Yang Sebenarnya_Oleh Laila
PromediaStory's_Bagaimanapun Dia juga kawan sekelasku,tidak pernah rukun denganku. Tidak pernah tahu siapa yang memulai, kita hanya tahu siapa yang memenangkan adu mulut. Dia adalah murid baru di kelasku, anak laki-laki yang berambut hitam berbadan tinggi nan kurus dan tak pernah ada rasa perhatian untuk apapun disekitarnya. Ya, begitulah aku menilainya. Ku lihat dia di bawah pohon saat setiap pulang sekolah, sendiri dan entah apa yang sedang ia fikirkan.
Sore kala itu, Aku dan ibuku menjenguk keadaan bibiku di rumahnya, rumah-rumah yang seakan tak pernah kuduga keberadaannya, karena memang baru pertama Aku kesana. Berbelak-belok jalannya, dan disepanjang jalan dipenuhi pedagang makanan. Setelah sampai di rumah bibi, Aku dan ibuku langsung masuk dan kemudian melihat bibiku sudah kembali sehat seperti biasa, segar dan bersemangat. Suasana di rumah bibi memang sepi, karena dia belum memiliki anak, sedangkan suaminya kerja pulang malam. Di depan rumah bibi waktu itu sedang sepi karena hendak adzan maghrib, namun Aku lihat seorang anak laki-laki yang seumuran denganku. Dia memikul karung yang tidak begitu berat. Aku bertanya pada bibi,
”Bi, apa yang sedang Dia lakukan maghrib-maghrib seperti ini??”.
“Tak susah, dia hanya membantu ayahnya di kebun mencabuti singkong akhir-akhir ini”. Bibiku menjawab. Tak kuhiraukan apapun yang Ia kerjakan, tetapi Ia sempat melirik aku. Raut wajahnya tak menyenangkan hatiku, meskipun Aku hanya dapat melihatnya dari samping. Akupun beranjak pulang malam itu.
Di sekoah tak ada yang aneh, seperti biasanya teman-teman bermain dalam kelas. Seperti apa yang Aku duga, musuhku ada di pojok kelas sedang membaca komik. Tak kuteruskan pandanganku ke arahnya. Saat Aku duduk, ada yang melempar sesuatu ke arahku sehingga aku menangis. Tanpa sadar setelah teman-teman menenangkan Aku, Aku langsung menghampiri anak laki-laki baru di kelas kami itu. Aku merebut komiknya dan kusobek hingga terbagi menjadi dua. Kami bertengkar dan adu mulut hingga seorang guru datang memasuk kelas kami. Sebenarnya Aku tak tau apa yang seharusnya Aku jelaskan pada guruku, karena Aku tak memiliki bukti pasti bahwa Dia yang membuatku menangis.tak ada seorang temanpun yang membela aku maupun Dia, karena sikap keras kepala kami yang tak mampu ditenangkan, sedangkan guruku tak mau menolongku, Ibu Sam hanya menasehati agar tak terulang lagi. Rasanya hatiku belum puas jika Dia tidak dihukum atas perbuatannya. Aku ceritakan kepada ibuku, berharap hanya ibuku yang percaya padaku, tetapi ibu bilang itu hanya masalah sepele. Bagi orang dewasa, pertengkaran anak SD seperti Aku memang patut dianggap sepele, karena masalahnya hanya begitu-begitu saja.
Kekesalanku semakin memuncak, semakin hari semakin benci pada anak laki-laki itu. Setelah upacara bendera di sekolah pagi itu, Aku tidak langsung masuk kelas, Aku pingsan dan di bawa ke UKS, entah berapa lama Aku disana, sendirian. Aku mendengar suara beberapa guru yang membincangkan anak laki-laki yang kubenci saat ini. Hanya membincangkan asal anak baru itu, ternyata Dia dating dari kampong kelahiranku di Jombang. Tak ku anggap terlalu penting, karena Jombang itu luas.
Tak seperti biasanya, hari ini Aku pulang lebih awal. Semua temanku pulang termasuk juga Dia. Sampai dip agar rumah, Aku mendengar ibuku menangis di dalam rumah, Aku segera berlari masuk dan menghampiri, ayah menceritakan padaku tentang kecelakaan itu. Kakak sepupuku terserempet mobil dan masuk rumah sakit. Siang itu juga kami bergegas pergi ke Jombang. Membutuhkan waktu yang tak sebentar, mendengar tangisan ibu membuatku makin takut.Sesampainya di Rumah Sakit Jombang,sudah banyak keluarga kami yang datang. Tak heran, karena keluargaku di Jombang adalah keluarga besar. Tak tau apa yang harus kuperbuat, apa yang harus Aku ucapkan pada ibu dan ayah, tak tau pula harus bertanya pada siapa. Anak laki-laki yang kubenci tiba-tiba ada di depanku sedang menggandeng tangan kakekku. Dia juga mencium tangan ibu dan ayahku. Aku seperti orang asing, tak mengerti apa maksud dari semua ini. Mengapa anak itu ada di sini? Apa yang dia lakukan? Siapa dia sebenarnya?.
Dan dokter pun akhirnya keluar dari ruangan kakak sepupuku, dokter berkacamata itu memperbolehkan kami masuk. Melihat keadaan kakak, ibu lega, karena hanya luka kecil yang ada di tubuhnya. Aku memeluk erat kakak sepupuku yang manis nan mungil tubuhnya itu, tiba-tiba ia berkata ,“diman Radit??”. Secara spontan Aku melepas pelukanku hingga membuatnya kaget. Mengapa nama anak laki-laki itu yang ia tanyakan, bukan anggota keluarga lain? Bukankah anak itu bukan siapa-siapa dalam keluarga kami?. Radit memluk kak Yuni dengan rasa sayang, dengan tangisan layaknya kakak dan adik yang lama tak bertemu. Aku menangis dan berlari memeluk ibu, Aku ceritakan semuanya, Aku ungkapkan rasa kecewaku karena anak itu. Ibu hanya mendengarkan Aku, apa mungkin ibu tau yang sebenarnya?.
Ternyata Radit adalah adik kandung kak Yuni yang selama ini diangkat sebagai anak seorang kepala desa di desa bibiku. Anak laki-laki yang kulihat memikul karung adalah Radit, anak laki-laki yang menjadi musuhku adalah kakak sepupuku sendiri. Seorang yatim piatu yang merindukan pelukan keluarga besarnya.
Maafkan Aku….
Sore kala itu, Aku dan ibuku menjenguk keadaan bibiku di rumahnya, rumah-rumah yang seakan tak pernah kuduga keberadaannya, karena memang baru pertama Aku kesana. Berbelak-belok jalannya, dan disepanjang jalan dipenuhi pedagang makanan. Setelah sampai di rumah bibi, Aku dan ibuku langsung masuk dan kemudian melihat bibiku sudah kembali sehat seperti biasa, segar dan bersemangat. Suasana di rumah bibi memang sepi, karena dia belum memiliki anak, sedangkan suaminya kerja pulang malam. Di depan rumah bibi waktu itu sedang sepi karena hendak adzan maghrib, namun Aku lihat seorang anak laki-laki yang seumuran denganku. Dia memikul karung yang tidak begitu berat. Aku bertanya pada bibi,
”Bi, apa yang sedang Dia lakukan maghrib-maghrib seperti ini??”.
“Tak susah, dia hanya membantu ayahnya di kebun mencabuti singkong akhir-akhir ini”. Bibiku menjawab. Tak kuhiraukan apapun yang Ia kerjakan, tetapi Ia sempat melirik aku. Raut wajahnya tak menyenangkan hatiku, meskipun Aku hanya dapat melihatnya dari samping. Akupun beranjak pulang malam itu.
Di sekoah tak ada yang aneh, seperti biasanya teman-teman bermain dalam kelas. Seperti apa yang Aku duga, musuhku ada di pojok kelas sedang membaca komik. Tak kuteruskan pandanganku ke arahnya. Saat Aku duduk, ada yang melempar sesuatu ke arahku sehingga aku menangis. Tanpa sadar setelah teman-teman menenangkan Aku, Aku langsung menghampiri anak laki-laki baru di kelas kami itu. Aku merebut komiknya dan kusobek hingga terbagi menjadi dua. Kami bertengkar dan adu mulut hingga seorang guru datang memasuk kelas kami. Sebenarnya Aku tak tau apa yang seharusnya Aku jelaskan pada guruku, karena Aku tak memiliki bukti pasti bahwa Dia yang membuatku menangis.tak ada seorang temanpun yang membela aku maupun Dia, karena sikap keras kepala kami yang tak mampu ditenangkan, sedangkan guruku tak mau menolongku, Ibu Sam hanya menasehati agar tak terulang lagi. Rasanya hatiku belum puas jika Dia tidak dihukum atas perbuatannya. Aku ceritakan kepada ibuku, berharap hanya ibuku yang percaya padaku, tetapi ibu bilang itu hanya masalah sepele. Bagi orang dewasa, pertengkaran anak SD seperti Aku memang patut dianggap sepele, karena masalahnya hanya begitu-begitu saja.
Kekesalanku semakin memuncak, semakin hari semakin benci pada anak laki-laki itu. Setelah upacara bendera di sekolah pagi itu, Aku tidak langsung masuk kelas, Aku pingsan dan di bawa ke UKS, entah berapa lama Aku disana, sendirian. Aku mendengar suara beberapa guru yang membincangkan anak laki-laki yang kubenci saat ini. Hanya membincangkan asal anak baru itu, ternyata Dia dating dari kampong kelahiranku di Jombang. Tak ku anggap terlalu penting, karena Jombang itu luas.
Tak seperti biasanya, hari ini Aku pulang lebih awal. Semua temanku pulang termasuk juga Dia. Sampai dip agar rumah, Aku mendengar ibuku menangis di dalam rumah, Aku segera berlari masuk dan menghampiri, ayah menceritakan padaku tentang kecelakaan itu. Kakak sepupuku terserempet mobil dan masuk rumah sakit. Siang itu juga kami bergegas pergi ke Jombang. Membutuhkan waktu yang tak sebentar, mendengar tangisan ibu membuatku makin takut.Sesampainya di Rumah Sakit Jombang,sudah banyak keluarga kami yang datang. Tak heran, karena keluargaku di Jombang adalah keluarga besar. Tak tau apa yang harus kuperbuat, apa yang harus Aku ucapkan pada ibu dan ayah, tak tau pula harus bertanya pada siapa. Anak laki-laki yang kubenci tiba-tiba ada di depanku sedang menggandeng tangan kakekku. Dia juga mencium tangan ibu dan ayahku. Aku seperti orang asing, tak mengerti apa maksud dari semua ini. Mengapa anak itu ada di sini? Apa yang dia lakukan? Siapa dia sebenarnya?.
Dan dokter pun akhirnya keluar dari ruangan kakak sepupuku, dokter berkacamata itu memperbolehkan kami masuk. Melihat keadaan kakak, ibu lega, karena hanya luka kecil yang ada di tubuhnya. Aku memeluk erat kakak sepupuku yang manis nan mungil tubuhnya itu, tiba-tiba ia berkata ,“diman Radit??”. Secara spontan Aku melepas pelukanku hingga membuatnya kaget. Mengapa nama anak laki-laki itu yang ia tanyakan, bukan anggota keluarga lain? Bukankah anak itu bukan siapa-siapa dalam keluarga kami?. Radit memluk kak Yuni dengan rasa sayang, dengan tangisan layaknya kakak dan adik yang lama tak bertemu. Aku menangis dan berlari memeluk ibu, Aku ceritakan semuanya, Aku ungkapkan rasa kecewaku karena anak itu. Ibu hanya mendengarkan Aku, apa mungkin ibu tau yang sebenarnya?.
Ternyata Radit adalah adik kandung kak Yuni yang selama ini diangkat sebagai anak seorang kepala desa di desa bibiku. Anak laki-laki yang kulihat memikul karung adalah Radit, anak laki-laki yang menjadi musuhku adalah kakak sepupuku sendiri. Seorang yatim piatu yang merindukan pelukan keluarga besarnya.
Maafkan Aku….
0 comments:
Post a Comment