Ujian Kelulusan Oleh Ika Maya Susanti
PromediaStory's_Tangan Waluyo gemetar. Seumur-umur, apa yang dilakukannya setelah ini begitu sangat menegangkan baginya. Melebihi sengatan rasa tegangnya ketika dulu ia ujian skripsi, atau ketika menunggu bayi pertamanya lahir. Jika dihitung-hitung, tak pernah ia seumur-umur merasakan sensasi tegang yang membuat keawasan hati dan pikirannya bekerja penih terjaga.
Satu minggu lalu, kepala sekolah tempatnya mengajar mengajaknya untuk rapat bersama guru-guru lainnya di sekolah tersebut. “Kita harus membantu murid-murid kita untuk bisa lulus. Tolonglah Bapak dan Ibu camkan apa yang sudah saya sampaikan tadi,” tegas kepala sekolah. Sebetulnya, Waluyo bisa memilih dan tidak menganggap itu sebagai instruksi. Namun ia dan beberapa guru lainnya kemudian lebih berpikir pada nasib nama sekolah mereka, murid-murid mereka, bahkan nasib wajah-wajah mereka sendiri nantinya sebagai pengajar di sekolah itu.
Setelah sekian lamanya batin Waluyo bergejolak, akhirnya dibukalah sampul amplop besar yang lama telah ada di genggaman tangannya. Bercak berwarna cokelat yang lebih terang membekas di sana-sini karena tangan Waluyo yang basah seusai membasuh keringat di keningnya. Pada benda yang kini berada dalam genggamannya itulah nasib anak-anaknya bergantung pada apa yang dikerjakannya selama beberapa menit saja setelah itu. Tak dapat dibayangkan oleh Waluyo bagaimana ia harus menyampaikan ilmu Matematikanya selama tiga tahun kepada siswanya. Mulai dari menyiapkan bahan pengajaran, hingga terkadang harus berpeluh-peluh menghadapi siswa-siswanya dalam belajar mengajar di dalam ruang kelas yang tak ber-AC demi dua buah kata yang ingin sekali didengarnya, “Mengerti Pak!”.
Namun kegusaran harus disingkarkannya. Dalam benak Waluyo, wajah-wajah siswanya haruslah tersenyum riang ketika nasib berpihak pada mereka di tanggal 21 Juni nanti. Mereka sudah juga cukup berpayah-payang untuk menuntut ilmu, itu pikir Waluyo. Waluyo ingat cerita dua siswanya, Amad dan Eli yang pernah mengisahkan perjuangan perjalanan mereka saat menuju ke sekolah. Kepadanya, kedua bocah yang berangkat dengan bercelana pendek biru itu berkisah seperti ini, “Kalau tidak ada sampan yang bisa kami tumpangi, ya kami lebih memilih jalan kaki dulu Pak, 8 km lewat jalan darat, barulah kami mencopot baju, terus berenang. Tapi kalau pulang, tak payah lagi lah kami Pak, kami seperti waktu berangkat. Ada mamaknya Alek yang menjemput Alek dengan sampan. Nah kalau begitu, bisa lah kami menumpang sampai seberang. Yang penting kami tak lagi berpayah-payah mencopot baju seragam dulu lalu berenang.”.
Waluyo tentu saja terkejut waktu mendengar cerita semacam itu pada awal ia mendengarkannya. Tapi ketika Amad dan Eli yang kini menjadi generasi kesekian kalinya bercerita hal yang sama, cuma ada satu tekad yang makin membulat di hatinya. “Mereka haruslah pintar!”.
Tapi di tahun-tahun belakangan ini, satu tekad lain terpatri di dadanya. Sejak standar nilai ujian nasional dari tahun ke tahun dinaikkan dan itu justru membuatnya sering melihat wajah-wajah kecewa, Waluyo memiliki sebuah tekad baru, “Mereka harus lulus!”. Meski demikian, terkadang ia bersyukur jika teringat masa sekolahnya dulu. Tidak ada istilah mencopot baju dan berenang menyeberang pulau seperti yang dilakukan murid-muridnya kini. Cukuplah rasa lelah karena harus berjalan beberapa kilometer. Rasa syukur yang terbersit kini, tak pernah ia sangka ada dulunya jika melihat perbandingan dengan apa yang dilakukan beberapa siswanya.
Dulu, Waluyo harus bertarung untuk terus dan terus sekolah. Nilai akhir memang membuatnya cemas di setiap waktu akhir jenjang pendidikannya. Tapi kini, siswa-siswanya harus berjuang mencapai sebuah standar nilai yang begitu tinggi. Hanya untuk sebuah kata lulus saja. Waluyo sendiri tidak pernah membayangkan akan melalui semuanya itu sebagai bagian dari nasibnya, sebagai sebuah guru di sebuah pulau kecil yang jauh dari peradaban kota . Sebuah profesi mulia namun diharapkannya juga dapat menuai penghasilan yang memadai, menjadi harapannya yang tak kunjung diperolehnya. Dan dengan tetap memegang amanah orangtua semenjak ia kuliah untuk menjadi guru PNS, akhirnya ditekadkan hatinya untuk keluar dari pulau Jawa.
“Guru itu kalau di luar Jawa dihargai banget, lho! Gajinya saja bisa tiga juta. Coba kalau kita di Jawa, susah banget kalau harus terus daftar PNS. Susah diterima! Bener tho?!” ajak Arib, sahabatnya yang sudah lebih dulu merantau ke luar pulau Jawa. Pilihan di depan mata dari Arib tersebut akhirnya ia pilih untuk diambilnya. Meski di kemudian hari ketika tes PNS benar-benar diikutinya dan vonis untuk tugas mengajar di pulau harus diterimanya, Waluyo tetap terus memilih mengikuti garis hidup yang telah diambilnya tersebut.
Namun kenyataan menjadi guru di sebuah pulau sungguh di luar dugaannya. Waluyo tidak pernah tahu bahwa bahwa kondisi sekolah-sekolah tertentu bisa jadi tidak seperti yang ada dalam gambarannya ketika kuliah. Satu komputer untuk satu sekolah misalnya, tidak peduli apakah itu untuk kerja para guru ataukah untuk kegiatan belajar bagi para siswa dalam mengenal teknologi komputer. Yang hanya Waluyo tahu dari selama mengikuti kuliah dulunya, menjadi seorang guru haruslah mampu memotivasi siswa, mengajar sesuai dengan rancangan pengajaran, dan mengajar dengan metode yang bervariasi demi membuat para siswa tidak menjadi bosan dan dapat menyerap pelajaran. Itulah teori yang Waluyo dapatkan selama kuliah di universitas yang dulunya identik dengan berbagai jurusan keguruannya. Tapi Waluyo tidak pernah diberitahu jika kondisi-kondisi yang distandarkan itu tidaklah didukung dengan hal-hal yang juga standar. Dan tentunya Waluyo tidak mungkin menyesal. Malu juga rasanya jika harus mundur. Anak-anaknya yang sudah berani berperang untuk memenuhi kriteria wajib belajar itu haruslah tidak boleh ia kecewakan.
Semua jawaban untuk ujian nanti akhirnya sudah dikerjakan oleh Waluyo. Apa yang barusan dilakukannya pun sungguh tak ada dalam bayangannya dulu ketika ia menempuh kuliah. Dulu ia berprinsip dalam kondisi ujian apapun, ia harus bisa mengerjakannya sendiri. Tidak ada harapan pertolongan dari teman-temannya, apalagi dari pengajar. Sungguh rasanya tidak masuk akal jika meminta pertolongan dari dosen. Dan baginya, jika mentalnya ketika menuntut ilmu saja sudah rusak, lantas apakah ia bisa dengan santai meminta para siswanya nanti untuk bersikap jujur dalam ujian? Itulah prinsip bagi Waluyo dulu ketika masih kuliah yang kerap ditanggapi dengan senyuman kecil oleh Arib, sahabatnya.
“Lakukanlah hidup itu wajar kawan. Aku yakin, guru-guru kita pun dulunya pasti sama halnya seperti kita sekarang yang kerap melakukan hal-hal yang tidak jujur dlam mengerjakan tugas,” bela Arib untuk dirinya. “Dan nanti, tentunya aku akan mati-matian melarang muridku untuk bersikap curang.”
“Ah, mungkin teman-temanku yang dulu sering mengolok-olok keidealismeanku, pastinya tidak malu untuk melakukan seperti apa yang sedang aku lakukan kini. Dan mungkin di saat yang sama, jika mereka kini juga menjadi guru seperti aku sekarang, mereka pun pastinya juga sedang mengusahakan hal yang sama,” batin Waluyo.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwasanya soal ujian kini sudah begitu mudah didapatkan meskipun ujian akhir nasional masih tinggal empat bulan lagi. Bahkan menurut kabar pesan pendek dari telepon seluler dan telepon dari teman-temannya yang sering mengakses internet, di dunia tak nyata itu kini sedang ramai bemunculan soal-soal untuk ujian. Tidak ada lagi judul latihan soal untuk persiapan ujian atau soal-soal yang pernah keluar di tahun-tahun lalu dan bisa menjadi bahan belajar bagi para siswa yang akan ujian. Tidak seperti masa kecilnya dulu yang dituntut untuk rajin mengumpulkan soal-soal lama, kini para siswa bahkan sudah bisa berlatih soal-soal yang 99 persen kemungkinannya akan menjadi soal ujian sungguhan nantinya. Bahkan yang membuat Waluyo terheran-heran, jawaban soal ujian pun sudah bisa didapatkan dengan mudah. Heran bercampur rasa kesal lah yang menjadi rutukan hati Waluyo. Lantas, apalah gunanya ia dan para siswanya harus menempuh istilah belajar mengajar selama tiga tahun?.
“Ini bukanlah salah kita. Orang-orang yang berada di atas kita lah yang meminta kita untuk melakukannya. Mereka tidak lagi mau malu jika nanti wajah mereka tercoreng aib dengan angka-angka ketidaklulusan yang begitu fantastis,” begitu alasan seorang rekannya yang juga sesama guru di sekolah tempatnya mengajar. Melihat Waluyo hanya terdiam dengan ekspresi yang seakan masih sulit menerima, rekannya itu pun tak henti menyerah mencoba terus meyakinkannya. “Kita lebih baik mengikuti saja. Kasihan betul jika melihat anak-anak kita yang merupakan anak-anak pulau dan sudah mau berpayah-payah bersekolah itu lantas harus terus kecewa. Dan lagipula, nasib sekolah di daerah-daerah lainnya sama kok seperti kita. Kita ini, sekolah di pulau ini, memang terkenal akan kualitasnya yang kurang baik. Tapi walau bagaimanapun itu, cobalah engkau pikirkan sekali lagi nasib anak-anak kita.”.
**
Waluyo berjalan ke sekolah tanpa rasa gairah. Hari ini berita kelulusan anak-anaknya akan diketahuinya. Meski saat-saat sebelumnya angka kelulusan yang diketahuinya tidaklah menggembirakan, namun masa-masa dulu itu lebih membuatnya bersemangat untuk memacu langkahnya ke sekolah. Kejadian demi kejadian seputar ujian nasional terus ada dalam ingatannya. Satu hal, ia masih terus merasa ingin menangis jika mengingat apa yang telah dilakukannya. Dan ketika langkah kaki Waluyo akhirnya sampai di sekolah, para siswa pun berhamburan langsung berebut menciumi tangannya.
“Terimakasih Pak… terimakaih Pak…” Wajah-wajah gembira dan lega menyambutnya seusai para murid-muridnya tersebut menempelkan kening mereka di punggung tangan Waluyo saat bersalaman sebagai tanda hormat. Mata Waluyo yang berkaca-kaca kemudian tertangkap sebagai rasa haru di mata para siswanya. Waluyo mencoba membaca satu per satu pikiran anak-anaknya, “Ah, Pak Waluyo pastinya bangga pada kami. Angkatan kami akhirnya bisa membuat sekolah kami tidak lagi diolok-olok oleh masyarakat. Tidak ada lagi wartawan yang akan datang bergantian untuk meliput nasib sekolah kami yang terus-menerus dinyatakan sebagai sekolah tidak bermutu. Meskipun, seharusnya kami bangga karena kapan lagi kami bisa diperhatikan oleh masyarakat dengan adanya kejadian tersebut? Ah, tapi kini pun pastinya mereka akan kembali menyorot prestasi kami di tahun ini yang bisa meluluskan seluruh siswa kelas tiganya.” Tiba-tiba Waluyo seakan mampu membaca pikiran murid-muridnya.
Namun tetes tangis Waluyo bukanlah demi rasa haru. Lebih tepatnya adalah rasa miris yang mengiris nuraninya karena sedih dan marah pada dirinya sendiri. Ya, hari itu murid-murid Waluyo lulus. Tapi bagi Waluyo, ujiannya sebagai guru untuk mampu atau tidak membantu murid-muridnya lulus lah yang tidak dapat ia lalui. Waluyo tidak bisa lulus ujian tahun ini!.
Sumber : http://ikapunyaberita.wordpress.com/
0 comments:
Post a Comment