Seserius apakah saat kau menjanjikan dunia penuh tawa?
Haruskah aku percaya atau malah tertawa?
Krakk, bunyi itu terdengar keras menghantam hati serta jantungku. Tapi, tak satupun raga mendengar. Orang-orang di sekitar ruangan baca itu tetap sibuk dengan aktivitasmasing-masing. Tak satupun menoleh untuk kuatkan batinku. Begitu juga dengan Dana yang masih terus bercerita. Bibirnya komat-kamit seperti mbah dukun sambil menguliti buah apel. Duh, Na tak bisakah kau bunuh saja aku dengan pisau apel itu. Ayo tusukkan saja, please. Aku memang merasa lebih baik mati, bagaimana mungkin aku harus hidup dengan ini. Akh, tak ada perempuan yang bisa sumringah dengan semua ini. Aku ingin menitikkan cairan kesedihan, karena itu adalah obat mujarab untuk setiap lukaku. Tapi tak bisa. Tak bisa.
Aku ingin mati, Na, ingin. Tapi Aku masih punya Tuhan. Tak mau ku biarkan diriku meradang dan membusuk di neraka. Panas api kompor saja, aku sudah menjerit. Bagaimana mungkin aku harus bunuh diri? Please stop Na. Walau mungkin saat itu aku merasa mengakhiri hidup adalah jalan terbaik. Tapi mulutku bagai dikunci balok es. Menggigil bibirku tak mampu merangkai kata. Ayo mata menangislah, hati menjeritlah. Agar Dana tahu, ceritanya buatku rasakan perih mendalam. Na, jangan berkata buruk tentang pasangan jiwaku. Dia tak mungkin seperti itu. Na, dia berjanji padaku merajut awan untuk dijadikan rumah impian. Kau berkata bagai burung pelatuk yang bising. Kau masih ingat woodywoodpecker? Seperti itulah yang terjadi. Sedari kau bicara, aku ingin kau berhenti, karena dadaku bergemuruh.
Ntah marah atau sedih. Yang pasti aku menerawang. Aku berharap ini mimpi. Tapi bukan, ini nyata karena perih ini kurasakan benar. Dan ya, aku harus menghadapi ini. Detik demi detik, menit demi menit menikmati irisan demi irisan yang terus membuat luka hatiku membesar perlahan.***
Namanya Dana, umurnya 24 tahun. Perempuan sederhana dan blak-blakan. Aku baru mengenalnya sebulan lalu tanpa sengaja. Namun perkenalan yang tiba-tiba di ruang baca itu benar-benar dahsyat. Dan pertemuan yang tanpa sengaja dan berjalan hanya satu jam itu langsung meluluhlantakkan hidupku selama 26 tahun. Percakapan kami diawali dengan senyuman. Padahal selama ini tak jarang kami bertemu dalam satu kesempatan. Kami selalu berlalu dan tak pernah bicara. Bahkan aku sering mengabaikannya, sebab tak pernah satu kalipun kami punya topik sama yang perlu dibicarakan.
Namun hari itu, aku senang ingin menyendiri. Aku menyambangi tempat biasa aku menumpahkan rasa. Saat aku sedang gerakkan pena di selembar kertas. Kau datang. Aku sempat terbelalak, rangkaian kata yang kutuliskan dengan nada kerinduan tentang seseorang langsung ku simpan.
Tiba-tiba saja kau duduk di sampingku. Sambil memegang buah apel yang sedang kau kupas, kau bicara tanpa ku minta. “Hei aku Dana, Aku juga punya saudara yang hobi nulis kayak kamu lho. Tapi belakangan, dia sibuk banget. Bulan depan dia married. Wuih, akhirnya. Maklum, pacarannya sudah sembilan tahun. Lama kan? Bla..bla..bla,” ujarmu sambil mengunyah buah asal Kota Malang itu.
Na sudahlah. Hentikan. Cukup. Untuk apa kau ceritakan ini semua. Kita baru berkenalan satu hari dan hanya beberapa menit. Tapi kau sudah bicara panjang lebar. Hah, siapakah kau Dana. Secepat itukah kau akrab dengan seseorang? Kau bahkan tak tanyakan siapa namaku. Atau kau memang tahu siapa aku sebenarnya. Tapi kau pura-pura tak tahu dan sengaja membiarkan aku mendengar ini semua. Ntahlah.
Dia bercerita tentang sosok lelaki yang ternyata pria dalam hidupku. Pria yang selama lima bulan ini mengisi hari-hariku. Ceritanya mengalir deras, sampai-sampai aku tak bisa memberi komentar. Pedih, lirih, semua bercampur jadi satu. Pernikahan? Akh, bagaimana mungkin pria dalam hidupku yang pernah bersumpah akan bersamaku, akan menikahi perempuan lain? Dana cerita dari A to Z. Aku bingung, bagaimana mungkin juga pria itu tak bilang padaku? Mengapa aku harus tahu dari Dana? Tidak, tak mungkin. Dana, aku yakin benar bahwa dia pasangan hidupku. Dia adalah pelangi selepas hujan merenda hari. Dia adalah pemutih yang membasuh hitamnya hati. Aku memanggilnya Kehidupan. Ya, aku merasa hidup saat bersama dengannya.
Dana, kau tahu? Selama ini aku hidup dalam kesendirian. Selalu aku yakinkan akan sangat bahagia dan mampu sendiri. Aku kadang lupa bagaimana menjadi perempuan saat aku merasa mampu hidup tanpa pria. Bayangkan hidupku Dana. Untuk kali pertama, aku tertawa karena memang ingin tertawa. Aku tersenyum, karena memang dia membuatku tersenyum. Kau tahu, betapa sulitnya aku tersenyum. Dan untuk pertama kali, aku merasa jatuh cinta dan benar-benar ikhlas mencintai. Aku mampu tetapkan hati bahwa dia adalah pasangan hidupku. Keyakinan ini, haruskah kembali terkoyak?
Haruskah aku kembali keraskan hati untuk bilang, boys are sucks?
Dana, kau datang dan membuat hidupku retak. Tapi kehadiranmu yang tiba-tiba bagai petir di hari hujan, membuatku tersadar. Hah, Tuhan sangat mencintaiku Dana. Dia merancang pertemuan ini, agar aku bisa menuai kejujuran alur cerita hidupku. Bayangkan jika kau tak muncul saat itu, apakah aku harus tetap tersenyum menanti kabar pria itu? Haruskah aku jadi perempuan terbodoh di dunia yang menjadi objek kebohongannya? Dana, hidup ini aneh, penuh teka-teki. Tuhan beserta keagungan menunjukkan kuasa-Nya dengan berbagai cara. Walau hancur, aku cuma ingin bilang, terimakasih atas ceritamu.
Dana, pria yang kau sebut sepupumu itu adalah pria dalam hidupku. Kau tahu Dana? Selepas ceritamu, aku minta penjelasan darinya? Kau tahu apa katanya? Akh, bicara saja dia tak mampu
atau dia memang terlalu pengecut untuk berkata jujur. Dia hanya tuliskan pesan lewat email. Gila! Pria itu hanya berkata lewat media high technology itu. Tidakkah aku berhak atas sebuah penjelasan secara nyata? Katanya dia takut kehilanganku, hingga dia membiarkan kebohongan ini terus berlangsung. Katanya dia mencintaiku, tapi tak bisa bersamaku, hauhauhaua. Dia juga tuliskan dia tak bahagia atas pernikahannya, tapi dia sudah memilih jalan itu, kan. Pria yang kau panggil abang itu, benar-benar membuatku nelangsa dan hampir setengah gila.
Bagimu aku mungkin gila, karena mencintaimu. Walau memang ku berpikiran begitu. Tapi kadang yang seperti orang gila ini bisa membuatmu mengerti arti mencintai Kau tahu Dana, di hari pernikahannyapun aku tak diundang. Padahal dengan segenap kekuatan air mata yang ku galang selama sebulan ini, aku ingin datang. Aku ingin buktikan semua narasi kehidupan ini. Siapakah sebenarnya yang sedang bermain dengan kata-kata dusta? Kau atau pria itu. Dana, kau selalu bilang sepupumu itu merajut tali pernikahan atas dasar cinta, karena selama ini mereka memang pasangan kekasih. Sepupumu bilang dia tak bisa menolak pernikahan itu karena terpaksa. Katanya semua sudah dirancang sedemikian rupa, hingga dia tak mampu lagi menghindar. Ntahlah Dana, hingga saat inipun kepalaku selalu dipenuhi tanda tanya. Aku sedang berusaha menghapus satu demi satu pertanyaan itu. Karena aku butuh kedamaian. Dan jawaban atas pertanyaanku pertama adalah ya mungkin saja sepupumu itu punya alasan sendiri untuk melakukan ini semua. Gamang?
Lelaki terbang, kembangkanlah sayapmu!
Jelajahi dunia, menelusuri awan dan angin.
Tapi jangan lupa, bahwa kau lelaki bukan jantan
Kau manusia bukan hewan.
Sayapmu itu adalah lukisan khayalan.
Adakah aku menjadi alasan kau terbang?
Atau kau memang hewan yang hinggap dan menjelma di tubuh manusia? Lalu, jika kau bersikeras bahwa kau manusia, pernahkah jantungmu berdetak saat kau sebut namaku? Tapi tenang saja Dana. Jika kau bertemu dengan sepupumu itu, katakan aku baik-baik saja. Aku tetap menjalani hari-hariku. Aku akan membendung air mata, karena dunia ini terlalu indah untuk diiringi dengan tangisan. Perih membuat kita dewasa. Dan setiap cobaan tidak datang tanpa tujuan. Tak mungkin juga Tuhan berikan kita ujian yang tak mampu kita hadapi. Anggap saja perempuan ini memang tak diciptakan untuk sepupumu. Aku tak akan mengganggu rumah tangga sepupumu. Percayalah. Kuyakinkan orang lain yang jauh lebih baik telah disiapkan-Nya untukku. Karena aku yakin bahwa mencintai itu proses, sama seperti rasa yang kumiliki terhadap sepupumu. Dari perasaan yang tiada arti hingga aku menganggap dia sangat berarti.
Aku tak akan membencinya. Apalagi menyimpan dendam. Tak mungkin aku menaruh rona kebencian kepada orang yang pernah sangat aku sayangi. Tak ada lukaku karena pernikahannya, selain luka keyakinanku yang teruntuhkan serta kejujuran yang disembunyikan. Dana untuk yakin itu sangat sulit. Kini, aku belajar untuk kembali yakin. Kau tahu Dana, aku akan menanti, tetap menanti dan akan menanti. Tapi bukan sepupumu, melainkan lelaki yang memang diciptakan untukku. Selamat datang Dana, salam kenal. Inilah aku, perempuan yang pernah masuk dalam kehidupan sepupumu. Walau mungkin tepatnya, sepupumu yang begitu berani melukiskan gambaran dunia di kanvas kehidupanku. Aku tak bisa bicara panjang lebar tentang hubunganku bersama sepupumu saat itu. Karena kalimatmu terus menghujaniku dengan kepedihan. Aku memilih diam juga karena terlalu kejamlah aku Dana merusak semua rencana pernikahan itu. Jika suatu hari kau tersadar siapa aku sebenarnya. Jangan pernah jumpai aku di tempat kita bertemu. Sebab aku telah mengubur tempat itu dalam-dalam sebagai arena kejujuran yang menyakitkan.
Mungkipun sebulan lalu, ya hari yang diwarnai panas terik itu adalah pertemuan terakhir kita. Dana, aku hanya ingin kau sampaikan pesan untuk sepupumu, jadilah dia lelaki dan imam yang baik bagi pasangan jiwa yang dihadiahkan Tuhan padanya. Hanya itu, sampai jumpai lagi Dana. Oh ya, aku lupa memperkenalkan namaku. Dana, panggil saja aku Lara.
Medan, 6 Mei 2007
Haruskah aku percaya atau malah tertawa?
Krakk, bunyi itu terdengar keras menghantam hati serta jantungku. Tapi, tak satupun raga mendengar. Orang-orang di sekitar ruangan baca itu tetap sibuk dengan aktivitasmasing-masing. Tak satupun menoleh untuk kuatkan batinku. Begitu juga dengan Dana yang masih terus bercerita. Bibirnya komat-kamit seperti mbah dukun sambil menguliti buah apel. Duh, Na tak bisakah kau bunuh saja aku dengan pisau apel itu. Ayo tusukkan saja, please. Aku memang merasa lebih baik mati, bagaimana mungkin aku harus hidup dengan ini. Akh, tak ada perempuan yang bisa sumringah dengan semua ini. Aku ingin menitikkan cairan kesedihan, karena itu adalah obat mujarab untuk setiap lukaku. Tapi tak bisa. Tak bisa.
Aku ingin mati, Na, ingin. Tapi Aku masih punya Tuhan. Tak mau ku biarkan diriku meradang dan membusuk di neraka. Panas api kompor saja, aku sudah menjerit. Bagaimana mungkin aku harus bunuh diri? Please stop Na. Walau mungkin saat itu aku merasa mengakhiri hidup adalah jalan terbaik. Tapi mulutku bagai dikunci balok es. Menggigil bibirku tak mampu merangkai kata. Ayo mata menangislah, hati menjeritlah. Agar Dana tahu, ceritanya buatku rasakan perih mendalam. Na, jangan berkata buruk tentang pasangan jiwaku. Dia tak mungkin seperti itu. Na, dia berjanji padaku merajut awan untuk dijadikan rumah impian. Kau berkata bagai burung pelatuk yang bising. Kau masih ingat woodywoodpecker? Seperti itulah yang terjadi. Sedari kau bicara, aku ingin kau berhenti, karena dadaku bergemuruh.
Ntah marah atau sedih. Yang pasti aku menerawang. Aku berharap ini mimpi. Tapi bukan, ini nyata karena perih ini kurasakan benar. Dan ya, aku harus menghadapi ini. Detik demi detik, menit demi menit menikmati irisan demi irisan yang terus membuat luka hatiku membesar perlahan.***
Namanya Dana, umurnya 24 tahun. Perempuan sederhana dan blak-blakan. Aku baru mengenalnya sebulan lalu tanpa sengaja. Namun perkenalan yang tiba-tiba di ruang baca itu benar-benar dahsyat. Dan pertemuan yang tanpa sengaja dan berjalan hanya satu jam itu langsung meluluhlantakkan hidupku selama 26 tahun. Percakapan kami diawali dengan senyuman. Padahal selama ini tak jarang kami bertemu dalam satu kesempatan. Kami selalu berlalu dan tak pernah bicara. Bahkan aku sering mengabaikannya, sebab tak pernah satu kalipun kami punya topik sama yang perlu dibicarakan.
Namun hari itu, aku senang ingin menyendiri. Aku menyambangi tempat biasa aku menumpahkan rasa. Saat aku sedang gerakkan pena di selembar kertas. Kau datang. Aku sempat terbelalak, rangkaian kata yang kutuliskan dengan nada kerinduan tentang seseorang langsung ku simpan.
Tiba-tiba saja kau duduk di sampingku. Sambil memegang buah apel yang sedang kau kupas, kau bicara tanpa ku minta. “Hei aku Dana, Aku juga punya saudara yang hobi nulis kayak kamu lho. Tapi belakangan, dia sibuk banget. Bulan depan dia married. Wuih, akhirnya. Maklum, pacarannya sudah sembilan tahun. Lama kan? Bla..bla..bla,” ujarmu sambil mengunyah buah asal Kota Malang itu.
Na sudahlah. Hentikan. Cukup. Untuk apa kau ceritakan ini semua. Kita baru berkenalan satu hari dan hanya beberapa menit. Tapi kau sudah bicara panjang lebar. Hah, siapakah kau Dana. Secepat itukah kau akrab dengan seseorang? Kau bahkan tak tanyakan siapa namaku. Atau kau memang tahu siapa aku sebenarnya. Tapi kau pura-pura tak tahu dan sengaja membiarkan aku mendengar ini semua. Ntahlah.
Dia bercerita tentang sosok lelaki yang ternyata pria dalam hidupku. Pria yang selama lima bulan ini mengisi hari-hariku. Ceritanya mengalir deras, sampai-sampai aku tak bisa memberi komentar. Pedih, lirih, semua bercampur jadi satu. Pernikahan? Akh, bagaimana mungkin pria dalam hidupku yang pernah bersumpah akan bersamaku, akan menikahi perempuan lain? Dana cerita dari A to Z. Aku bingung, bagaimana mungkin juga pria itu tak bilang padaku? Mengapa aku harus tahu dari Dana? Tidak, tak mungkin. Dana, aku yakin benar bahwa dia pasangan hidupku. Dia adalah pelangi selepas hujan merenda hari. Dia adalah pemutih yang membasuh hitamnya hati. Aku memanggilnya Kehidupan. Ya, aku merasa hidup saat bersama dengannya.
Dana, kau tahu? Selama ini aku hidup dalam kesendirian. Selalu aku yakinkan akan sangat bahagia dan mampu sendiri. Aku kadang lupa bagaimana menjadi perempuan saat aku merasa mampu hidup tanpa pria. Bayangkan hidupku Dana. Untuk kali pertama, aku tertawa karena memang ingin tertawa. Aku tersenyum, karena memang dia membuatku tersenyum. Kau tahu, betapa sulitnya aku tersenyum. Dan untuk pertama kali, aku merasa jatuh cinta dan benar-benar ikhlas mencintai. Aku mampu tetapkan hati bahwa dia adalah pasangan hidupku. Keyakinan ini, haruskah kembali terkoyak?
Haruskah aku kembali keraskan hati untuk bilang, boys are sucks?
Dana, kau datang dan membuat hidupku retak. Tapi kehadiranmu yang tiba-tiba bagai petir di hari hujan, membuatku tersadar. Hah, Tuhan sangat mencintaiku Dana. Dia merancang pertemuan ini, agar aku bisa menuai kejujuran alur cerita hidupku. Bayangkan jika kau tak muncul saat itu, apakah aku harus tetap tersenyum menanti kabar pria itu? Haruskah aku jadi perempuan terbodoh di dunia yang menjadi objek kebohongannya? Dana, hidup ini aneh, penuh teka-teki. Tuhan beserta keagungan menunjukkan kuasa-Nya dengan berbagai cara. Walau hancur, aku cuma ingin bilang, terimakasih atas ceritamu.
Dana, pria yang kau sebut sepupumu itu adalah pria dalam hidupku. Kau tahu Dana? Selepas ceritamu, aku minta penjelasan darinya? Kau tahu apa katanya? Akh, bicara saja dia tak mampu
atau dia memang terlalu pengecut untuk berkata jujur. Dia hanya tuliskan pesan lewat email. Gila! Pria itu hanya berkata lewat media high technology itu. Tidakkah aku berhak atas sebuah penjelasan secara nyata? Katanya dia takut kehilanganku, hingga dia membiarkan kebohongan ini terus berlangsung. Katanya dia mencintaiku, tapi tak bisa bersamaku, hauhauhaua. Dia juga tuliskan dia tak bahagia atas pernikahannya, tapi dia sudah memilih jalan itu, kan. Pria yang kau panggil abang itu, benar-benar membuatku nelangsa dan hampir setengah gila.
Bagimu aku mungkin gila, karena mencintaimu. Walau memang ku berpikiran begitu. Tapi kadang yang seperti orang gila ini bisa membuatmu mengerti arti mencintai Kau tahu Dana, di hari pernikahannyapun aku tak diundang. Padahal dengan segenap kekuatan air mata yang ku galang selama sebulan ini, aku ingin datang. Aku ingin buktikan semua narasi kehidupan ini. Siapakah sebenarnya yang sedang bermain dengan kata-kata dusta? Kau atau pria itu. Dana, kau selalu bilang sepupumu itu merajut tali pernikahan atas dasar cinta, karena selama ini mereka memang pasangan kekasih. Sepupumu bilang dia tak bisa menolak pernikahan itu karena terpaksa. Katanya semua sudah dirancang sedemikian rupa, hingga dia tak mampu lagi menghindar. Ntahlah Dana, hingga saat inipun kepalaku selalu dipenuhi tanda tanya. Aku sedang berusaha menghapus satu demi satu pertanyaan itu. Karena aku butuh kedamaian. Dan jawaban atas pertanyaanku pertama adalah ya mungkin saja sepupumu itu punya alasan sendiri untuk melakukan ini semua. Gamang?
Lelaki terbang, kembangkanlah sayapmu!
Jelajahi dunia, menelusuri awan dan angin.
Tapi jangan lupa, bahwa kau lelaki bukan jantan
Kau manusia bukan hewan.
Sayapmu itu adalah lukisan khayalan.
Adakah aku menjadi alasan kau terbang?
Atau kau memang hewan yang hinggap dan menjelma di tubuh manusia? Lalu, jika kau bersikeras bahwa kau manusia, pernahkah jantungmu berdetak saat kau sebut namaku? Tapi tenang saja Dana. Jika kau bertemu dengan sepupumu itu, katakan aku baik-baik saja. Aku tetap menjalani hari-hariku. Aku akan membendung air mata, karena dunia ini terlalu indah untuk diiringi dengan tangisan. Perih membuat kita dewasa. Dan setiap cobaan tidak datang tanpa tujuan. Tak mungkin juga Tuhan berikan kita ujian yang tak mampu kita hadapi. Anggap saja perempuan ini memang tak diciptakan untuk sepupumu. Aku tak akan mengganggu rumah tangga sepupumu. Percayalah. Kuyakinkan orang lain yang jauh lebih baik telah disiapkan-Nya untukku. Karena aku yakin bahwa mencintai itu proses, sama seperti rasa yang kumiliki terhadap sepupumu. Dari perasaan yang tiada arti hingga aku menganggap dia sangat berarti.
Aku tak akan membencinya. Apalagi menyimpan dendam. Tak mungkin aku menaruh rona kebencian kepada orang yang pernah sangat aku sayangi. Tak ada lukaku karena pernikahannya, selain luka keyakinanku yang teruntuhkan serta kejujuran yang disembunyikan. Dana untuk yakin itu sangat sulit. Kini, aku belajar untuk kembali yakin. Kau tahu Dana, aku akan menanti, tetap menanti dan akan menanti. Tapi bukan sepupumu, melainkan lelaki yang memang diciptakan untukku. Selamat datang Dana, salam kenal. Inilah aku, perempuan yang pernah masuk dalam kehidupan sepupumu. Walau mungkin tepatnya, sepupumu yang begitu berani melukiskan gambaran dunia di kanvas kehidupanku. Aku tak bisa bicara panjang lebar tentang hubunganku bersama sepupumu saat itu. Karena kalimatmu terus menghujaniku dengan kepedihan. Aku memilih diam juga karena terlalu kejamlah aku Dana merusak semua rencana pernikahan itu. Jika suatu hari kau tersadar siapa aku sebenarnya. Jangan pernah jumpai aku di tempat kita bertemu. Sebab aku telah mengubur tempat itu dalam-dalam sebagai arena kejujuran yang menyakitkan.
Mungkipun sebulan lalu, ya hari yang diwarnai panas terik itu adalah pertemuan terakhir kita. Dana, aku hanya ingin kau sampaikan pesan untuk sepupumu, jadilah dia lelaki dan imam yang baik bagi pasangan jiwa yang dihadiahkan Tuhan padanya. Hanya itu, sampai jumpai lagi Dana. Oh ya, aku lupa memperkenalkan namaku. Dana, panggil saja aku Lara.
Medan, 6 Mei 2007