SINETRON DAN ANCAMAN MAUT
PSYKOLOGY MASYARAKAT
Banyak program – program televisi yang saat bermunculan dengan aneka ragam kemasan mulai dari variety show, kuis, film, sinetron, gossip yang sejujurnya penuh dosa karena membicarakan masalah orang lain bahkan sampai ajang pencarian juara yang di iringi dengan tangisan – tangisan tanpa artipun di tayangkan. Dan sebanyak itu pula kita ( masyarakat), di haruskan menonton hampir semua tayangan yang di suguhkan insan pertelevisian, jika saja ada yang berkata “ siapa suruh menonton acara itu kalau sudah tahu itu acara jelek, tidak mendidik hanya budaya kapitalisme “ maka sayalah orangnya yang berani menjawab bahwa ungkapan itu hanya ungkapan seorang manusia yang sungguh tidak bermoral atau punya moral tetapi tidak punya otak. Bagaimana tidak menonton jika semua saluran televisi acaranya hampir sama hanya beda kemasan. Lalu kita akan pilih saluran mana lagi whonk adanya ya Cuma itu saja, jika saja ada televisi swasta yang berani seperti TVRI jelas akan saya tonton setiap harinya.
Kita semua tahu bahwa apa yang sekarang ini ditayangkan banyak televisi dinegeri yang katanya berbudaya ketimuran ini ternyata sudah sangat melenceng dari garis batas kewajaran. Bagaimana tidak melenceng jika banyak sinetron yang menampilkan cerita legenda saja harus di hiasi dengan fitnah – fitnah adegan, hiperbola skenario, lalu apa yang sebenarnya ingin mereka sampaikan dalam tayangan tersebut, pesan apa yang ingin diberikan atas suguhan cerita senetron yang digarap dengan uang milyaran rupiah itu untuk kami sebagai penonton ?
Saya secara pribadi mengutuk keras atas tayangan yang di jejalkan oleh Indosiar, entah mendapat dukungan dari teman – teman yang lain ataupun tidak tetap saja akan saya kutuk karena memang banyak acara yang terkutuk disana. Lihat saja sinetron besutan rumah produksi Multivision Plus atau apa saja namanya yang mengusung tema Mistery Ilahi dan sejenisnya, bahkan baru – baru ini malah ada sinetron mereka yang baru yang dimainkan oleh artis – artis yang melulu itu – itu saja. Banyak fitnah adegan yang muncul disana belum lagi serangan mental yang sangat menjajah Psykology masyarakat, saya sangat sependapat dengan ungkapan dari Nurlina seorang wanita asal Jalan MT Haryono RT 01/IV, Tanjung Pinang, Kepulauan Riau yang beberapa waktu lalu say baca artikelnya di internet ;
“ Saya sebagai pemirsa TV Indonesia mengimbau bagi seluruh pekerja film/sinetron, terutama Badan Sensornya, untuk lebih mengatur kata- kata dan bahasa yang disampaikan ke publik/pemirsa TV karena ini ditonton oleh seluruh rakyat Indonesia, terutama anak-anak. Sekarang sering sekali keluar kata-kata kasar seperti: "bangsat", "brengsek", "wanita murahan", dan sebagainya yang tidak pantas didengar oleh anak-anak. Dan ini saya alami sendiri, ketika keponakan memarahi teman mainnya dengan kata- kata "Bangsat Lu". Ini terasa miris di telinga, yaitu anak umur empat tahun sudah bisa mengeluarkan kata-kata seperti itu dalam keadaan marah. Jadi dalam arti kata-kata, mereka (anak-anak) sudah tahu bahwa kata-kata itu untuk memaki/memarahi. Maaf sebelumnya, bukan saya ingin membandingkan dengan TV luar negeri, tapi kebetulan saya bertempat tinggal di Tanjung Pinang dan bisa menonton seluruh acara TV Singapura dan Malaysia. Stasiun televisi di sana selalu mengedit kata- kata yang tidak pantas didengar oleh publik. Apakah mungkin stasiun televisi di Indonesia dapat berbuat seperti itu. Padahal Indonesia terkenal dengan pepatahnya, yaitu bahasa menunjukkan bangsa “.
Yups ! betul sekali bahasa memang menunjukan bangsa begitu juga dengan sikap serta tingkah laku. Lalu apa hubungannya dengan sinetron ? begini, saya punya contoh fitnah adegan yang seringkali saya cermati di tayangan sinetron misalnya saja seorang bocah usia sekitar delapan tahunan yang begitu pandai berbicara topik orang dewasa padahal dalam kehidupan nyata sangat tidak mungkin seorang anak seusia itu berbicara demikian. Kenapa harus hiperbola dalam pembuatan naskah untuk seorang bocah atau mungkinkah si pembuat naskahnya memang tidak pernah menjadi bocah sehingga si bocah disulapnya menjadi orang dewasa yang bisa berbicara enteng tanpa menyadari bahwa sanggat tidak mungkin seorang bocah seusia itu mampu berkata sepandai itu. Kenapa tidak mencoba memahami dahulu dunia bocah sehingga naskah yang akan dibaca si bocah tersebut sesuai dengan dunianya bukan sebaliknya. Jik keadaanya sedemikian itu maka boleh kah saya berkata bahwa bahasa yang seringkali digunakan dunia sinetron akan membawa kita semua menjadi “ bangsat “ bukan bangsa.
Bagaimana saya tidak gerah jika setelah lelah bekerja sampai dirumah nonton TV tapi acaranya banyak yang tidak sesuai hati nurani saya apalagi ajang – ajang para juara yang harus di iringi tangisan – tangisan tanpa arti, lalu sang kameramen justru memperbesar shot kameranya agar lebih jelas dilihat mungkin, bah…najis rasanya. Belum lagi para Kyai yang ada di sinetronnya Indosiar yang terkesan siapa saja bisa menjadi seorang Kyai meski mungkin kehidupan nyata artis yang menjadi Kyai tersebut berantakan, pertanyaan saya apakah itu tidak meremehkan para bapak – bapak Kyai yang asli Kyai yang sesungguhnya. Kenapa harus menjual imajinasi terkutuk seperti itu, jika memang ingin menjadi juara atau memang sudah kalah yang wajar saja apa tidak bisa kenapa harus menangis. Bukankah sebelum masuk keajang tersebut sudah diperhitungkan kalau tidak menang ya pasti kalah kenapa harus hiperbola kenapa saya yang lelah sehabis bekerja harus menonton orang menangis ?.
Hai Insan pertelevisian Indonesia !
Jangan jadikan kami budak tontonan yang tanpa arti. Kasihanilah anak – anak kami yang belum tahu apa – apa mereka hanya bocah yang ingin melihat hal baru melalui siaran televisi yang kalian siarkan setiap hari entah itu film, sinetron, drama, variety show, lawak dan aneka macam program lainya namun jika saja hal baru yang mereka lihat itu ternyata tidak jelas, norak, amoral, pornografis, full kekerasan fisik atau psykis, negative dan tak bermutu maka sampaikan salam hormat saya untuk bapak menteri pendidikan bahwa jangan berharap punya generasi yang berkepribadian baik, maka jangan berharap pak anak – anak Indonesia tumbuh dengan pemikiran cerdas maka jangan terlalu berharap untuk bisa mewujudkan cita – cita menjadi bangsa maju. Selamat datang kebobrokan moral dan selamat tinggal pribadi bangsa timur kita. Hanya menunggu waktu saja.
Selamat berjuang.
Essay
Dhimas HR
Koor Program Wil ( Eks. Karesidenan Pekalongan )
Jaringan Radio Komunitas Jawa Tengah
PSYKOLOGY MASYARAKAT
Banyak program – program televisi yang saat bermunculan dengan aneka ragam kemasan mulai dari variety show, kuis, film, sinetron, gossip yang sejujurnya penuh dosa karena membicarakan masalah orang lain bahkan sampai ajang pencarian juara yang di iringi dengan tangisan – tangisan tanpa artipun di tayangkan. Dan sebanyak itu pula kita ( masyarakat), di haruskan menonton hampir semua tayangan yang di suguhkan insan pertelevisian, jika saja ada yang berkata “ siapa suruh menonton acara itu kalau sudah tahu itu acara jelek, tidak mendidik hanya budaya kapitalisme “ maka sayalah orangnya yang berani menjawab bahwa ungkapan itu hanya ungkapan seorang manusia yang sungguh tidak bermoral atau punya moral tetapi tidak punya otak. Bagaimana tidak menonton jika semua saluran televisi acaranya hampir sama hanya beda kemasan. Lalu kita akan pilih saluran mana lagi whonk adanya ya Cuma itu saja, jika saja ada televisi swasta yang berani seperti TVRI jelas akan saya tonton setiap harinya.
Kita semua tahu bahwa apa yang sekarang ini ditayangkan banyak televisi dinegeri yang katanya berbudaya ketimuran ini ternyata sudah sangat melenceng dari garis batas kewajaran. Bagaimana tidak melenceng jika banyak sinetron yang menampilkan cerita legenda saja harus di hiasi dengan fitnah – fitnah adegan, hiperbola skenario, lalu apa yang sebenarnya ingin mereka sampaikan dalam tayangan tersebut, pesan apa yang ingin diberikan atas suguhan cerita senetron yang digarap dengan uang milyaran rupiah itu untuk kami sebagai penonton ?
Saya secara pribadi mengutuk keras atas tayangan yang di jejalkan oleh Indosiar, entah mendapat dukungan dari teman – teman yang lain ataupun tidak tetap saja akan saya kutuk karena memang banyak acara yang terkutuk disana. Lihat saja sinetron besutan rumah produksi Multivision Plus atau apa saja namanya yang mengusung tema Mistery Ilahi dan sejenisnya, bahkan baru – baru ini malah ada sinetron mereka yang baru yang dimainkan oleh artis – artis yang melulu itu – itu saja. Banyak fitnah adegan yang muncul disana belum lagi serangan mental yang sangat menjajah Psykology masyarakat, saya sangat sependapat dengan ungkapan dari Nurlina seorang wanita asal Jalan MT Haryono RT 01/IV, Tanjung Pinang, Kepulauan Riau yang beberapa waktu lalu say baca artikelnya di internet ;
“ Saya sebagai pemirsa TV Indonesia mengimbau bagi seluruh pekerja film/sinetron, terutama Badan Sensornya, untuk lebih mengatur kata- kata dan bahasa yang disampaikan ke publik/pemirsa TV karena ini ditonton oleh seluruh rakyat Indonesia, terutama anak-anak. Sekarang sering sekali keluar kata-kata kasar seperti: "bangsat", "brengsek", "wanita murahan", dan sebagainya yang tidak pantas didengar oleh anak-anak. Dan ini saya alami sendiri, ketika keponakan memarahi teman mainnya dengan kata- kata "Bangsat Lu". Ini terasa miris di telinga, yaitu anak umur empat tahun sudah bisa mengeluarkan kata-kata seperti itu dalam keadaan marah. Jadi dalam arti kata-kata, mereka (anak-anak) sudah tahu bahwa kata-kata itu untuk memaki/memarahi. Maaf sebelumnya, bukan saya ingin membandingkan dengan TV luar negeri, tapi kebetulan saya bertempat tinggal di Tanjung Pinang dan bisa menonton seluruh acara TV Singapura dan Malaysia. Stasiun televisi di sana selalu mengedit kata- kata yang tidak pantas didengar oleh publik. Apakah mungkin stasiun televisi di Indonesia dapat berbuat seperti itu. Padahal Indonesia terkenal dengan pepatahnya, yaitu bahasa menunjukkan bangsa “.
Yups ! betul sekali bahasa memang menunjukan bangsa begitu juga dengan sikap serta tingkah laku. Lalu apa hubungannya dengan sinetron ? begini, saya punya contoh fitnah adegan yang seringkali saya cermati di tayangan sinetron misalnya saja seorang bocah usia sekitar delapan tahunan yang begitu pandai berbicara topik orang dewasa padahal dalam kehidupan nyata sangat tidak mungkin seorang anak seusia itu berbicara demikian. Kenapa harus hiperbola dalam pembuatan naskah untuk seorang bocah atau mungkinkah si pembuat naskahnya memang tidak pernah menjadi bocah sehingga si bocah disulapnya menjadi orang dewasa yang bisa berbicara enteng tanpa menyadari bahwa sanggat tidak mungkin seorang bocah seusia itu mampu berkata sepandai itu. Kenapa tidak mencoba memahami dahulu dunia bocah sehingga naskah yang akan dibaca si bocah tersebut sesuai dengan dunianya bukan sebaliknya. Jik keadaanya sedemikian itu maka boleh kah saya berkata bahwa bahasa yang seringkali digunakan dunia sinetron akan membawa kita semua menjadi “ bangsat “ bukan bangsa.
Bagaimana saya tidak gerah jika setelah lelah bekerja sampai dirumah nonton TV tapi acaranya banyak yang tidak sesuai hati nurani saya apalagi ajang – ajang para juara yang harus di iringi tangisan – tangisan tanpa arti, lalu sang kameramen justru memperbesar shot kameranya agar lebih jelas dilihat mungkin, bah…najis rasanya. Belum lagi para Kyai yang ada di sinetronnya Indosiar yang terkesan siapa saja bisa menjadi seorang Kyai meski mungkin kehidupan nyata artis yang menjadi Kyai tersebut berantakan, pertanyaan saya apakah itu tidak meremehkan para bapak – bapak Kyai yang asli Kyai yang sesungguhnya. Kenapa harus menjual imajinasi terkutuk seperti itu, jika memang ingin menjadi juara atau memang sudah kalah yang wajar saja apa tidak bisa kenapa harus menangis. Bukankah sebelum masuk keajang tersebut sudah diperhitungkan kalau tidak menang ya pasti kalah kenapa harus hiperbola kenapa saya yang lelah sehabis bekerja harus menonton orang menangis ?.
Hai Insan pertelevisian Indonesia !
Jangan jadikan kami budak tontonan yang tanpa arti. Kasihanilah anak – anak kami yang belum tahu apa – apa mereka hanya bocah yang ingin melihat hal baru melalui siaran televisi yang kalian siarkan setiap hari entah itu film, sinetron, drama, variety show, lawak dan aneka macam program lainya namun jika saja hal baru yang mereka lihat itu ternyata tidak jelas, norak, amoral, pornografis, full kekerasan fisik atau psykis, negative dan tak bermutu maka sampaikan salam hormat saya untuk bapak menteri pendidikan bahwa jangan berharap punya generasi yang berkepribadian baik, maka jangan berharap pak anak – anak Indonesia tumbuh dengan pemikiran cerdas maka jangan terlalu berharap untuk bisa mewujudkan cita – cita menjadi bangsa maju. Selamat datang kebobrokan moral dan selamat tinggal pribadi bangsa timur kita. Hanya menunggu waktu saja.
Selamat berjuang.
Essay
Dhimas HR
Koor Program Wil ( Eks. Karesidenan Pekalongan )
Jaringan Radio Komunitas Jawa Tengah
0 comments:
Post a Comment