fadly, Eli Ermawati dan Ivonne Rose merupakan nama yang akrab di telinga pendengar saat itu. Merekalah para pengisi suara tokoh Brama kumbara, Mantili dan Lasmini dari Kerajaan Madangkara. Pendengar radio seperti tersihir mendengarkan desing pedang dan ciat-ciat jurus sakti dalam pertarungan Mantili atau rayuan maut Lasmini, tanpa perlu menilik apakah benar kerajaan Madangkara itu pernah ada dalam peta Indonesia. Keberhasilan Saur Sepuh diikuti oleh sandiwara lain seperti Tutur Tinular, Misteri Dari Gunung Merapi, dan sebagainya. Tak hanya sandiwara berlatar kerajaan dengan genre persilatan, sandiwara dengan genre drama pun turut meramaikan indra dengar masyarakat pada masa itu. “Ibuku sayang, Ibuku Malang” karya Eddy Suhendro dan “Catatan Si Boy” adalah beberapa judul sandiwara radio dengan genre drama.
Tak ketinggalan, pemerintah turut memproduksi sandiwara radio yang sarat dengan nilai-nilai versi pemerintah. Sandiwara berjudul “Butir-butir Pasir Di Laut” adalah sandiwara yang mempunyai jam tayang sangat panjang, hingga ribuan episode. Tema ceritanya adalah penanaman nilai-nilai kelluarga kecil bahagia sejahtera, mengingat drama ini disponsori oleh BKKBN. Saur Sepuh, Tutur Tinular, Ibuku Sayang, Ibuku Malang atau Butir-Butir Pasir Di Laut hanyalah sedikit dari sekian banyak sandiwara radio yang populer pada masa itu. Sandiwara-sandiwara itu diproduksi oleh sanggar cerita dan diputar di berbagai radio di seluruh Indonesia. Kepopuleran sandiwara radio menginspirasi stasiun radio lokal untuk memproduksi sandiwara radionya sendiri dengan cerita dan karakter yang disesuaikan dengan konteks masyarakat pendengarnya.
Popularitas sandiwara radio perlahan hilang ditelan maraknya televisi swasta dan media audio visual lainnya. Ruang-ruang keluarga pun dipenuhi dengan suguhan audio visual, dalam bentuk sinetron, film atau media visual lainnya. Tayangan audio visual yang disuguhkan melalui layar kaca itu telah membelenggu imajinasi pemirsanya. Maka tak heran ketika beberapa sandiwara radio diangkat ke layar kaca maupun layar lebar, penonton merasakan kekecewaan yang mendalam karena apa yang mereka lihat tak seperti yang mereka bayangkan.
Pelangi diatas Glagah Wangi: Obat rindu
“Mpu Janardana berdiri tegak menghadapi musuh-musuhnya. Kuda-kudanya siap menghalau segala kemungkinan. Di sisinya, Endang Kusumadewi terlihat gagah memegang pedang. Matanya melirik ke kanan ke kiri….” Sandiwara itu berjudul “Pelangi di atas Glagah Wangi”. Sambil mendengarkan sang pembawa cerita, Asdi Suhastra menarasikan keadaan dalam sandiwara itu, benak saya mengembara. Imajinasi saya bergerak bebas, membayangkan sosok Mpu Janardana, jejaka tua yang tampan dengan kepiawaiannya bersilat. Saya membayangkan kecantikan Endang Kusumadewi yang trampil memainkan jurus Pengracut Sukma. Saya menyaksikan cerita itu dengan telinga kepala saya. Hmmm.. sebuah kerinduan telah sedikit terobati.
Usut punya usut, rupanya sandiwara radio yang baru saja saya dengarkan itu didukung oleh PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. Sandiwara yang terdiri dari 90 episode dengan durasi 30 menit ini diproduksi untuk mengisi kembali tradisi mendengar sandiwara radio. Produksi sandiwara dikerjakan Rumah Produksi Cut 2 Cut dan disiarkan mulai 6 Agustus hingga 11 Desember 2007 melalui 70 radio jaringan KBR-68H di Pulau Jawa. Di yogyakarta, sandiwara ini bisa didengarkan di Radio Global FM 107,6 Mhz (Bantul), Radio PTDI Medari FM 90,7 Mhz (Sleman) dan Radio Suara Pasar FM 106,5 Mhz (Kulon Progo).
Kisah ”Pelangi di Atas Glagah Wangi” diambil dari cerita Babad Tanah Jawi, yakni sejarah naiknya kerajaan Demak dan ambruknya Majapahit. Meski begitu sandiwara ini mengetengahkan beragam persoalan yang relevan dengan suasana kekinian. Para tokoh utama dalam sandiwara ini antara lain Mpu Janardana, Endang Kusumadewi, Resi Wiyasa dan Rake Hambulu. Secara keseluruhan, Pelangi di Atas Glagah Wangi meramu cerita cinta, kesetiaan, keteguhan sikap, pengorbanan dan perjuangan. Cerita ini mengalir mengisi detik-detik habisnya era kerajaan Syiwa-Budha dan hadirnya Islam di tanah air. Kehadiran Pelangi diatas Glagah Wangi di ruang dengar saya, ibarat sebuah oase yang menawarkan rasa haus para musafir. Saya sangat menikmati kedigdayaan Mpu Janardana, kenakalan Endang Kusumadewi atau sikap patuh Woro Kembangsore. Meski demikian, ada beberapa hal yang saya rasakan berbeda dengan sandiwara-sandiwara radio yang pernah saya dengar. Menurut saya dialog yang diucapkan oleh para karakter dalam sandiwara ini sangat kaku dan terlalu panjang. Para pemain terdengar sangat sulit untuk berimprovisasi dengan dialog yang panjang, bahkan sesekali saya mendengar mereka seperti kehabisan napas. Mungkin karena dialog yang kepanjangan, saya juga tidak ‘merasakan’ sifat tokoh dalam sandiwara itu. Saya baru bisa memahami sifat Endang Kusumadewi setelah Mpu Janardana mengatakannya. Sebagai karakter yang bersifat nakal, lucu dan cantik, saya merasa kesulitan untuk mencari sifat-sifat itu dalam suara Endang Kusumadewi.
Hal lain yang menurut saya penting untuk dicermati adalah dari sisi cerita. Cerita dalam Pelangi diatas Glagahwangi secara garis besar adalah perjalanan Mpu Janardana yang baru saja memeluk agama Islam dan mendampingi Raden Patah mendirikan kerajaan Demak Bintoro. Meski sudah disampaikan oleh pembawa cerita di setiap awal cerita, saya merasa kurang banyak mendapatkan gambaran tentang latar belakang kejadian. Menurut saya, visualisasi imajinasi melalui efek suara atau dialog tentang konteks masyarakat saat itu, sangat terbatas. Mengingat sifat radio yang hanya selintas dengar, mungkin ada baiknya jika keadaan masyarakat saat itu digambarkan secara lebih intens.
Masa Depan Sandiwara Radio: konvergensi teknologi untuk kemerdekaan imajinasi
Meski memiliki beberapa kelemahan menurut telinga saya, namun saya sangat menghargai inisiasi ini. Sandiwara radio bagi saya adalah sebuah bentuk upaya melepaskan diri dari belenggu media audio visual, khususnya televisi. Ketika dunia imajinasi dibatasi oleh latar, wajah artis, pakaian bahkan gerak gerik yang serba diatur oleh sutradara, saat itulah belenggu seeing is believing tercipta. Ketika Saur Sepuh diangkat ke layar lebar, kami rela antri berjam-jam untuk mendapatkan tiketnya. Sayangnya, versi layar lebar Saur Sepuh tidaklah sebagus versi radio.
Saya merasa optimis bahwa masa depan sandiwara radio masih terbentang luas. Kemajuan teknologi memungkinkan beragam efek suara dimasukkan kedalam sebuah sandiwara radio. Efek suara juga memungkinkan hal-hal yang mustahil divisualkan ketika produsen dibatasi oleh dana yang mepet. Selain itu proses mixing elemen-elemen pembantu dalam sandiwara radio juga dapat dilakukan dengan halus. Kemajuan teknologi juga memungkinkan produksi sandiwara radio dengan biaya yang relatif terjangkau. Ini artinya siapa saja bisa memproduksi sandiwaranya sendiri. Cerita dan karakter bisa disesuaikan dengan pendengar dan konteks masyarakat saat ini.
Distribusi sandiwara radio kini tidak hanya terbatas pada media radio saja. Fenomena pemutar suara digital yang dipicu oleh kesuksesan Apple iPod telah membuka peluang yang sangat besar untuk memproduksi dan mendistribusikan sandiwara radio. Ditambah lagi dengan adanya teknologi podcasting sehingga sandiwara radio bisa dipancarluaskan melalui internet.
Jadi, siapa bilang sandiwara radio sudah mati?
*Penulis adalah Relawan Radio Angkringan FM 107,85 Mhz, Radio Komunitas warga Desa Timbulharjo Sewon Bantul. Media
Radio menyediakan dunia imajinasi tanpa batas, sebuah kekuatan dan keunikan yang tidak dimiliki oleh media lain. Pendengar bebas mengimajinasikan dunia visual dalam kepalanya. Tidak salah kalau dikatakan radio adalah theater of mind. Melalui suara yang dipancarkannya, radio mampu menjadikan benak para pendengar seolah-olah layar perak yang luas tanpa batas.
Kejayaan Sandiwara Radio: Era 1980-anContoh paling nyata mengenai kekuatan dan keunikan radio terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1938. Saat itu tak kurang dari sejuta warga AS mendengarkan sebuah sandiwara radio berjudul “War of The Worlds” karya Orson Wales dan John Houseman. Sebuah berita mengejutkan tiba-tiba muncul di tengah sandiwara radio ini. Dengan model penyampaian bergaya laporan pandangan mata, ditambah dengan efek suara yang dahsyat, sandiwara ini telah berhasil meyakinkan warga Amerika Serikat bahwa telah terjadi invasi makhluk Mars ke bumi. Akibatnya, kepanikan melanda jutaan warga Amerika. Padahal berita tersebut hanyalah bagian dari adegan dalam sandiwara radio.
Di Indonesia, sandiwara radio meraih popularitas yang sangat besar pada era tahun 1980-an. Booming sandiwara radio dipelopori oleh “Saur Sepuh”, sebuah kisah yang ditulis oleh Niki Kosasih. Nama-nama seperti Ferry Fadly, Eli Ermawati dan Ivonne Rose merupakan nama yang akrab di telinga pendengar saat itu. Merekalah para pengisi suara tokoh Brama kumbara, Mantili dan Lasmini dari Kerajaan Madangkara. Pendengar radio seperti tersihir mendengarkan desing pedang dan ciat-ciat jurus sakti dalam pertarungan Mantili atau rayuan maut Lasmini, tanpa perlu menilik apakah benar kerajaan Madangkara itu pernah ada dalam peta Indonesia. Keberhasilan Saur Sepuh diikuti oleh sandiwara lain seperti Tutur Tinular, Misteri Dari Gunung Merapi, dan sebagainya. Tak hanya sandiwara berlatar kerajaan dengan genre persilatan, sandiwara dengan genre drama pun turut meramaikan indra dengar masyarakat pada masa itu. “Ibuku sayang, Ibuku Malang” karya Eddy Suhendro dan “Catatan Si Boy” adalah beberapa judul sandiwara radio dengan genre drama.
Tak ketinggalan, pemerintah turut memproduksi sandiwara radio yang sarat dengan nilai-nilai versi pemerintah. Sandiwara berjudul “Butir-butir Pasir Di Laut” adalah sandiwara yang mempunyai jam tayang sangat panjang, hingga ribuan episode. Tema ceritanya adalah penanaman nilai-nilai kelluarga kecil bahagia sejahtera, mengingat drama ini disponsori oleh BKKBN. Saur Sepuh, Tutur Tinular, Ibuku Sayang, Ibuku Malang atau Butir-Butir Pasir Di Laut hanyalah sedikit dari sekian banyak sandiwara radio yang populer pada masa itu. Sandiwara-sandiwara itu diproduksi oleh sanggar cerita dan diputar di berbagai radio di seluruh Indonesia. Kepopuleran sandiwara radio menginspirasi stasiun radio lokal untuk memproduksi sandiwara radionya sendiri dengan cerita dan karakter yang disesuaikan dengan konteks masyarakat pendengarnya.
Popularitas sandiwara radio perlahan hilang ditelan maraknya televisi swasta dan media audio visual lainnya. Ruang-ruang keluarga pun dipenuhi dengan suguhan audio visual, dalam bentuk sinetron, film atau media visual lainnya. Tayangan audio visual yang disuguhkan melalui layar kaca itu telah membelenggu imajinasi pemirsanya. Maka tak heran ketika beberapa sandiwara radio diangkat ke layar kaca maupun layar lebar, penonton merasakan kekecewaan yang mendalam karena apa yang mereka lihat tak seperti yang mereka bayangkan.
Pelangi diatas Glagah Wangi: Obat rindu
“Mpu Janardana berdiri tegak menghadapi musuh-musuhnya. Kuda-kudanya siap menghalau segala kemungkinan. Di sisinya, Endang Kusumadewi terlihat gagah memegang pedang. Matanya melirik ke kanan ke kiri….” Sandiwara itu berjudul “Pelangi di atas Glagah Wangi”. Sambil mendengarkan sang pembawa cerita, Asdi Suhastra menarasikan keadaan dalam sandiwara itu, benak saya mengembara. Imajinasi saya bergerak bebas, membayangkan sosok Mpu Janardana, jejaka tua yang tampan dengan kepiawaiannya bersilat. Saya membayangkan kecantikan Endang Kusumadewi yang trampil memainkan jurus Pengracut Sukma. Saya menyaksikan cerita itu dengan telinga kepala saya. Hmmm.. sebuah kerinduan telah sedikit terobati.
Usut punya usut, rupanya sandiwara radio yang baru saja saya dengarkan itu didukung oleh PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. Sandiwara yang terdiri dari 90 episode dengan durasi 30 menit ini diproduksi untuk mengisi kembali tradisi mendengar sandiwara radio. Produksi sandiwara dikerjakan Rumah Produksi Cut 2 Cut dan disiarkan mulai 6 Agustus hingga 11 Desember 2007 melalui 70 radio jaringan KBR-68H di Pulau Jawa. Di yogyakarta, sandiwara ini bisa didengarkan di Radio Global FM 107,6 Mhz (Bantul), Radio PTDI Medari FM 90,7 Mhz (Sleman) dan Radio Suara Pasar FM 106,5 Mhz (Kulon Progo).
Kisah ”Pelangi di Atas Glagah Wangi” diambil dari cerita Babad Tanah Jawi, yakni sejarah naiknya kerajaan Demak dan ambruknya Majapahit. Meski begitu sandiwara ini mengetengahkan beragam persoalan yang relevan dengan suasana kekinian. Para tokoh utama dalam sandiwara ini antara lain Mpu Janardana, Endang Kusumadewi, Resi Wiyasa dan Rake Hambulu. Secara keseluruhan, Pelangi di Atas Glagah Wangi meramu cerita cinta, kesetiaan, keteguhan sikap, pengorbanan dan perjuangan. Cerita ini mengalir mengisi detik-detik habisnya era kerajaan Syiwa-Budha dan hadirnya Islam di tanah air. Kehadiran Pelangi diatas Glagah Wangi di ruang dengar saya, ibarat sebuah oase yang menawarkan rasa haus para musafir. Saya sangat menikmati kedigdayaan Mpu Janardana, kenakalan Endang Kusumadewi atau sikap patuh Woro Kembangsore. Meski demikian, ada beberapa hal yang saya rasakan berbeda dengan sandiwara-sandiwara radio yang pernah saya dengar. Menurut saya dialog yang diucapkan oleh para karakter dalam sandiwara ini sangat kaku dan terlalu panjang. Para pemain terdengar sangat sulit untuk berimprovisasi dengan dialog yang panjang, bahkan sesekali saya mendengar mereka seperti kehabisan napas. Mungkin karena dialog yang kepanjangan, saya juga tidak ‘merasakan’ sifat tokoh dalam sandiwara itu. Saya baru bisa memahami sifat Endang Kusumadewi setelah Mpu Janardana mengatakannya. Sebagai karakter yang bersifat nakal, lucu dan cantik, saya merasa kesulitan untuk mencari sifat-sifat itu dalam suara Endang Kusumadewi.
Hal lain yang menurut saya penting untuk dicermati adalah dari sisi cerita. Cerita dalam Pelangi diatas Glagahwangi secara garis besar adalah perjalanan Mpu Janardana yang baru saja memeluk agama Islam dan mendampingi Raden Patah mendirikan kerajaan Demak Bintoro. Meski sudah disampaikan oleh pembawa cerita di setiap awal cerita, saya merasa kurang banyak mendapatkan gambaran tentang latar belakang kejadian. Menurut saya, visualisasi imajinasi melalui efek suara atau dialog tentang konteks masyarakat saat itu, sangat terbatas. Mengingat sifat radio yang hanya selintas dengar, mungkin ada baiknya jika keadaan masyarakat saat itu digambarkan secara lebih intens.
Masa Depan Sandiwara Radio: konvergensi teknologi untuk kemerdekaan imajinasi
Meski memiliki beberapa kelemahan menurut telinga saya, namun saya sangat menghargai inisiasi ini. Sandiwara radio bagi saya adalah sebuah bentuk upaya melepaskan diri dari belenggu media audio visual, khususnya televisi. Ketika dunia imajinasi dibatasi oleh latar, wajah artis, pakaian bahkan gerak gerik yang serba diatur oleh sutradara, saat itulah belenggu seeing is believing tercipta. Ketika Saur Sepuh diangkat ke layar lebar, kami rela antri berjam-jam untuk mendapatkan tiketnya. Sayangnya, versi layar lebar Saur Sepuh tidaklah sebagus versi radio.
Saya merasa optimis bahwa masa depan sandiwara radio masih terbentang luas. Kemajuan teknologi memungkinkan beragam efek suara dimasukkan kedalam sebuah sandiwara radio. Efek suara juga memungkinkan hal-hal yang mustahil divisualkan ketika produsen dibatasi oleh dana yang mepet. Selain itu proses mixing elemen-elemen pembantu dalam sandiwara radio juga dapat dilakukan dengan halus. Kemajuan teknologi juga memungkinkan produksi sandiwara radio dengan biaya yang relatif terjangkau. Ini artinya siapa saja bisa memproduksi sandiwaranya sendiri. Cerita dan karakter bisa disesuaikan dengan pendengar dan konteks masyarakat saat ini.
Distribusi sandiwara radio kini tidak hanya terbatas pada media radio saja. Fenomena pemutar suara digital yang dipicu oleh kesuksesan Apple iPod telah membuka peluang yang sangat besar untuk memproduksi dan mendistribusikan sandiwara radio. Ditambah lagi dengan adanya teknologi podcasting sehingga sandiwara radio bisa dipancarluaskan melalui internet.
Jadi, siapa bilang sandiwara radio sudah mati?
*Penulis adalah Relawan Radio Angkringan FM 107,85 Mhz, Radio Komunitas warga Desa Timbulharjo Sewon Bantul. Media
Terima kasih atas tulisannya ya, sangat berarti banget karena telah membantu aku dalam penyelesaian laporan tentang sandiwara radio
Salam,''
Hanif