Diam (tak banyak bicara), akhirnya menjadi suatu kekuatan bagi Megawati. Kendati, mendapat tekanan dan rintangan bahkan caci-maki, dia tetap diam dan sabar. Buahnya, dia pun berhasil menggapai singgasana Presiden RI ke-5. Karena terlalu diam, beberapa pengamat dan lawan politiknya sempat menuding itu sebagai indikasi kebodohan. Namun Megawati tetap diam dan sabar. Para lawan politiknya menjadi semakin penasaran. Setelah menjabat presiden, ia pun tetap tak banyak bicara. Tampaknya, ia tak mudah terombang-ambing. Puteri Bung Karno ini pun semakin sulit ditebak.
Dia memang sudah terbiasa mendapat tekanan sejak ayahandanya, Soekarno, diturunkan dari jabatan Presiden pada SI-MPRS 1996. Selama 32 tahun, Megawati (keluarga Bung Karno), tidak bebas mengekspresikan aspirasi politiknya. Namun, posisi diamnya memberi ruang gerak bagi Megawati, dibandingkan saudara-saudaranya, sehingga dia 'dibiarkan' masuk dalam kancah politik, masuk Senayan dan memimpin PDI Cabang Jakarta Pusat (1987-1992). Kendati kemudian, ketika dia terpilih menjadi Ketua Umum DPP PDI (1993-1998), pemerintah Orde Baru menekannya dengan keras. Namun, dia teguh dalam perjuangan dan tetap juga diam. Sehingga, Megawati patut disebut sebagai simbol penerima tekanan Orde Baru. Sekaligus simbol perlawanan secara damai dan tak banyak bicara.
Diam-nya Megawati, tidak hanya mengecoh pemerintah Orba, bahkan telah membuat Gus Dur, yang terkenal piawai berpolitik, menjadi sesumbar. Gus Dur yang berhasil 'menangkap' peluang menjadi Presiden RI pada Sidang Umum MPR 1999, yang sepatutnya peluang itu adalah milik Megawati, terkesan terlalu meremehkan Megawati.
Megawati yang sudah 'mengalah' berkenan menjadi Wakil Presiden -- kendati partainya PDI-P memperoleh suara terbanyak (35%) dibanding PKB hanya 10% pada Pemilu 1999 -- tidak banyak dilibatkan dalam pengambilan keputusan politik strategis pada pemerintahan Gus Dur. Di antaranya, pengangkatan dan pemberhentian menteri. Kesan kuat yang mengindikasikan bahwa Gus Dur menganggap remeh Megawati berpuncak pada pemberhentian kader PDIP Laksamana Sukardi, dari jabatan Menteri BUMN. Laksamana diberhentikan bersama Yusuf Kalla, kader Partai Golkar, tanpa sepengetahuan Megawati dan tanpa alasan yang jelas.
Sejak saat itu, si pendiam Megawati secara nyata mengambil jarak 'sahabat-saudara' dan jarak politik dengan Gus Dur. Eskalasi politik pun bergeser cepat 180 derajat. Partai-partai berbasis Islam (PPP, PAN, PBB, PK dll), yang pada Sidang Umum MPR 1999 'sangat anti' Megawati, memanfaatkan jarak renggang Mega-Gus Dur, dengan membentuk 'aliansi' atau kesepahaman politik baru dengan PDI-P. Sebab, partai-partai berbasis Islam itu sudah lebih dulu merasa 'disepelekan' Gus Dur. Hamzah Haz, Ketua Umum PPP, sudah lebih dulu didepak dari kabinet. Kemudian menyusul Bambang Sudibyo (PAN) dan Yusril Ihza Mahendra (PBB) dan Nurmahmudi Ismail (PK), masing-masing dipecat dari jabatan Menkeu, Menkeh dan Menhutbun. Disusul lagi Bomer Pasaribu dan Mahadi Sinambela dari Partai Golkar diberhentikan dari jabatan Menaker dan Menteri Negara Pemuda dan Olahraga.
Maka ketika menggelinding kasus Bulogate, yang melibatkan Gus Dur dan lingkarannya, PDIP menjadi berseberangan dengan Gus Dur dan PKB-nya. Terbentuklah Pansus Bulogate DPR-RI, yang berujung pada jatuhnya Gus Dur pada Sidang Istimewa MPR, 23 Juli 2001. SI-MPR itu dipercepat sebagai perlawanan atas Dekrit Presiden Gus Dur yang nekad membubarkan DPR/MPR. SI-MPR itu secara aklamasi menobatkan Megawati menjabat Presiden RI periode 2001-2004.
Kepatutan politik pun terwujud. Ketua umum partai pemenang Pemilu menjadi Presiden. Terwujudlah amanat Kongres PDIP di Bali yang menghendaki Megawati menjadi Presiden.
Kekalahan tipis Megawati atas KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada Sidang Umum 1999, yakni 313 banding 373, terbalas dengan kemenangan telak pada SI-MPR 2001.
Tampaknya PDIP tak mau terkecoh untuk kedua kali oleh kepiawian politik Gus Dur. Megawati, tentu juga belajar dari kesalahan Gus Dur. Sehingga PDIP mendukung Hamzah Haz (Ketua Umum PPP) sebagai Wakil Presiden. Padahal Hamzah Haz adalah pemimpin salah satu partai yang tidak menghendaki Megawati jadi presiden dan menjadi pesaing Megawati pada pemilihan Wakil Presiden pada SU-MPR 1999, yang dimenangkan Megawati dengan suara 396 banding 284.
Pada mulanya, dalam posisi Wapres, Megawati tampak tulus mendampingi Gus Dur. Hubungan Megawati sebagai Wapres dengan Gus Dur sebagai Presiden mesra-mesra saja. Tetapi akibat kesalahan Gus Dur, yang terkesan meremehkan Megawati, hubungan itu memburuk. Makan pagi yang biasanya dilakukan tiap Rabu di kediaman resmi Megawati, tidak lagi diadakan. Bahkan, Megawati pelan-pelan menunjukkan ketidaksepahamannya dengan Gus Dur, baik lewat pernyataannya maupun lewat orang-orang di sekitarnya. Mega jarang hadir pada rapat kabinet yang dipimpin Gus Dur, termasuk pelantikan pejabat baru di kabinet. Mega juga tidak hadir pada pertemuan parpol yang digagas Gus Dur di Istana Bogor. Bahkan, Megawati melakukan pertemuan dengan sejumlah pimpinan parpol di rumah pribadinya di Kebagusan, Jakarta Selatan, satu bulan menjelang SI-MPR 2001.
Puteri proklamator ini dilahirkan di Yogyakarta, 23 Januari 1947. Fatmawati melahirkannya dalam suasana yang tidak nyaman. Ketika itu hujan turun deras, atap rumah bocor, guntur menggelegar, kilat menyambar-nyambar dan tanpa listik. Mega lahir dalam suasana cahaya temaram lampu minyak tanah. Menurut kerabat, suasana kelahiran Megawati itu menjadi semacam pertanda untuk perjalanan hidupnya kemudian. Memang, setelah Soekarno jatuh, Mega dan keluarga mendapat cobaan dan tekanan politik yang cukup berat. Mega dan saudara-saudaranya terasing dari dunia ramai. Mereka hidup dalam kondisi yang tertekan. Sampai-sampai kuliah Megawati di Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran (1965-1967) dan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1970-1972) tak bisa diselesaikannya.
Ditambah lagi cobaan hidup pribadi yang dialaminya. Suami pertamanya, Lettu (Penerbang) Surindro Supjarso hilang dalam kecelakaan jatuhnya pesawat Skyvan T-701 yang dipilotinya di Biak, Irian Jaya tahun 1970. Padahal saat itu Megawati tengah mengandung anak kedua. Sampai kini Surindro tidak pernah ditemukan.Kemudian, tahun 1972 Mega menikah dengan Hassan Gamal Ahmad Hasan, seorang diplomat Mesir yang sedang bertugas di Jakarta. Tetapi perkawinan itu, kemudian dibatalkan karena Mega masih dianggap terikat perkawinan yang sah dengan Surindro. Sebab, ketika itu belum ada kepastian mengenai nasib suami pertamanya itu. Baru beberapa saat kemudian, ada kepastian dari Angkatan Udara bahwa Surindro telah gugur dalam musibah jatuhnya pesawat itu. Tak lama setelah itu, Mega menikah dengan Taufik Kiemas, seorang aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) asal Sumatera Selatan.
Pada masa kecilnya, Megawati banyak menikmati pengalaman indah. Maklum, sebagai puteri presiden, Megawati menghabiskan masa kecilnya di lingkungan Istana Merdeka. Dari kecil, dia sudah menampakkan sosok lembut dan pendiam. Namun, dia senang menari. Bahkan kerap menari di hadapan tamu-tamu ayahnya di istana. Selain itu, Adis -- panggilan Megawati oleh Bung Karno -- suka dengan tanaman. Dia pun berkebun anggrek di salah satu sudut istana.
Kendati lahir dari keluarga politisi jempolan, Mbak Mega -- panggilan akrab para pendukungnya -- tidak terbilang piawai dalam dunia politik. Bahkan, Megawati sempat dipandang sebelah mata oleh teman dan lawan politiknya. Dia bahkan dianggap sebagai pendatang baru dalam kancah politik, yakni baru pada tahun 1987. Saat itu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menempatkannya sebagai salah seorang calon legislatif dari daerah pemilihan Jawa Tengah, untuk mendongkrak suara. Mega berkenan dan tampak enjoy. Karena, mungkin, dia telah lama menunggu terbukanya kesempatan itu. Kendati saat itu dia nekad mengingkari kesepakatan keluarganya untuk tidak terjun ke dunia politik. Trauma politik keluarga itu ditabraknya. Mega tampil menjadi primadona dalam kampanye PDI, walau tergolong tidak banyak bicara dibanding para pembicara lain. Ternyata memang berhasil. Suara untuk PDI naik. Dan Mega pun terpilih menjadi anggota DPR/MPR. Pada tahun itu pula dia terpilih sebagai Ketua DPC PDI Jakarta Pusat.
Tetapi, kehadiran Mega di gedung DPR/MPR sepertinya tidak terasa. Dia lebih banyak diam. Kinerjanya sebagai anggota dewan dinilai kurang. Posisi primadona masa kampanye, tidak tercermin pada dirinya saat duduk di legislatif itu. Bahkan dia sering tak datang ke DPR. Tampaknya, Megawati tahu bahwa dia masih di bawah tekanan. Selain memang sifatnya pendiam, dia pun memilih untuk tidak menonjol mengingat kondisi politik saat itu. Maka dia memilih lebih banyak melakukan lobi-lobi politik di luar gedung wakil rakyat tersebut. Lobi politiknya, yang silent operation, itu secara langsung atau tidak langsung, telah memunculkan terbitnya bintang Mega dalam dunia politik. Pada tahun 1993 dia terpilih menjadi Ketua Umum DPP PDI. Hal ini sangat mengagetkan pemerintah pada saat itu.
Proses naiknya Mega ini merupakan cerita menarik pula. Ketika itu, Konggres PDI di Medan berakhir tanpa menghasilkan keputusan apa-apa. Pemerintah mendukung Budi Hardjono menggantikan Soerjadi. Lantas, dilanjutkan dengan menyelenggarakan Kongres Luar Biasa di Surabaya. Pada kongres ini, nama Mega muncul dan secara telak mengungguli Budi Hardjono, kandidat yang didukung oleh pemerintah itu. Mega terpilih sebagai Ketua Umum PDI. Kemudian status Mega sebagai Ketua Umum PDI dikuatkan lagi oleh Musyawarah Nasional PDI di Jakarta.
Namun pemerintah menolak dan menganggapnya tidak sah. Karena itu, dalam perjalanan berikutnya, pemerintah mendukung kekuatan mendongkel Mega sebagai Ketua Umum PDI. Fatimah Ahmad cs, atas dukungan pemerintah, menyelenggarakan Kongres PDI di Medan pada tahun 1996, untuk menaikkan kembali Soerjadi. Tetapi Mega tidak mudah ditaklukkan. Pemerintah terperangah. Karena Mega dengan tegas menyatakan tidak mengakui Kongres Medan. Mega teguh menyatakan dirinya sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, sebagai simbol keberadaan DPP yang sah, dikuasai oleh pihak Mega. Para pendukung Mega tidak mau surut satu langkah pun. Mereka tetap berusaha mempertahankan kantor itu.
Soerjadi yang didukung pemerintah pun memberi ancaman akan merebut secara paksa kantor DPP PDI itu. Ancaman itu kemudian menjadi kenyataan. Pagi, tanggal 27 Juli 1996 kelompok Soerjadi benar-benar merebut kantor DPP PDI dari pendukung Mega. Puluhan pendukung Mega tewas pada Peristiwa 27 Juli itu. Aksi penyerangan itu berbuntut pada kerusuhan massal di Jakarta. Beberapa aktivis pemuda dan mahasiswa ditangkap dan dipenjara. Namun, hal itu tidak menyurutkan langkah Mega. Malah, dia makin memantap langkah mengibarkan perlawanan. Tekanan politik yang amat telanjang terhadap Mega itu, menundang empati dan simpati dari masyarakat luas. Sosok Mega, yang sebelumnya dianggap biasa saja, malah muncul menjadi simbol dan pemegang kendali perlawanan kepada rezim Orde Baru yang sudah 32 tahun berkuasa. Mega, secara sadar atau tidak, akhirnya dibesarkan dan dimatangkan oleh tekanan berlebihan dan telanjang dari penguasa Orde Baru. Tanpa tekanan berlebihan penguasa, kekuatan Mega belum tentu terbentuk sedemikian rupa.
Mega yang pendiam, tampaknya sangat menyadari hal itu. Dia pun tahu diri atas kekuatannya. Lalu, dia berupaya menghindari perlawanan dengan kekerasan. Dia tidak mau membenturkan massanya dengan aparat dan kekuatan Orde Baru. Dia memilih jalur hukum, walau pun kemudian kandas di pengadilan. Kendati demikian, Mega terus berjuang. PDI pun menjadi dua. Yakni, PDI pimpinan Megawati dan PDI pimpinan Soerjadi. Massa PDI lebih berpihak dan mengakui Mega. Tetapi, pemerintah mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Akibatnya, PDI pimpinan Mega tidak bisa ikut Pemilu 1997.
Namun, kondisi ini makin memancarkan kekuatan Mega. Keberpihakan massa PDI kepada Mega makin terlihat, pada pemilu 1997 itu. Sebab, terbukti perolehan suara PDI pimpinan Soerjadi merosot tajam. Banyak massa pendukung PDI memilih golput, seperti halnya Mega sendiri. Sebagian lagi berpaling ke Partai Persatuan Pembangunan, yang melahirkan istilah "Mega Bintang".
Setelah rezim Orde Baru tumbang, PDI Mega berubah nama menjadi PDI Perjuangan. Partai politik berlambang banteng gemuk dan bermulut putih itu berhasil memenangkan Pemilu 1999 dengan meraih lebih tiga puluh persen suara. Kemenangan PDIP itu menempatkan Mega pada posisi paling patut menjadi presiden dibanding kader partai lainnya. Massa pendukung Mega mengancam, kalau Mega tidak jadi presiden, akan terjadi revolusi.
Tetapi ternyata pada SU-MPR 1999, Mega kalah. Massa pendukung Mega lantas mengamuk di sejumlah kota seperti Bali, Solo, Medan dan Jakarta. Namun, setelah Mega terpilih sebagai Wapres, amukan massa PDIP itu pun reda. Mereka ditenangkan oleh Mega sendiri. Mega dalam pidato pelantikannya sebagai Wapres menyampaikan pesan: "Kepada anak-anakku di seluruh tanah air, saya minta untuk bekerjalah kembali dengan tulus, janganlah melakukan hal-hal yang bersifat emosional, karena di dalam mimbar ini kamu melihat ibumu berdiri." Massa pendukung Mega pun lega dan harus puas menerima kenyataan, Mega di posisi kedua.
Tetapi, posisi kedua tersebut rupanya sebuah tahapan untuk kemudian pada waktunya memantapkan Mega pada posisi pertama di negeri berpenduduk lebih 210 juta jiwa ini. Sebab kurang dari dua tahun, anggota Majelis secara aklamasi menempatkannya duduk sebagai Presiden RI ke-5 menggantikan KH Abdurrahman Wahid. Kenyataan ini, membuktikan bahwa diam Megawati itu emas. ►ti/crs
Dia memang sudah terbiasa mendapat tekanan sejak ayahandanya, Soekarno, diturunkan dari jabatan Presiden pada SI-MPRS 1996. Selama 32 tahun, Megawati (keluarga Bung Karno), tidak bebas mengekspresikan aspirasi politiknya. Namun, posisi diamnya memberi ruang gerak bagi Megawati, dibandingkan saudara-saudaranya, sehingga dia 'dibiarkan' masuk dalam kancah politik, masuk Senayan dan memimpin PDI Cabang Jakarta Pusat (1987-1992). Kendati kemudian, ketika dia terpilih menjadi Ketua Umum DPP PDI (1993-1998), pemerintah Orde Baru menekannya dengan keras. Namun, dia teguh dalam perjuangan dan tetap juga diam. Sehingga, Megawati patut disebut sebagai simbol penerima tekanan Orde Baru. Sekaligus simbol perlawanan secara damai dan tak banyak bicara.
Diam-nya Megawati, tidak hanya mengecoh pemerintah Orba, bahkan telah membuat Gus Dur, yang terkenal piawai berpolitik, menjadi sesumbar. Gus Dur yang berhasil 'menangkap' peluang menjadi Presiden RI pada Sidang Umum MPR 1999, yang sepatutnya peluang itu adalah milik Megawati, terkesan terlalu meremehkan Megawati.
Megawati yang sudah 'mengalah' berkenan menjadi Wakil Presiden -- kendati partainya PDI-P memperoleh suara terbanyak (35%) dibanding PKB hanya 10% pada Pemilu 1999 -- tidak banyak dilibatkan dalam pengambilan keputusan politik strategis pada pemerintahan Gus Dur. Di antaranya, pengangkatan dan pemberhentian menteri. Kesan kuat yang mengindikasikan bahwa Gus Dur menganggap remeh Megawati berpuncak pada pemberhentian kader PDIP Laksamana Sukardi, dari jabatan Menteri BUMN. Laksamana diberhentikan bersama Yusuf Kalla, kader Partai Golkar, tanpa sepengetahuan Megawati dan tanpa alasan yang jelas.
Sejak saat itu, si pendiam Megawati secara nyata mengambil jarak 'sahabat-saudara' dan jarak politik dengan Gus Dur. Eskalasi politik pun bergeser cepat 180 derajat. Partai-partai berbasis Islam (PPP, PAN, PBB, PK dll), yang pada Sidang Umum MPR 1999 'sangat anti' Megawati, memanfaatkan jarak renggang Mega-Gus Dur, dengan membentuk 'aliansi' atau kesepahaman politik baru dengan PDI-P. Sebab, partai-partai berbasis Islam itu sudah lebih dulu merasa 'disepelekan' Gus Dur. Hamzah Haz, Ketua Umum PPP, sudah lebih dulu didepak dari kabinet. Kemudian menyusul Bambang Sudibyo (PAN) dan Yusril Ihza Mahendra (PBB) dan Nurmahmudi Ismail (PK), masing-masing dipecat dari jabatan Menkeu, Menkeh dan Menhutbun. Disusul lagi Bomer Pasaribu dan Mahadi Sinambela dari Partai Golkar diberhentikan dari jabatan Menaker dan Menteri Negara Pemuda dan Olahraga.
Maka ketika menggelinding kasus Bulogate, yang melibatkan Gus Dur dan lingkarannya, PDIP menjadi berseberangan dengan Gus Dur dan PKB-nya. Terbentuklah Pansus Bulogate DPR-RI, yang berujung pada jatuhnya Gus Dur pada Sidang Istimewa MPR, 23 Juli 2001. SI-MPR itu dipercepat sebagai perlawanan atas Dekrit Presiden Gus Dur yang nekad membubarkan DPR/MPR. SI-MPR itu secara aklamasi menobatkan Megawati menjabat Presiden RI periode 2001-2004.
Kepatutan politik pun terwujud. Ketua umum partai pemenang Pemilu menjadi Presiden. Terwujudlah amanat Kongres PDIP di Bali yang menghendaki Megawati menjadi Presiden.
Kekalahan tipis Megawati atas KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada Sidang Umum 1999, yakni 313 banding 373, terbalas dengan kemenangan telak pada SI-MPR 2001.
Tampaknya PDIP tak mau terkecoh untuk kedua kali oleh kepiawian politik Gus Dur. Megawati, tentu juga belajar dari kesalahan Gus Dur. Sehingga PDIP mendukung Hamzah Haz (Ketua Umum PPP) sebagai Wakil Presiden. Padahal Hamzah Haz adalah pemimpin salah satu partai yang tidak menghendaki Megawati jadi presiden dan menjadi pesaing Megawati pada pemilihan Wakil Presiden pada SU-MPR 1999, yang dimenangkan Megawati dengan suara 396 banding 284.
Pada mulanya, dalam posisi Wapres, Megawati tampak tulus mendampingi Gus Dur. Hubungan Megawati sebagai Wapres dengan Gus Dur sebagai Presiden mesra-mesra saja. Tetapi akibat kesalahan Gus Dur, yang terkesan meremehkan Megawati, hubungan itu memburuk. Makan pagi yang biasanya dilakukan tiap Rabu di kediaman resmi Megawati, tidak lagi diadakan. Bahkan, Megawati pelan-pelan menunjukkan ketidaksepahamannya dengan Gus Dur, baik lewat pernyataannya maupun lewat orang-orang di sekitarnya. Mega jarang hadir pada rapat kabinet yang dipimpin Gus Dur, termasuk pelantikan pejabat baru di kabinet. Mega juga tidak hadir pada pertemuan parpol yang digagas Gus Dur di Istana Bogor. Bahkan, Megawati melakukan pertemuan dengan sejumlah pimpinan parpol di rumah pribadinya di Kebagusan, Jakarta Selatan, satu bulan menjelang SI-MPR 2001.
Puteri proklamator ini dilahirkan di Yogyakarta, 23 Januari 1947. Fatmawati melahirkannya dalam suasana yang tidak nyaman. Ketika itu hujan turun deras, atap rumah bocor, guntur menggelegar, kilat menyambar-nyambar dan tanpa listik. Mega lahir dalam suasana cahaya temaram lampu minyak tanah. Menurut kerabat, suasana kelahiran Megawati itu menjadi semacam pertanda untuk perjalanan hidupnya kemudian. Memang, setelah Soekarno jatuh, Mega dan keluarga mendapat cobaan dan tekanan politik yang cukup berat. Mega dan saudara-saudaranya terasing dari dunia ramai. Mereka hidup dalam kondisi yang tertekan. Sampai-sampai kuliah Megawati di Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran (1965-1967) dan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1970-1972) tak bisa diselesaikannya.
Ditambah lagi cobaan hidup pribadi yang dialaminya. Suami pertamanya, Lettu (Penerbang) Surindro Supjarso hilang dalam kecelakaan jatuhnya pesawat Skyvan T-701 yang dipilotinya di Biak, Irian Jaya tahun 1970. Padahal saat itu Megawati tengah mengandung anak kedua. Sampai kini Surindro tidak pernah ditemukan.Kemudian, tahun 1972 Mega menikah dengan Hassan Gamal Ahmad Hasan, seorang diplomat Mesir yang sedang bertugas di Jakarta. Tetapi perkawinan itu, kemudian dibatalkan karena Mega masih dianggap terikat perkawinan yang sah dengan Surindro. Sebab, ketika itu belum ada kepastian mengenai nasib suami pertamanya itu. Baru beberapa saat kemudian, ada kepastian dari Angkatan Udara bahwa Surindro telah gugur dalam musibah jatuhnya pesawat itu. Tak lama setelah itu, Mega menikah dengan Taufik Kiemas, seorang aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) asal Sumatera Selatan.
Pada masa kecilnya, Megawati banyak menikmati pengalaman indah. Maklum, sebagai puteri presiden, Megawati menghabiskan masa kecilnya di lingkungan Istana Merdeka. Dari kecil, dia sudah menampakkan sosok lembut dan pendiam. Namun, dia senang menari. Bahkan kerap menari di hadapan tamu-tamu ayahnya di istana. Selain itu, Adis -- panggilan Megawati oleh Bung Karno -- suka dengan tanaman. Dia pun berkebun anggrek di salah satu sudut istana.
Kendati lahir dari keluarga politisi jempolan, Mbak Mega -- panggilan akrab para pendukungnya -- tidak terbilang piawai dalam dunia politik. Bahkan, Megawati sempat dipandang sebelah mata oleh teman dan lawan politiknya. Dia bahkan dianggap sebagai pendatang baru dalam kancah politik, yakni baru pada tahun 1987. Saat itu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menempatkannya sebagai salah seorang calon legislatif dari daerah pemilihan Jawa Tengah, untuk mendongkrak suara. Mega berkenan dan tampak enjoy. Karena, mungkin, dia telah lama menunggu terbukanya kesempatan itu. Kendati saat itu dia nekad mengingkari kesepakatan keluarganya untuk tidak terjun ke dunia politik. Trauma politik keluarga itu ditabraknya. Mega tampil menjadi primadona dalam kampanye PDI, walau tergolong tidak banyak bicara dibanding para pembicara lain. Ternyata memang berhasil. Suara untuk PDI naik. Dan Mega pun terpilih menjadi anggota DPR/MPR. Pada tahun itu pula dia terpilih sebagai Ketua DPC PDI Jakarta Pusat.
Tetapi, kehadiran Mega di gedung DPR/MPR sepertinya tidak terasa. Dia lebih banyak diam. Kinerjanya sebagai anggota dewan dinilai kurang. Posisi primadona masa kampanye, tidak tercermin pada dirinya saat duduk di legislatif itu. Bahkan dia sering tak datang ke DPR. Tampaknya, Megawati tahu bahwa dia masih di bawah tekanan. Selain memang sifatnya pendiam, dia pun memilih untuk tidak menonjol mengingat kondisi politik saat itu. Maka dia memilih lebih banyak melakukan lobi-lobi politik di luar gedung wakil rakyat tersebut. Lobi politiknya, yang silent operation, itu secara langsung atau tidak langsung, telah memunculkan terbitnya bintang Mega dalam dunia politik. Pada tahun 1993 dia terpilih menjadi Ketua Umum DPP PDI. Hal ini sangat mengagetkan pemerintah pada saat itu.
Proses naiknya Mega ini merupakan cerita menarik pula. Ketika itu, Konggres PDI di Medan berakhir tanpa menghasilkan keputusan apa-apa. Pemerintah mendukung Budi Hardjono menggantikan Soerjadi. Lantas, dilanjutkan dengan menyelenggarakan Kongres Luar Biasa di Surabaya. Pada kongres ini, nama Mega muncul dan secara telak mengungguli Budi Hardjono, kandidat yang didukung oleh pemerintah itu. Mega terpilih sebagai Ketua Umum PDI. Kemudian status Mega sebagai Ketua Umum PDI dikuatkan lagi oleh Musyawarah Nasional PDI di Jakarta.
Namun pemerintah menolak dan menganggapnya tidak sah. Karena itu, dalam perjalanan berikutnya, pemerintah mendukung kekuatan mendongkel Mega sebagai Ketua Umum PDI. Fatimah Ahmad cs, atas dukungan pemerintah, menyelenggarakan Kongres PDI di Medan pada tahun 1996, untuk menaikkan kembali Soerjadi. Tetapi Mega tidak mudah ditaklukkan. Pemerintah terperangah. Karena Mega dengan tegas menyatakan tidak mengakui Kongres Medan. Mega teguh menyatakan dirinya sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, sebagai simbol keberadaan DPP yang sah, dikuasai oleh pihak Mega. Para pendukung Mega tidak mau surut satu langkah pun. Mereka tetap berusaha mempertahankan kantor itu.
Soerjadi yang didukung pemerintah pun memberi ancaman akan merebut secara paksa kantor DPP PDI itu. Ancaman itu kemudian menjadi kenyataan. Pagi, tanggal 27 Juli 1996 kelompok Soerjadi benar-benar merebut kantor DPP PDI dari pendukung Mega. Puluhan pendukung Mega tewas pada Peristiwa 27 Juli itu. Aksi penyerangan itu berbuntut pada kerusuhan massal di Jakarta. Beberapa aktivis pemuda dan mahasiswa ditangkap dan dipenjara. Namun, hal itu tidak menyurutkan langkah Mega. Malah, dia makin memantap langkah mengibarkan perlawanan. Tekanan politik yang amat telanjang terhadap Mega itu, menundang empati dan simpati dari masyarakat luas. Sosok Mega, yang sebelumnya dianggap biasa saja, malah muncul menjadi simbol dan pemegang kendali perlawanan kepada rezim Orde Baru yang sudah 32 tahun berkuasa. Mega, secara sadar atau tidak, akhirnya dibesarkan dan dimatangkan oleh tekanan berlebihan dan telanjang dari penguasa Orde Baru. Tanpa tekanan berlebihan penguasa, kekuatan Mega belum tentu terbentuk sedemikian rupa.
Mega yang pendiam, tampaknya sangat menyadari hal itu. Dia pun tahu diri atas kekuatannya. Lalu, dia berupaya menghindari perlawanan dengan kekerasan. Dia tidak mau membenturkan massanya dengan aparat dan kekuatan Orde Baru. Dia memilih jalur hukum, walau pun kemudian kandas di pengadilan. Kendati demikian, Mega terus berjuang. PDI pun menjadi dua. Yakni, PDI pimpinan Megawati dan PDI pimpinan Soerjadi. Massa PDI lebih berpihak dan mengakui Mega. Tetapi, pemerintah mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Akibatnya, PDI pimpinan Mega tidak bisa ikut Pemilu 1997.
Namun, kondisi ini makin memancarkan kekuatan Mega. Keberpihakan massa PDI kepada Mega makin terlihat, pada pemilu 1997 itu. Sebab, terbukti perolehan suara PDI pimpinan Soerjadi merosot tajam. Banyak massa pendukung PDI memilih golput, seperti halnya Mega sendiri. Sebagian lagi berpaling ke Partai Persatuan Pembangunan, yang melahirkan istilah "Mega Bintang".
Setelah rezim Orde Baru tumbang, PDI Mega berubah nama menjadi PDI Perjuangan. Partai politik berlambang banteng gemuk dan bermulut putih itu berhasil memenangkan Pemilu 1999 dengan meraih lebih tiga puluh persen suara. Kemenangan PDIP itu menempatkan Mega pada posisi paling patut menjadi presiden dibanding kader partai lainnya. Massa pendukung Mega mengancam, kalau Mega tidak jadi presiden, akan terjadi revolusi.
Tetapi ternyata pada SU-MPR 1999, Mega kalah. Massa pendukung Mega lantas mengamuk di sejumlah kota seperti Bali, Solo, Medan dan Jakarta. Namun, setelah Mega terpilih sebagai Wapres, amukan massa PDIP itu pun reda. Mereka ditenangkan oleh Mega sendiri. Mega dalam pidato pelantikannya sebagai Wapres menyampaikan pesan: "Kepada anak-anakku di seluruh tanah air, saya minta untuk bekerjalah kembali dengan tulus, janganlah melakukan hal-hal yang bersifat emosional, karena di dalam mimbar ini kamu melihat ibumu berdiri." Massa pendukung Mega pun lega dan harus puas menerima kenyataan, Mega di posisi kedua.
Tetapi, posisi kedua tersebut rupanya sebuah tahapan untuk kemudian pada waktunya memantapkan Mega pada posisi pertama di negeri berpenduduk lebih 210 juta jiwa ini. Sebab kurang dari dua tahun, anggota Majelis secara aklamasi menempatkannya duduk sebagai Presiden RI ke-5 menggantikan KH Abdurrahman Wahid. Kenyataan ini, membuktikan bahwa diam Megawati itu emas. ►ti/crs
0 comments:
Post a Comment