Senandung Diatas Ombak
Dua tahun sudah Aku berpisah dengan ke dua orang tuaku dan satu orang adikku. Ya… selama ini Aku tinggal di Solo bersama ke tiga orang adikku, kami hidup bersama kakek nenek kami. Bukan, bukan karena kami diusir atau tidak diakui oleh orang tua kami. Tapi, karena keadaanlah yang memaksa kami untuk hidup terpisah sementara.
Ini semua karena peristiwa dua tahun yang lalu. Ketika itu, kami sekeluarga terdesak keadaan ekonomi. Bapak yang ketika itu menjadi seorang pedagang ayam potong di pasar, mempunyai hutang yang sangat besar – ke bank, koperasi maupun ke teman-temannya. Ibu juga yang hanya seorang pedagang warung biasa, permodalan dan keuntungannya semakin tidak jelas. Ditambah biaya sekolahku dan ke empat adikku yang semakin membengkak. Maklum, kami tinggal di kota besar, ya di Jakarta. Yang kita tau sendiri pengeluaran di kota pastilah tidak sedikit. Sehingga, dengan keadaan seperti ini, Bapak memutuskan agar kami anak-anaknya di tempatkan di Solo, tepatnya di rumah nenek kami. Karena di Solo, banyak pula saudara kami.
Aku, dan ke tiga adikku yaitu Nurul, Zahra, dan Ali di pindahkan ke Solo. Kecuali adikku yang pertama yaitu Husna, dia tidak ikut. Dia tetap di Jakarta karena dia ditunjuk agar menemani Ibu dan Bapak untuk tetap membantu mereka di Jakarta. Jujur, keputusan itu sangat berat bagi kami semua. Karena, kami lima saudara dan Ibu Bapak sebelumnya tidak pernah hidup berjauhan seperti ini. Tapi apa boleh buat? Keputusan ini diambil karena dianggap sebagai keputusan terbaik. Katanya agar biaya pengeluaran sekolah dan yang lainnya tidak terlalu besar, karena kehidupan di desa dan kota sangatlah berbeda. Tapi keputusan ini bukan semata-mata Bapak yang menjadi kepala keluarga telah lepas tanggung jawab, tidak – Bapak tetap menghidupi kami yang berada di desa.
Akhirnya kami berempat pun pergi ke Solo. Bapak mengantar kami sampai rumah Nenek, sedangkan Ibu dan Husna mengantar kami hanya sampai terminal. Aku masih ingat dengan tangisan dan pelukan hangat dari Ibu. Tidak lupa juga wajah Husna yang sangat merah karena menahan air matanya. Ya… Aku tau, karena Husna, adikku yang ketika kecil sangat cengeng tapi ketika tumbuh besar, justru sebaliknya – Dia paling gengsi untuk menangis. Apalagi Aku dan dia memang terlalu dekat. Tapi, perpisahan kami itu telah membuat Aku bisa berpelukan dengannya. Mengingat slama ini, kami lebih sering bertengkar. Maklum adik kakak.
“Sofi, kamu harus kuat ya! Jaga adik-adikmu, Bapak pasti akan selalu mengunjungi kalian dan mendo’akan kalian” kata Bapak sambil memegang pundakku. Aku tidak bisa berkata apa-apa, Aku hanya terus menangis. Bahkan ketika kami sedang di Bus. Sedangkan Nurul yang masih kelas satu SMP hanya melamun dan sesekali meneteskan air mata. Zahra yang waktu itu kelas lima SD dan Ali yang kelas dua SD mereka tak mengerti arti perpisahan sementara ini, karena ku yakin kami suatu saat nanti akan berkumpul kembali. Zahra dan Ali sepanjang perjalanan hanya tertawa dan bercanda ria. Mereka pikir, kami semua akan berlibur, seperti liburan mudik yang sudah-sudah.
Memang kehidupan kami berempat di Solo, berubah total. Kami hidup lebih sederhana. Apalagi ketika kami harus menerima kenyataan ketika akan makan. Biasanya setiap hari, ketika di Jakarta – menu makanan kami lengkap, dari mulai sayur-mayur, lauk-pauk dan buah-buahan. Tapi ketika di Solo?? Kami makan seadanya, yang penting ada sayur. Itu pun sangat terbatas. Terkadang kami hanya makan dengan ditemani kerupuk yang harganya Rp. 1000,- untuk eanm orang – yang satu bungkusnya itu hanya berisi 10 buah kerupuk saja. Sungguh, sangat menyedihkan. Awalnya, kami berempat tidak mau makan, sangat tidak berselera, tapi mau tidak mau kami paksakan untuk makan dengan menu seadanya. Untungnya adikku yang kecil yaitu Zahra dan Ali, mereka tidak pernah rewel dalam makanan. Justru yang kulihat, mereka sangat senag tinggal di desa. Mereka main di sawah, kebun, membantu memberi makan kambing, sapi dan lain-lain. Walaupun pada awalnya pun, mereka sempat menangis karena sadar bahwa Ibu dan Bapak tidaklah tinggal bersama di Solo. Tapi, tangisan mereka cepat berlalu. Alangkah shalehnya adik-adikku. Aku bangga pada mereka!!
Setiap hari, Ibu tak pernah lupa untuk menelpon kami atau kalau tidak ada pulsa banyak, Ibu cukup SMS kepada kami. Subhanallah…. mendengar suara Ibu semakin lama semakin membuat kami rindu ingin berkumpul lagi. Tapi sayang, Aku jarang bisa berkomunikasi dengan Husna – karena yang kudengar, Husna semakin aktif saja di sekolahnya, dia pulang sore lalu langsung membantu semua pekerjaan Ibu di rumah – sehingga dia capek dan suka langsung istirahat. Ya… Aku tau betul dia, memang dia itu sangat aktif di sekolahnya, apalagi dia terpilih menjadi ketua OSIS. Tapi, Alhamdulillah meskipun dia sangat sibuk di sekolahnya, dia tak pernah lupa dengan kewajibannya kepada Ibu dan Bapak.
Ya… mungkin kehidupan Husna di sana, tidaklah serumit kami berempat. Aku yang akan pergi ke sekolah harus menunggu angkot yang lama ngetemnya satu jam. Belum lagi jalan ke sekolahnya sejauh satu kilometer, di mana Aku melewati pohon-pohon kayu, yang awalya sangat menyeramkan. Tapi, yang kuyakini adalah, ini semua jalan yang telah Allah tentukan kepadaku. Dan Allah pun adil. Karena kutau, di sana Husna tidak bisa sepertiku. Mungkin ketika Aku pulang sekolah, Aku bisa tidur siang dan ketika di rumah pun Aku bekerja pekerjaan yang relatif mudah. Sedangkan Husna di Jakarta?? Setelah dia sibuk di sekolahnya, dia pun sesampainya di rumah harus cepat membantu Ibu di warung, yang kini sudah menjadi warung yang besar. Allah memang tidak pernah dlalim.
Emh… dan sekarang dua tahun sudah berlalu. Aku sudah lulus SMA. Tepatnya besok, kami akan kembali lagi ke Jakarta. Karena Alhamdulillah keadaan ekonomi Bapak dan Ibu sudah normal bahkan bisa dikatakan sukses. Ya… ini semua karena hasil kerja keras kami semua. Sungguh, tidak sabar menunggu hari esok. Ingin segera pulang ke Jakarta – berkumpul kembali. Rindu melihat wajah Ibu yang pasti tetap bersinar, Aku ingin segera memeluknya dengan erat dan mencium ke dua tangannya. Juga Husna, pasti wajahnya makin cantik saja, apalagi sekarang dia sudah berumur 17 tahun. Dia memang cantik, banyak yang bilang matanya seperti orang India. Emh… sangat rindu. Apalagi rindu dengan shalat berjama’ah kami semua – yang diimami oleh Bapak…!!
Al Husna
0 comments:
Post a Comment