Sejak jaman presiden Soeharto, Habibie, hingga Susilo Bambang Yudhoyono, perempuan yang ciri khasnya tampil berkebaya ini kerap kali diundang menjadi penyanyi istana. Lagu yang dibawakannya adalah sebuah genre musik yang identik dengan irama milik para orang tua, keroncong. Berkat konsistensinya di dunia musik keroncong, banyak kalangan kemudian menjulukinya ‘Dewi Keroncong’.
Kecintaan perempuan kelahiran Jakarta, 14 April 1965 bernama lengkap Sundari Untinasih Soekotjo ini pada musik keroncong bermula sejak ayahnya, Soekotjo Ronodihardjo, seorang tentara berpangkat Letnan Satu (Lettu) - kini sudah almarhum – memperkenalkannya pada alunan musik mendayu-dayu itu. Ayahnya yang hobi menyanyi lagu keroncong sering mengajak Sundari menyanyi bersama.
Dalam keluarga, sejak kecil anak ke dua dari tiga bersaudara yang biasa dipanggil Unti ini mendapat pendidikan yang keras dan disiplin dari ayahnya. Namanya juga masih kanak-kanak, ketika disuruh latihan, “Saya sering alasan sakit perut, ngantuk, atau apa saja, supaya tidak jadi latihan.”.
Meski ia mengaku kerap ‘mengelak’ saat disuruh latihan, Sundari membantah jika kecintaannya pada musik keroncong datang dari "paksaan" kedua orang tuanya, terlebih dari sang ayah. "Saya menggeluti musik keroncong karena kemauan sendiri, bukan paksaan ayah saya. Sejak kecil saya sempat menyaksikan Waljinah nyanyi keroncong pakai konde dan kelihatan cantik. Saya ingin seperti dia," kata wanita yang sedari kelas 2 SD telah mempelajari musik keroncong.
Ia pun kemudian makin termotivasi oleh perkataan ayahnya, ““Makanya kamu harus latihan karena sekarang itu jarang ada penyanyi keroncong yang masih muda.” Melihat kesungguhan dan bakat yang dimiliki Sundari, ibunya, Herini, memasukkannya ke sanggar Angrek Pimpin Joko Sutrisno.
Umur sembilan tahun, ia menyanyi pop bersama Joko Sutisno di TVRI. Selanjutnya Sundari belajar menyanyi keroncong pada beberapa guru. Tahun 1975, ketika umurnya menginjak usia 10 tahun, ia baru mulai mengikuti perlombaan dengan menjadi perwakilan dari SD Halim, Jakarta, tempat dia sekolah. Baru tahun 1977 ia mulai mengkhususkan diri pada lagu keroncong dan satu tahun kemudian, mengikuti berbagai festival keroncong.
Mengenang masa kecil di bangku SD, Sundari bercerita bahwa ia pernah marah-marah ketika ketika sejumlah warga di kompleks AURI Halim Perdana Kusumah, Jakarta, sering menjulukinya si Bengawan Solo, tatkala dia melintas di gang-gang kawasan rumahnya. Sundari pun lalu menangis dan mengadu pada ibunya. Mendengar pengaduan anaknya yang tersendat-sendat menahan tangis, sang ibu tersenyum lalu berusaha menghiburnya, “Sudah, seharusnya kamu bangga dengan julukan itu.” Kini, setelah Sundari dewasa, kenangan masa kecilnya itu selalu membuatnya tersenyum dan menyadari kalau julukan pernah membuatnya sakit hati, justru menjadikannya merasa lebih berarti. Pada festival keroncong remaja, 1978, Sundari terpilih sebagai finalis. Tahun 1979, ia akhirnya menembus juara kedua di ajang juara bintang radio dan TV untuk kategori Keroncong Dewasa Wanita. Itu pun dengan mencuri umur, karena Unti belum mencapai 15 tahun. Ia berhasil ‘mengelabui’ panitia karena dengan kebaya dan sanggul, Sundari tampak dewasa.
Baru sebentar menikmati pujian berkat penampilannya, Sundari menuai kritikan karena ketahuan kalau ia masih di bawah umur. "Saya sempat diprotes karena usia saya masih di bawah umur. Waktu itu duduk di bangku SMP 80 Halim. Umur saya waktu itu masih 14 tahun," ucapnya. Juara satu bintang radio televisi diraihnya pada festival berikutnya, 1983. “Setelah itu orang-orang menjuluki saya penyanyi keroncong,” tutur mantan anggota Geronimo VIII seangkatan Djatu Parmawati dan Rafika Duri ini.
Selain menyanyi, empat tahun Sundari menjadi guru kesenian di SMA 38 Jakarta. Tak bisa dihindarkan, ia sering dikerjain murid-murid cowok: mobilnya dikasih bunga, wajahnya digambar oleh murid paling bandel, murid cowok duduk di bangku barisan depan setiap kali ia mengajar. Tapi, anehnya, “Saya tidak ngeh karena tidak memperhatikan,” ujar perempuan yang pernah mengadakan konser tunggal menyanyi keroncong di gedung Ratu Plasa, Jakarta.
Setelah berhenti mengajar sebagai guru, ia kemudian sibuk sibuk membuka butik dan aktif di pengajian Arafah. Di sinilah ia mulai berkenalan dengan para alim ulama seperti KH Zainuddin MZ. Bersama kyai ‘sejuta umat’ ini, ia mendirikan dan mengelola Taman Kanak-kanak (TK) Islam Mitra Amanah yang terletak tak jauh dari kompleks ABRI, di kawasan Cilangkap, Jakarta Timur.
Tahun 2002 menjadi tahun yang penuh berkah baginya. Pada tahun 2002, ia merilis album keroncong asli yang diberi judul Ingkar Janji.. Album ini menjadi album keroncong asli pertamanya, dimana ia menyanyi diiringi musik keroncong asli. Album Ingkar Janji digarap bersama Orkes Keroncong Puspa Kirana pimpinan Acep Djamaludin dan diproduksi PT Gema Nada Pertiwi, perekam lagu-lagu keroncong tradisonal serta lagu rakyat Indonesia.
Berkat album ini, ia dinobatkan sebagai penerima Keroncong Award 2002 yang diselenggarakan Yayasan Bina Suci dan Radio Republik Indonesia. Pada tahun yang sama, ia juga menerima meraih penghargaan khusus dari dewan kategorisasi di ajang AMI-Sharp Award ke-6.
Pada 14 Agustus 2002, ia dinyatakan lulus sebagai sarjana musik oleh Universitas Negeri Jakarta (dulunya IKIP) dengan nilai cukup memuaskan. Skripsinya tentang musik keroncong di Jakarta dengan judul "Keberadaan Musik Keroncong serta Sejarahnya di Wilayah Jakarta". Sebelumnya, ia pernah kuliah di IKIP, tapi hanya meraih gelar D-3 pada tahun 1987.
Meski menuai banyak keberhasilan dalam karirnya, perkawinannya dengan seorang pilot bernama Arman Surjadi kandas di tengah jalan pada tahun 2004. Kini ia mesti mengasuh anak semata wayangnya, Putri Intan Permata Sari (14 th) sebagai single parent. Saat ditanya perihal anaknya, Sundari menuturkan bahwa anaknya yang sedang beranjak dewasa mulai menunjukkan keinginan mengikuti jejaknya.
"Hati saya trenyuh, ketika di usia 9 tahun dia sudah kepingin rekaman. Saya bebaskan dia untuk memilih dengan syarat punya tanggung jawab. Jangan numpang nama ibunya. Kalau lihat dia, sepertinya saya melihat waktu saya kecil dulu," kata perempuan yang tetap cantik ini.
Dengan statusnya yang single parent maka baik itu perhatian, kasih sayang maupun perekonomian sekarang menjadi tanggung jawabnya. Dan untuk sekarang ini, ia sedang kuliah lagi dan mencari ilmu dari dunia nyanyi dan lain-lainnya. Ia berharap agar ilmu yang didapatkan pada kuliah tersebut, ia nantinya dapat bekerja di bidang lain selain dari menyanyi. ►mlp
Kecintaan perempuan kelahiran Jakarta, 14 April 1965 bernama lengkap Sundari Untinasih Soekotjo ini pada musik keroncong bermula sejak ayahnya, Soekotjo Ronodihardjo, seorang tentara berpangkat Letnan Satu (Lettu) - kini sudah almarhum – memperkenalkannya pada alunan musik mendayu-dayu itu. Ayahnya yang hobi menyanyi lagu keroncong sering mengajak Sundari menyanyi bersama.
Dalam keluarga, sejak kecil anak ke dua dari tiga bersaudara yang biasa dipanggil Unti ini mendapat pendidikan yang keras dan disiplin dari ayahnya. Namanya juga masih kanak-kanak, ketika disuruh latihan, “Saya sering alasan sakit perut, ngantuk, atau apa saja, supaya tidak jadi latihan.”.
Meski ia mengaku kerap ‘mengelak’ saat disuruh latihan, Sundari membantah jika kecintaannya pada musik keroncong datang dari "paksaan" kedua orang tuanya, terlebih dari sang ayah. "Saya menggeluti musik keroncong karena kemauan sendiri, bukan paksaan ayah saya. Sejak kecil saya sempat menyaksikan Waljinah nyanyi keroncong pakai konde dan kelihatan cantik. Saya ingin seperti dia," kata wanita yang sedari kelas 2 SD telah mempelajari musik keroncong.
Ia pun kemudian makin termotivasi oleh perkataan ayahnya, ““Makanya kamu harus latihan karena sekarang itu jarang ada penyanyi keroncong yang masih muda.” Melihat kesungguhan dan bakat yang dimiliki Sundari, ibunya, Herini, memasukkannya ke sanggar Angrek Pimpin Joko Sutrisno.
Umur sembilan tahun, ia menyanyi pop bersama Joko Sutisno di TVRI. Selanjutnya Sundari belajar menyanyi keroncong pada beberapa guru. Tahun 1975, ketika umurnya menginjak usia 10 tahun, ia baru mulai mengikuti perlombaan dengan menjadi perwakilan dari SD Halim, Jakarta, tempat dia sekolah. Baru tahun 1977 ia mulai mengkhususkan diri pada lagu keroncong dan satu tahun kemudian, mengikuti berbagai festival keroncong.
Mengenang masa kecil di bangku SD, Sundari bercerita bahwa ia pernah marah-marah ketika ketika sejumlah warga di kompleks AURI Halim Perdana Kusumah, Jakarta, sering menjulukinya si Bengawan Solo, tatkala dia melintas di gang-gang kawasan rumahnya. Sundari pun lalu menangis dan mengadu pada ibunya. Mendengar pengaduan anaknya yang tersendat-sendat menahan tangis, sang ibu tersenyum lalu berusaha menghiburnya, “Sudah, seharusnya kamu bangga dengan julukan itu.” Kini, setelah Sundari dewasa, kenangan masa kecilnya itu selalu membuatnya tersenyum dan menyadari kalau julukan pernah membuatnya sakit hati, justru menjadikannya merasa lebih berarti. Pada festival keroncong remaja, 1978, Sundari terpilih sebagai finalis. Tahun 1979, ia akhirnya menembus juara kedua di ajang juara bintang radio dan TV untuk kategori Keroncong Dewasa Wanita. Itu pun dengan mencuri umur, karena Unti belum mencapai 15 tahun. Ia berhasil ‘mengelabui’ panitia karena dengan kebaya dan sanggul, Sundari tampak dewasa.
Baru sebentar menikmati pujian berkat penampilannya, Sundari menuai kritikan karena ketahuan kalau ia masih di bawah umur. "Saya sempat diprotes karena usia saya masih di bawah umur. Waktu itu duduk di bangku SMP 80 Halim. Umur saya waktu itu masih 14 tahun," ucapnya. Juara satu bintang radio televisi diraihnya pada festival berikutnya, 1983. “Setelah itu orang-orang menjuluki saya penyanyi keroncong,” tutur mantan anggota Geronimo VIII seangkatan Djatu Parmawati dan Rafika Duri ini.
Selain menyanyi, empat tahun Sundari menjadi guru kesenian di SMA 38 Jakarta. Tak bisa dihindarkan, ia sering dikerjain murid-murid cowok: mobilnya dikasih bunga, wajahnya digambar oleh murid paling bandel, murid cowok duduk di bangku barisan depan setiap kali ia mengajar. Tapi, anehnya, “Saya tidak ngeh karena tidak memperhatikan,” ujar perempuan yang pernah mengadakan konser tunggal menyanyi keroncong di gedung Ratu Plasa, Jakarta.
Setelah berhenti mengajar sebagai guru, ia kemudian sibuk sibuk membuka butik dan aktif di pengajian Arafah. Di sinilah ia mulai berkenalan dengan para alim ulama seperti KH Zainuddin MZ. Bersama kyai ‘sejuta umat’ ini, ia mendirikan dan mengelola Taman Kanak-kanak (TK) Islam Mitra Amanah yang terletak tak jauh dari kompleks ABRI, di kawasan Cilangkap, Jakarta Timur.
Tahun 2002 menjadi tahun yang penuh berkah baginya. Pada tahun 2002, ia merilis album keroncong asli yang diberi judul Ingkar Janji.. Album ini menjadi album keroncong asli pertamanya, dimana ia menyanyi diiringi musik keroncong asli. Album Ingkar Janji digarap bersama Orkes Keroncong Puspa Kirana pimpinan Acep Djamaludin dan diproduksi PT Gema Nada Pertiwi, perekam lagu-lagu keroncong tradisonal serta lagu rakyat Indonesia.
Berkat album ini, ia dinobatkan sebagai penerima Keroncong Award 2002 yang diselenggarakan Yayasan Bina Suci dan Radio Republik Indonesia. Pada tahun yang sama, ia juga menerima meraih penghargaan khusus dari dewan kategorisasi di ajang AMI-Sharp Award ke-6.
Pada 14 Agustus 2002, ia dinyatakan lulus sebagai sarjana musik oleh Universitas Negeri Jakarta (dulunya IKIP) dengan nilai cukup memuaskan. Skripsinya tentang musik keroncong di Jakarta dengan judul "Keberadaan Musik Keroncong serta Sejarahnya di Wilayah Jakarta". Sebelumnya, ia pernah kuliah di IKIP, tapi hanya meraih gelar D-3 pada tahun 1987.
Meski menuai banyak keberhasilan dalam karirnya, perkawinannya dengan seorang pilot bernama Arman Surjadi kandas di tengah jalan pada tahun 2004. Kini ia mesti mengasuh anak semata wayangnya, Putri Intan Permata Sari (14 th) sebagai single parent. Saat ditanya perihal anaknya, Sundari menuturkan bahwa anaknya yang sedang beranjak dewasa mulai menunjukkan keinginan mengikuti jejaknya.
"Hati saya trenyuh, ketika di usia 9 tahun dia sudah kepingin rekaman. Saya bebaskan dia untuk memilih dengan syarat punya tanggung jawab. Jangan numpang nama ibunya. Kalau lihat dia, sepertinya saya melihat waktu saya kecil dulu," kata perempuan yang tetap cantik ini.
Dengan statusnya yang single parent maka baik itu perhatian, kasih sayang maupun perekonomian sekarang menjadi tanggung jawabnya. Dan untuk sekarang ini, ia sedang kuliah lagi dan mencari ilmu dari dunia nyanyi dan lain-lainnya. Ia berharap agar ilmu yang didapatkan pada kuliah tersebut, ia nantinya dapat bekerja di bidang lain selain dari menyanyi. ►mlp
0 comments:
Post a Comment