Marga T "Tjia Liang Tjoe"
CV |
PromediaNews_Sebagai penulis Novel Roman yang paing populer dan produtif pada Zamanya Marga T telah menerbitkan 128 Cerita Pendek dan 67 Buku (untuk anak - anak, Novel serta Kumpulan Cerpen). Banyak penulis lain bermunculan lalu mengikuti jejaknya menulis Novel - Novel Manis.
Semakin piawai seorang penulis meramu kata menjadi deretan kalimat penuh makna, semakin banyak pula pembaca yang menyukai karyanya. Paralel dengan hal tersebut, jika semakin banyak orang yang berminat pada karya seorang penulis, semakin terdorong pula sang penulis menghasilkan karya bermutu lainnya. Demikianlah halnya dengan Marga T, kehebatannya dalam meramu kata-kata ini telah mengantarkan namanya menjadi salah satu penulis cerita pendek dan novel terpopuler sekaligus terproduktif di Tanah Air.
Semakin piawai seorang penulis meramu kata menjadi deretan kalimat penuh makna, semakin banyak pula pembaca yang menyukai karyanya. Paralel dengan hal tersebut, jika semakin banyak orang yang berminat pada karya seorang penulis, semakin terdorong pula sang penulis menghasilkan karya bermutu lainnya. Demikianlah halnya dengan Marga T, kehebatannya dalam meramu kata-kata ini telah mengantarkan namanya menjadi salah satu penulis cerita pendek dan novel terpopuler sekaligus terproduktif di Tanah Air.
Seiring dengan semakin digandrunginya karya-karya tulisannya, ketenaran nama Marga T juga ikut menanjak, sebuah predikat yang sangat dimimpi-mimpikan oleh kebanyakan orang. Namun, jika sebagian orang rela mengejar popularitas dengan segala cara, tidak demikian halnya dengan Marga T. Sebaliknya, wanita keturunan Tionghoa bernama Indonesia Margaretha Harjamulia dan bernama Tionghoa Tjia Liang Tjoe ini selalu menolak permintaan beberapa koran dan majalah yang ingin mewawancarainya. Bahkan ia juga kerap mengelak ketika wartawan ingin mengambil gambarnya. Perempuan kelahiran Jakarta, 27 Januari 1943 itu enggan terkenal karena takut kebebasannya terampas. “Khawatir kalau tidak lagi bebas naik bis atau nonton bioskop. Kalau sudah tidak bebas, habislah semua sumber cerita saya,” katanya.
Sejak masih kecil ia telah rajin menulis. Tepatnya, setelah seorang guru membacakan karangannya saat ia duduk di bangku kelas 3 SD. Keinginan Marga untuk menjadi penulis timbul dari kegemarannya membaca buku. Ia senang membaca cerpen di Star Weekly dan buku-buku perpusatakaan di sekolah. Semasa SMP, ia mulai menulis cerpen untuk majalah sekolah. Bakat menulisnya pun semakin terasah.
Sejak masih kecil ia telah rajin menulis. Tepatnya, setelah seorang guru membacakan karangannya saat ia duduk di bangku kelas 3 SD. Keinginan Marga untuk menjadi penulis timbul dari kegemarannya membaca buku. Ia senang membaca cerpen di Star Weekly dan buku-buku perpusatakaan di sekolah. Semasa SMP, ia mulai menulis cerpen untuk majalah sekolah. Bakat menulisnya pun semakin terasah.
Masih jelas dalam ingatannya ketika ada seorang temannya yang penasaran dengan sang penulis cerpen tersebut. Namun karena merasa malu, Marga pun hanya bisa diam. Walaupun pada akhirnya ketahuan juga kalau ia yang menulis. Sejak saat itu, berkat kemampuan menulisnya, Marga kemudian dipercaya untuk mengelola majalah sekolahnya hingga tamat SMA dan duduk sebagai redaktur majalah Kanisius. Pada waktu remaja, Marga mengaku seringkali dilanda perasaan grogi saat harus berhadapan dengan lawan jenis. Namun seiring berjalannya waktu, semua itu bisa diatasinya.
Pada tahun 1964, ia menghasilkan cerita pendek yang pertama, Kamar 27, yang dimuat dalam koran Kompas, yang kemudian disusul oleh bukunya yang pertama, Rumahku adalah Istanaku, sebuah cerita anak-anak, yang diterbitkan pada 1969. Buku pertamanya ini memenangkan sayembara Balai Pustaka. Sejak itu karangannya bermunculan di berbagai koran dan majalah Jakarta. Ia sendiri sudah tak ingat jumlah yang pasti. Namanya mulai dikenal bahkan meroket di tengah publik pada tahun 1971, ketika novel pertamanya yang berjudul Karmila dipublikasikan. Sebelum dibuat dalam bentuk novel, Karmila telah dipublikasikan oleh koran Kompas sebagai cerita bersambung.
Sebelumnya, penolakan kerap kali diterima Marga, namun ia tak menyerah dengan terus memperbaiki tulisannya. Kesuksesan novel bertema cinta ini rupanya membawa berkah tersendiri bagi Marga. Ia yang ketika itu masih berstatus sebagai mahasiswa di fakultas kedokteran akhirnya berhasil menyelesaikan kuliahnya. Tak hanya itu, Karmila yang telah dicetak ulang sebanyak sembilan kali dan difilmkan itu juga berhasil mewujudkan impiannya berkeliling Eropa. “Ingin mencari pengalaman sebelum terikat pada pekerjaan sebagai dokter,” katanya saat itu.
Ternyata benua biru itu tak hanya menjadi tempat mencari pengalaman bagi Marga. Di sana wanita yang gemar membaca dan mendengarkan musik itu juga bertemu dengan pria yang kemudian menjadi suaminya, seorang insinyur teknik kimia, yang ternyata satu almamater dengan Marga. Berbicara tentang kedudukannya sebagai dokter, penulis dan juga seorang istri, Marga berpendapat, “Bila seorang wanita sudah memilih untuk menikah, maka seharusnya kedudukan sebagai istrilah yang paling membahagiakan.” Marga adalah dokter lulusan Universitas Res Publica (sekarang Trisakti). Karena itulah dalam banyak novelnya Marga memperlihatkan pengenalannya yang cukup dalam terhadap dunia medis
Sebagai penulis, Marga termasuk pekerja keras dan disiplin. Ia dapat menghabiskan waktu empat hingga lima jam sehari dalam mengarang. Di sela-sela waktunya, ia gemar membaca apa saja. “Masyarakat berhak memilih bacaan yang disukainya, tapi penulis tidak. Ia harus membaca tulisan siapa pun,” ujar pemilik nama lengkap Margaretha Harjamulia ini. Ia pun tak segan menghabiskan puluhan ribu untuk membeli novel.
Pada 1974, atau tiga tahun setelah kesuksesan Karmila, Marga T kembali hadir dengan karya teranyarnya, novel Badai Pasti Berlalu. Selain karena hobi, Marga juga pandai membaca pasar, dimana saat itu masyarakat haus akan novel hiburan yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Sama halnya dengan novel pertamanya, Karmila, Badai Pasti Berlalu awalnya sebuah cerita bersambung, namun karena respon positif dari pembaca maka dicetak dalam bentuk novel.
Tak kalah pamor dengan Karmila, Badai Pasti Berlalu pun mendapat respon positif dari masyarakat. Padahal, buku yang mengisahkan tentang perjalanan cinta Leo dan Siska itu dijual dengan harga yang cukup tinggi saat itu, yakni Rp800. Kesuksesan Badai Pasti Berlalu menarik minat sutradara kondang, Teguh Karya untuk memfilmkannya. Tiga tahun berselang, sama seperti novelnya, film yang dibintangi Roy Marten, Christine Hakim, Slamet Rahardjo, dan Mike Wijaya itu pun mendapat sukses besar.
Dalam ajang penghargaan bergengsi untuk insan film kala itu, Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1978, Badai Pasti Berlalu sukses menyabet Piala Citra untuk kategori editing, fotografi, editing suara dan musik. Tak berhenti sampai di situ, film berdurasi 112 menit ini juga berhasil meraih piala Antemas FFI 1979 sebagai film terlaris sepanjang tahun 1978-1979 dan sebagai film terlaris kedua di Jakarta dengan jumlah penonton 212.551 orang, angka yang terbilang fenomenal di masa itu.
Nama Marga pun kian melejit. Kesuksesan kedua novel ini merangsangnya untuk terus menulis. Hingga kini, Marga telah menerbitkan 128 cerita pendek dan 67 buku (untuk anak-anak, novel serta kumpulan cerpen). Ia pernah dianggap sebagai salah seorang penulis terbaik untuk jenis cerita hiburan sehat. Bahasanya sederhana dan lincah. Adegan-adegan asmara yang diungkapkannya tak tergelincir menjadi cengeng dan murahan. Bahkan sampai kepada pelukisan hubungan biologis pria-wanita, ia berhasil menyuguhkan cara yang tak membuat pembaca jijik atau bergidik.
Sejak kemunculan Marga dengan Karmila dan Badai Pasti Berlalu-nya itu, membuat banyak penulis lain ikut bermunculan lalu mengikuti jejaknya menulis novel-novel manis. Seiring dengan berjalannya waktu dan bertambahnya pengalaman, tulisan Marga T pun semakin bervariasi. Tidak hanya kisah-kisah cinta yang manis, tetapi juga novel detektif, spionase, dan cerita satire. Tentunya hal itu tak lepas dari kegemarannya membaca berbagai judul buku. Novelnya "Sekuntum Nozomi", misalnya, buku ketiga yang terbit pada 2004, mengangkat kisah seputar tragedi Mei 1998 yang menelan banyak korban khususnya di kalangan kaum perempuan keturunan Tionghoa. e-ti | muli, red
0 comments:
Post a Comment